Tafsir Mr. Mohammad Roem Tentang sila-sila dalam pancasila



Mr. Mohammad Roem, salah seorang tokoh dalam jajaran pimpinan pusat partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) dan juga ketua delegasi Indonesia dalam perundingan Konferensi Meja Bundar dengan Belanda th 1949, telah menulis risalah yang disampaikan pada kuliah umum pada Dies Natalis Universitas Islam Sumatera Utara, Januari 1969. Dalam pidatonya itu Mr. Mohammad Roem menguraikan pandangannya tentang sila-sila dalam Pancasila. Judul pidatonya itu ialah Lahirnya Pancasila”. Dalam uraiannya itu Mr. Mohammad Roem menyatakan sebagai berikut:

Ajaran Nabi
Kepercayaan manusia tentang Tuhan Yang Maha Esa, tentang penciptanya, bukan bidang untuk campur tangan bagi yang berkuasa, baik pun ia badan eksekutif, maupun ia badan legislatif.
Negara yang pada akhirnya dijelmakan oleh orang-orang yang berkuasa, tidak dapat mencampuri penghidupan bathin rakyat sampai sedalam-dalamnya mengenai hubungannya dengan Tuhan.
Malah sebagaimana kita alami sendiri Orde Lama, orang yang berkuasa, kalau tidak diawasi, atau untuk memakai kata-kata yang lazim di zaman sekarang, kalau tidak disertai dengan social control dan social participation, dapat menyeleweng, dapat berbahaya atau merugikan negara, jangankan ia dapat mengatur penghidupan rakyat sedalam-dalamnya, istimewa mengenai hubungannya dengan Tuhan. Kecuali kalau orang itu pilihan dari Tuhan sendiri yaitu para Nabi, atau Rasul yang diutus oleh Tuhan memberi pelajaran kepada ummat manusia, tentang percaya kepadaNya, dan bagaimana berbakti kepadaNya.
Biarpun pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 dinamakan “Lahirnya Pancasila”, Nabi Muhammad saw sudah 1400 tahun, Nabi Isa sudah 2000 tahun mengajar ummatnya masing-masing tentang Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran Hindu dan Budha tentang tuhan sudah lebih lama lagi yaitu sudah beberapa ribu tahun.
Kata sepakat tentang dasar negara mengenai sila Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti bahwa masing-masing percaya kepada Tuhan menurut agamanya sendiri-sendiri, dengan kesadaran bahwa bersama kita dapat mendirikan negara yang kuat sentosa, karena esensi dari agama, ialah hidup berbakti, menjunjung keadilan dn kebenaran, cinta dan kasih sayang terhadap sesame makhluk.
“Ketuhanan Yang Maha Esa adalah ajaran dari Nabi-Nabi dan pesuruh-pesuruh Allah, sungguh pun mereka mendapat pengetahuan dengan jalan wahyu, akan tetapi mereka menyampaikan beritanya kepada manusia dengan cara yang dapat diperhatikan dan diperiksa dalam alam, dapat dipikirkan dan dipahamkan dengan akal pikiran. Tentang Nabi dan pesuruh-pesuruh Allah itu ternyata bahwa dalam beribu-ribu tahun riwayat manusia di muka bumi ini, tetap ada beritanya yang menjadi pegangan kepercayaan ummat manusia dan tuntunan hidup dalam tiap-tiap bangsa yang menjalani kamajuan.
Dari masa Nabi Musa as kira-kira 1500 tahun sebelum permulaan zaman Miladiyah, Nabi Isa as (sudah lebih 2000 tahun berlalu). Dalam masa itu raja-raja besar alangkah banyaknya yang memuncak kekuasaannya, meluas kerajaannya, sedang senan-tiasa dalam kemewahan, lalu menjalani kemuduran merosot dan akhirnya lenyap musnah, tidak meninggalkan jejak atau bekas, melainkan rerun-tuhan penyesalan, kesedihan dan kemelaratan. Nama mereka: rajarajanya, kerajaan-kerajaannya, bangsa-bangsanya pun hanya dalam riwayat-riwayat masih bertemu.
Tetapi Nabi Musa dan kitab Taurat, Nabi Isa dan Injil, Nabi Muhammad dan Qur’an, pemimpin agama Budha Gautama dan Bagawat Gita, nama Nabi-nabi itu dan kitab-kitab itu tetap hidup bagi berjuta-juta ummat manusia dari abad ke abad semenjak beribu-ribu tahun.
Isi kitab-kitab suci itu, kitab-kitab suci sifatnya sambung menyambung, yang kemudian menjadi kesaksian dan ujian kepada yang dahulu, menjadi bacaan, pengajian dan tuntutan hidup kepada berjuta-juta ummat manusia dalam masa itu dengan tidak putus-putusnya. Tidak ada nama sebesar-besar raja dunia menandingi nama Nabi-nabi itu pada nilainya. Kitab-kitab itu tidak ada karangan yang dapat mendekati nilainya dalam anggapan ummat manusia seluruh dunia. Tidak ada kitab yang dapat menghidupkan hati dan budi, semangat dan rohani manusia sebagai kitab-kitab itu. Segala kenyataan yang menjadi pengalaman turun-temurun sepanjang masa riwayat itu, tidak dapat di singkirkan dengan bantahan atau sangkalan betapa pun dicoba oleh orang-orang yang menam-pik kebenaran agama”.20)
Kaum-kaum yang mengikuti Nabi-nabi dan percaya kepada Kitab-kitab sebagai tuntunan dari Tuhan, menurut ajaran agama Islam digolongkan dalam satu kesatuan yaitu “ahli kitab”, mereka yang percaya kepada kitab Tuhan, berhadapan dengan golongan ini maka mereka yang tidak percaya kepada Tuhan, dinamakan golongan kafir. Maka adalah garis tegas yang diadakan oleh Tuhan sendiri, yaitu “ahli kitab” dan golongan kafir.
UUD 45 menurut keyakinan saya mengikuti garis ini, sedang gagasan Nasakom adalah menyimpang dari garis itu.
Tauhid Di antara ayat-ayat Qur’an yang melalui Nabi Muhammad saw. diturunkanlah surat Al-Baqarah (II) ayat 163 dan 164, berkata: Adapun Tuhan kamu, Tuhan Yang Maha Esa yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Nyatalah di dalam ciptaan segala langit dan bumi dan pertukaran malam dan siang, dan perahu yang melancar diatas muka laut dengan muatan yang bermanfaat kepada manusia, dan air yang Allah turunkan dari langit memberi hidup akan bumi ini kemudian daripada matinya, dan hewan berbagai macam ia biakkan atasnya, dan perkisaran dan perarakan awan yang diberi menanggung tugas diantara langit dan bumi, nyatalah segala itu adalah tanda-tanda kepada orang-orang yang pandai memahamkan dengan akalnya.
Surat An Nahl (16) ayat 1 - 18, berkata: “Ialah Subhanahu Wa ta’ala yang menurunkan air dari langit untuk kamu minum dan untuk menghidupkan tumbuh-tumbuhan, tempat melepaskan ternak mencari rezekinya. Ia menumbuhkan dengan air itu tanaman-tanaman, dan zaitun dan korma (kelapa, sagu dan sebagainya) dan buah anggur dari macam-macam tumbuh-tumbuhan, nyatalah semuanya terkandung tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir. Dan ia menundukkan kepada kamu malam dan siang, matahari dan bulan, segala bintang, semuanya diberi menanggung tugas dengan perintahNya, nyatalah di dalam itu terkandung tanda-tanda bagi orang-orang yang pandai memahamkan. Dan segala yang Ia terbitkan. Ia tumbuhkan di muka bumi dengan berbagai warnanya, nyatalah di dalam itu adalah tanda-tanda bagi orang yang tahu mengenang-ngenangkan”.
Dan jika kamu hendak menghitung segala nikmat karunia Allah tidaklah dapat kamu menentukan jum-lahnya, nyatalah Allah amat Mengampuni, amat Penyayang”.
Ajaran-ajaran agama Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw tentang Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pertumbuhan dari masa ke masa ditambah dengan karya para ulama’ dan lain-lain ahli pikir menjadi ilmu tersendiri, yaitu ilmu Tauhid.
Di samping itu teranglah bahwa manusia tidak diberi pengetahuan tentang Tuhan sekedar hanya untuk pengetahuan saja. Karena agama itu akhirnya adalah pedoman hidup. Firman Allah swt di dalam surat Az-Zakariyat ayat 56 menyatakan “dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melain-kan supaya beribadat kepadaKu”.
Ibadat selanjutnya tidak hanya berarti menu-naikan rukun-rukun ibadat, seperti sembahyang dan puasa, akan tetapi ibadat adalah tiap-tiap perbuatan manusia yang dikerjakan dengan niat berbakti kepada Tuhan: Seorang yang sudah mencapai kesadaran, bahwa segala perbuatannya harus dikerjakan dengan niat untuk ibadat adalah orang yang taqwa kepada Tuhan.
Tetap sekali syarat yang ditentukan oleh MPRS kepada seorang yang menjadi Menteri ialah taqwa kepada Tuhan. Menurut ajaran H.A.Salim dalam buku yang di sebut tadi, taqwa berarti “berlindung dengan niat, yaitu tunduk dan menurut perintah kepada Allah daripada balasan hukumnya”.
Taqwa berarti hendak mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan mengikhlaskan ibadatnya; amal dan usaha kebijakan yang mengharapkan ridha perkenan dan kabul penerimaan dari padaNya subhanahu wata’ala dan menjauhi dan menjauhkan segala nista dan keji dari hati dan angan-angan, dan mematangkan perbuatan yang melanggar larangan Allah subhanahu wata’ala”.
“Dengan mendidik dan melakukan taqwa dengan sengaja, dapatlah kita melaksanakan hidup menyertakan niat ibadat dalam tiap-tiap pekerjaan apapun juga yang kita kerjakan untuk keperluan kehidupan kita dan pergaulan hidup kita”. Mung-kin ada orang , malah banyak orang yang akan mengatakan bahwa hidup dengan bertaqwa kepada Tuhan itu, tidak dapat dipakai dalam politik. Sebab politik adalah pertarungan kekuatan, siapa yang kuat itulah yang menang.
Dalam politik ada ajaran Machiaveli, yang di Indonesia tidak kurang pengikutnya. Orang Komunis dalam politik berpegang kepada pedoman “tujuan menghalalkan daya upaya”, apa saja dapat dikerjakan yang dilarang oleh Tuhan, yang amoral pun, untuk mencapai tujuan politik.
Teranglah bahwa politik semacam ini menyimpang dari Pancasila. Keadilan dan kebenaran tidak boleh dikesampingkan, tidak boleh menjadi slogan semata-mata, dengan alasan bahwa dalam politik orang harus berfikir lain dan berbuat lain. Kalau keadilan dan kebenaran dapat dikesampingkan karena pertimbangan-pertim-bangan politik, maka pagi-pagi atau siang nanti, politik yang amoral itu akhirnya akan menuju “ke lobang buaya”, dalam arti kiasan, yaitu akan mendatangkan bencana bagi negara dan ummat.
Inilah keyakinan yang dapat diambil sebagai pelajaran selama kita merdeka 24 tahun lamanya.
Tidak mungkin ketenangan dan tertib hukum dicapai dengan mengenyampingkan keadilan dan kebenaran. Kalau tampanya ketenangan dicapai dengan paksaan dengan memperkosa keadilan dan kebenaran dapat ditekan untuk sementara tidak untuk selama-lamanya. Pada saatnya akan meletus dan kebathilan akan tersingkir.
Pada saat PKI menjadi partai yang terkuat berkat bantuan dan perlindungan Presiden Soekarno, selama itu PKI tidak pernah memperdulikan norma-norma keadilan dan kebenaran. Pada saat PKI mencapai puncak kekuatannya dan yakin dapat mengoper kekuasaan Republik Indonesia, maka PKI menjalankan suatu perbuatan yang sekaligus mempersatukan dan menghimpun kekuatan menjadi anti PKI. Dengan segala ukuran dan pikiran manusia, terutama yang berpolitik seperti diterang-kan diatas, tidak ada lagi sesuatu yang dapat menghalang halangi PKI, mengoper kekuasaan. Kalau riwayat waktu itu tidak berjalan menurut perhitungan dan pikiran politik, maka benarlah kebanyakan dari kita mengatakan bahwa Tuhan melindungi Republik Indonesia.
Demikianlah renungan tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa berdasarkan ajaran agama Islam dan pengajian dari ulama’-ulama’. Pengikut-pengikut Nabi Musa, Nabi Isa dan Hindu dan Budha tentu memberi arti sendiri-sendiri menurut agamanya masing-masing, tentang Ketuhanan Yang Maha Esa itu menjadi sila yang pertama dan sila itu ditegaskan lagi dalam fasal 29 UUD 45, sebab dalam tiap-tiap agama kepercayaan kepada Tuhannya, taqwa kepada Tuhannya, adalah kesadaran yang menjadi pedoman kehidupan tiap-tiap manusia. Sila-sila selanjutnya tersirat sebagai perintah yang harus ditaati oleh orang yang taqwa kepada Tuhannya.
Demokrasi Sila keempat, dalam preambule diterangkan dengan kata “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Dengan satu perkataan, sila itu juga dinamakan demokrasi. Lebih sering lagi sekarang dipakai juga istilah demokrasi Pancasila. Kalau demokrasi itu salah satu dari Pancasila, maka sebenarnya demo-krasi Pancasila adalah pleonasme, kata-kata yang berlebihan. Tetapi kalau kata-kata yang berlebihan memberi pengertihan yang terang, maka tentu tidak ada keberatan terhadapnya. Maka teranglah bahwa demokrasi Pancasila bukan demokrasi terpimpin.
Kita telah mengalami praktek dari demokrasi terpimpin. Bagaimana pun baik maksudnya demokrasi terpimpin akan tetapi sebagaimana telah dikatakan oleh Dr. Muhammad Hatta dalam pelaksanaannya ia adalah direktur. Selama demo-krasi terpimpin itu berjalan, yang boleh dikatakan juga selama Orde Lama, Presiden Soekarno sering mengejek-ejek demokrasi yang berlaku sebelumnya sebagai demokrasi barat, demokrasi liberal atau demokrasi separoh tamba  satu (de helft plus een). Akan tetapi dalam prakteknya demokrasi terpimpin itu malah kurang lagi, tidak separo, tambah satu, melainkan satu saja. Dalam diktatur yang bicara hanya satu orang saja, lain-lainnya hanyalah togog-togog, mengikuti atau menurut. Memang sering sekali badan-badan perwakilan di dunia barat disalahkan, bahwa keputusan-keputusan diambil sekedar dengan menghitung suara. Dan siapa yang punya suara separoh tambah satu, dialah yang menang.
Dalam preambule demokrasi itu disebut dengan kata-kata yang sangat tegas yang mengandung esensi dari demokrasi atau karakyatan. Harus ada perwakilan yang dipilih dengan syarat-syarat yang benar. Wakil-wakil rakyat harus dipilih dengan cara syarat yang benar. Wakil-wakil rakyat harus dipilih dengan cara bebas dan rahasia, kemudian sebagai wakil rakyat mereka harus dijamin, agar yang berkuasa tidak dapat menggunakan ancaman atau desakan agar wakil rakyat mengikuti saja kehendak yang berkuasa.
Dalam badan-badan perwakilan harus benar-benar ada permusyawaratan yang dipimpin dengan kebijaksanaan. Akhirnya kalau semua itu telah dikerjakan dengan ikhlas dan jujur keputusan harus diambil, kalau dapat dengan suara bulat kalau tidak dengan menghitung suara. Dan keputusannya harus di terima pula dengan ikhlas karena segala ikhtiar sudah dikerjakan. Tentang menghitung suara itu UUD tidak memungkinkan adanya keragu-raguan. Memutuskan dengan menghitung suara, sesudah musyawarah yang dipimpin dengan kebijaksanaan, sudah terjalin dalam demokrasi.
Fasal 37 UUD menentukan cara yang istimewa, yaitu mengubah UUD, dengan sekurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir dan dari yang hadir sekurang-kurangnya 2/3 menyetujui peru-bahan. Ini berarti bahwa tentang lain-lain soal MPR mengambil keputusan dengan mayoritas biasa yaitu paling sedikit separoh tambah satu. Itulah keten-tuan UUD yang terang dan murni.
Demokrasi dalam pemerintahan dan perwakilan tidak mungkin berjalan baik, kalau tidak disertai kebebasan pers, kebebasan bersidang, berkumpul, dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Dan jangan terjadi lagi seperti dalam orde lama, bahwa orang yang berlainan pendapat dan tidak melanggar suatu larangan dari kitab Undang-undang Pidana, diasingkan dan dipandang berbahaya atau sub-versif atau kontra revolusioner.
Bagi orang Islam dasar demokrasi itu adalah musyawarah. Memang intisari dari demokrasi ialah musyawarah antara yang memerintah dan yang diperintah. Memerintah tidak berarti menjalankan kekuasaan dari mereka yang berkuas karena memegang senjata, tapi memerintah adalah hasil musyawarah dengan yang diperintah. Maka karena itu memerintah mendapat sifat menjalankan amanat dari yang diperintah. Sumber demokrasi itu adalah surat Syura, ayat 38, yang berkata: “Dan orang-orang yang mengikut Tuhan, mengerjakan sembahyang, urusan mereka dengan musyawarah antara mereka, mendermakan sebagian rizki yang Kami anugrahkan kepada mereka”.
Musyawarah dalam urusan negara, yaitu dalam urusan yang mengenai kehidupan rakyat pada umumnya, tidak akan mencapai tujuannya, kalau tidak disertai jaminan-jaminan bebas dari paksaan, bebas berfikir, bebas mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, dan lain-lain kebebasan yang biasanya dinamakan hak-hak kamanusiaan. Hak-hak itu dipandang dimiliki tiap manusia sejak ia dilahirkan, tidak perlu ada keterangan atau ada pembicaraan lagi.
Hak-hak Asasi BAGAIMANA sikap UUD 45 berkenan dengan hak-hak asasi? UUD 45, adalah Undang-undang dasar yang sangat singkat, terdiri dari 37 pasal, 4 pasal peralihan dan 1 pasal aturan tambahan.
Dalam penjelasan umum dari UUD 45 itu, kita baca : “UUD negara manapun tidak dapat dimengerti, kalau hanya dibaca teksnya saja.
Untuk mengerti maksud UUD dari suatu negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasan apa teks itu disusun.
Dengan demikian kita mengerti apa maksud Undang-undang yang kita pelajari, aliran pikiran apa yang menjadi dasar undang-undang itu”.
Di lain bagian dikatakan: “Maka telah cukup jikalau undang-undang dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara negara untuk menye-lenggarakan kehidupan negara dn kesejahteraan sosial. Terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik haluan dasar yang tertulis itu hanya mamuat aturan-aturan pokok, sedang aturan-aturan yang menyelenggarakan kehidupan negara dise-rahkan kepada undang-undang yang lebih muda caranya membuat, merubah dan mencabut”.
Berdasarkan atas penjelasan dari UUD 45 itu maka saya mengambil kesimpulan, bahwa hak-hak manusia atau hak dasar tersurat dalam UUD 45 yang berlaku dari 1945 sampai akhir 1949.
Caranya UUD 45 menyebut hak-hak dasar memang sesuai dengan kesingkatannya, misalnya pasal 28 tidak menyebut lebih dahulu, bahwa tiap warga negara berhak berserikat dan berkumpul dan berhak mengeluarkan pikiran, akan tetapi pasal 28 itu menentukan, bahwa dasar-dasar itu ditetapkan dengan Undang-undang. Jadi sistem UUD 45 tidak menyebut hak-hak itu, tapi cukup memberi perintah kepada pembuat undang-undang untuk mengatur hak asasi, hak berserikat dan hak mengeluarkan pendapat. Begitu juga pasal 29 tidak mengatakan terlebih dahulu, bahwa penduduk negara bebas beragama, tapi memandang menurut agamanya masing-masing.
Untuk kedua kalinya, dan semoga untuk selama-lamanya, UUD 45 yang bagi bangsa Indonesia adalah UUD keramat dan mempunyai sejarah istimewa, berlaku sejak dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Dalam masa akhir tahun 1949 sampai tahun 1959 itu, perlu disebut beberapa pertumbuhan yang ada pengaruhnya dalam penger-tian dan tafsiran UUD 45, istimewa berkenan dengan hak-hak asasi tersebut.
Pertama pada tanggal 10 Desember 1948, General Assembly dari Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima dan memproklamirkan Universal Decla-ration of Human Rigths (Pernyataan Umum tentang hak-hak manusia).
Declaration itu terdiri dari 30 pasal, diprok-lamirkan dengan maksud agar diketahui oleh ummat manusia di seluruh dunia dengan harapan agar juga menjadi dasar yang diakui oleh negara-negara yang menjadi anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kedua Undang-undang Dasar Republik Indo-nesia Serikat yang mulai berlaku pada tahun 27 Desember 1945, memuat satu bagian terdiri, Bab I bagian V, berjudul hak-hak dan kebebasan dasar manusia. Bagian itu terdiri dari 27 pasal, pasal 7 sampai dengan 33, dan memuat hamper semua hak-hak asasi yang dimuat dalam Declaration dari Perserikatan Bangsa-Bangsa Ketika UUD Sementara Negara Kesatuan tahun 1950 mempunyai juga bagian tersendiri, Bab I bagian V juga terdiri dari 27 pasal yang memuat hak-hak azasi tersebut. Maka karena itu pendapat, bahwa hak-hak azasi itu sudah tersirat dalam UUD 45, kini lebih kuat lagi. Jika tidak maka akan terpaksa kita mengambil kesimpulan, bahwa kembalinya ke UUD 45, berarti kemunduran berkenaan dengan hak-hak asasi.
Gagasan yang demikian tentu tidak sesuai dengan dasar atau sila kemanusiaan yang adil dan beradab.
Piagam Jakarta, UUD 45 dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 menjadi UUD yang berlaku lagi. Maka dekrit tidak dapat dipisahkan dari UUD 45. Dalam dekrit itu dikatakan bahwa Piagam Jakarta akan menjiwai pelaksanaan UUD 45. Saya ingin mengakhiri uraian ini dengan memberikan beberapa pemikiran tentang Piagam ini untuk mendapat pengertian yang sebaik-baiknya.
Apakah Piagam Jakarta itu? Piagam Jakarta itu adalah rencana Preambule untuk UUD 45 yang disusun oleh panitia terdiri dari 9 pemimpin bangsa Indonesia, yaitu Ir. Soekarno, Dr. Hatta, Mr. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, Mr. Subardjo, Wahid Hasyim, dan Mr. Moh. Yamin dalam sidangnya tanggal 22 Juni 1945.
Preambule itu kemudian sesudah musyawarah berulang kali mencapai bentuk yang terakhir, yaitu menjadi Pembukaan dari UUD 45. Kalau kita sekarang bicara tentang Piagam Jakarta, maka teristimewa kita maksudkan satu kalimat yang terdiri dari 7 perkataan dalam rancangan itu yaitu “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluk”, yang tempatnya dibelakang dasar Ketuhanan.
Dalam sidang tanggal 11 Juli 1945, Panitia Perancang UUD membicarakan rancangan Preambule itu. Mr. Latuharhary berkeberatan terhadap 7 perkataan tersebut, karena “akibatnya mungkin besar, terutama terhadap agama lain….. Kalimat ini bisa juga menimbulkan kekacauan misalnya terhadap adat istiadat”.
Terhadap keberatan ini. H. Agus Salim menga-takan “Pertikaian hukum agama dengan hokum adat bukan masalah baru, pada umumnya sudah selesai. Lain dari itu orang-orang yang beragama lain tidak perlu kuatir”.
Anggota-anggota Wongsonegoro dan Djaja-diningrat juga berkeberatan terhadap 7 perkataan itu dengan alasan “Mungkin menimbulkan fana-tisme, karena seolah-olah memaksa menjalankan syari’at bagi orang-orang Islam”.
Terhadap keberatan ini anggota Wachid Hasyim mengingatkan kapada dasar permusyawaratan, dan karena itu “paksaan tidak bisa terjadi”.
Akhirnya ketua sidang yaitu Ir. Soekarno sendiri mengulangi, bahwa kalimat itu kompromis antara golongan Kebangsaan dan Islam, yang hanya didapat dengan susah payah. Oleh karena poko-pokok lain kiranya tidak ada yang menolak, pokok-pokok dalam preambule dianggap sudah diterima.
Agar uraian ini jangan terlalu panjang, maka dalam pertumbuhan selanjutnya “Piagam Jakarta itu akhirnya tidak masuk dalam preambule UUD 45”.
Dalam pertumbuhan yang lebih lanjut, Piagam Jakarta muncul lagi, tidak dalam preambule, melainkan dalam dekrit dengan catatan “menjiwai”. Dekrit mengantar berlakunya kembali UUD 45, adalah suatu bentuk hukum yang penting, tentu tudak satu perkataan pun yang dapat di pandang tidak berarti. Tentang tujuh perkataan itu saya ingin membuat beberapa catatan:
Piagam Jakarta hanya berlaku untuk golongan Islam dan tidak mengurangi kebebasan golongan agama lain. Kebebasan menjalankan ibadat agama menurut kepercayaan masing-masing dijamin oleh Negara. Andaikata Piagam Jakarta itu tidak masuk dalam preambule atau dalam dekrit, maka tetap pemeluk agama Islam berkewajiban menjalankan syari’at Islam. Kewajiban itu adalah pembawaan bagi tiap-tiap orang yang mengatakan dirinya seorang Islam. Kewajiban tidak dalam arti “yuridis” yang membawa akibat hukum yang dapat dipaksa-kan, tetapi kewajiban dalam arti agama. Tergantung dari pada kesadaran tiap orang Islam. Dalam hal ini ia sendiri akan bertanggung jawab kepada Tuhan sesuai dengan kesadarannya. Demikian juga sifat Piagam Jakarta dalam Preambule yang oleh Wahid Hasyim dikatakan “tidak bisa terjadi ada paksaan”
apalagi kalau hanya dikatakan, bahwa Piagama Jakarta itu menjiwai UUD 45.
Tetapi tetap Piagam Jakarta mempunyai arti. Artinya tidak dalam bidang yuridis tetapi dalam bidang spirituil. Ia mengingatkan ummat Islam akan syari’at agamanya, dan syari’at itu adalah jalan menuju kesempurnaan, baik bagi hidup di dunia maupun di akhirat. Dan peringatan itu diberikan tidak dari mimbar biasa tetapi mimbarnya adalah dekrit yang mangatarkan UUD 45.
Waktu saya mulai belajar hukum, 35 tahun yang lalu buku pertama yang saya baca ialah karangan Prof. Van Kan “Inleidingtot de Rechtswetemschap”. Tentang antara hubungan tingkah laku orang dalam masyarakat dengan kaidah agama Prof. Van Kan menerangkan : “Adakalanya orang beranggapan, bahwa semua peraturan yang ditaati adalah peraturan-peraturan Tuhan.
Dalam zaman lampau agama seringkali merupakan tenaga pendorong yang terbesar yang mengatur tingkah laku orang, bahkan satu-satunya tenaga pendorong. Hal ini tidak berlaku lagi bagi zaman sekarang”. Buku itu dikarang seperempat abad pertama dari abad ke XX ini, dan apa yang dikatakan dengan kata-kata “hal ini tidak berlaku lagi bagi zaman” merupakan satu “state of mind”. Keadaan mental itu tidak saja berada di Hindia Belanda di waktu itu, tapi keadaan mental di dunia Eropa. Agama tidak lagi menjadi pendorong yang terutama dalam tindak tanduk manusia dalam masyarakat.
Ini berarti kepercayaan orang kepada Tuhan, zat yang Berkuasa, yang Mengawasi, yang Menuntun, yang Mengadili yakni Menghukum, tidak lagi mempunyai tempat yang penting dalam kesadaran manusia.
Itulah keadaan mental dari dunia waktu itu dan tidak sedikit para ahli pikir mengatakan, bahwa karena itu, dalam umur satu generasi dunia mengalami dua kali peperangan yang melanda maha dasyat.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, pada umumnya dan Piagam Jakarta khususnya bagi ummat Islam, menunjukkan dan mengingatkan kepada kita dari tempat yang istimewa, yaitu UUD, bahwa manusia dalam penghidupan bernegara memerlukan tuntunan Ilahy.
Tag : Nasionalis
0 Komentar untuk "Tafsir Mr. Mohammad Roem Tentang sila-sila dalam pancasila"

Back To Top