Dalam masa pendudukan Jepang di
Indonesia, Kekaisaran Jepang, melalui Perdana Menteri Kuniaki Koiso mengumumkan
janji pemberian kemerdekaan kepada segenap rakyat Indonesia. Pengumuman ini
dikeluarkan di depan resepsi istimewa The Imperial Diet yang ke 85 pada 7 September
1944.
Langkah pertama pelaksanaan janji ini
ialah pembentukan “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai” atau BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 29 April 1945, hari ulang
tahun Kaisar Jepang. Badan Penyelidik yang beranggotakan 62 orang ini, termasuk
Dr. Rajiman Widyodiningrat dan R.P. Soeroso masing-masing sebagai Ketua dan Wakil
Ketua, dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 dan menyelesaikan tugasnya di Gedung Pejambon
dalam dua kali sidang. Pertama, berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1
Juni 1945. Dan yang kedua, berlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 16 Juli
1945. Pada hari terakhir sidang pertama, Soekarno, salah seorang anggota Badan
Penyelidik, menyampaikan pidato sebagai berikut:
Saudara-saudara! sesudah saya
bicarakan tentang hal “merdeka”, maka sekarang saya bicarakan tentang hal
dasar.
Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya
mengerti apakah yang paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta
dasar, minta philosophische grondslag, atau, jikalau kita boleh memakai
perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu “Weltanschauung”,
di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa
banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang
merdeka itu berdiri di atas suatu “Weltanschauung”. Hitler mendirikan Jermania
di atas “national-sozialistische Weltanschauung”, filsafat-nasional-sosialisme
telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin
mendirikan negara Sovyet di atas satu “Weltanschauung”, yaitu Marxistische,
Historisch-Materialistische Weltanschauung. Nippon mendiri-kan negara Dai
Nippon di atas satu “Weltans-chauung”, yaitu yang dinamakan “Tennoo Koodoo
Seishin”. Di atas “Tennoo Koodoo Seishin”, inilah negara Dai Nippon didirikan.
Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu “Weltanschauung”,
bahkan di atas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh
Paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah “Weltanschauung” kita, jikalau kita hendak
mendiri-kan Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, “Weltanschauung”
ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran
kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia
bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam “Weltanschauung”, bekerja
mati-matian untuk me-realiteitkan” “Weltanschauung” mereka itu. Maka oleh
karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikusno,
bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara mer-deka didirikan di
dalam 10 hari oleh Lenin c.s”, - John Reed, di dalam kitabnya: Ten days that
shook the world, “sepuluh hari yang menggoncangkan dunia”, walaupun Lenin
mendirikan Sovyet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi “Weltanschauung” telahnya
tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu telah tersedia “Weltanschauung”-nya,
dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara
baru itu di atas “Weltanschauung” yang sudah ada. Dari 1895 “Weltanschauung”itu
telah disusun. Bahkan dalam revolutie 1905, Weltans-chauung itu “dicobakan”, di
“generale-repetitie-kan”.
Lenin, di dalam revolusi tahun 1905
telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri “generale-repetitie”
dari pada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, “Weltanschauung” itu
disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari,
sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara
baru, direbut kekuasaan, ditaruh-kan kekusaan itu diatas “Weltanschauung” yang
telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki
singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische
Weltanschauung. Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya “Weltanschauung”
itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1912 dan 1922 beliau telah
bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Nazisme ini,
“Weltanschauung” ini, dapat menjelma dengan dia punya “ Munchener Putsch”,
tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut
kekua-saan, dan negara ditelakkan oleh beliau di atas “Weltanschauung” yang
telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak
mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan Ketua, timbullah pertanyaan:
Apakah “Weltanschauung” kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka
diatasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme?
Apakah San Min Chu I, sebagai
dikatakan oleh doktor Sun Yat Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen
mendirikan negara Tiongkok Merdeka, tetapi “Weltanschauung” nya telah dalam
tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku
“The three people’s principles” San Min Chu I, - Mintsu, Minchuan, Min Sheng, nasionalisme,
demokrasi, sosialisme, - telah digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen Weltanschauung
itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas “Weltanschauung”
San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh tahun.
Kita hendak mendirikan negara
Indonesia, merdeka di atas “Weltanschauung” apa? Nasionalsosialisme-kah,
Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau “Weltanschauung” apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah
bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan macam-macam,
tetapi alangkah benar perkataan dr. Soekiman, perkataan Ki Bagus Hadikusumo,
bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham. Kita
bersamasama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu
“Weltanschauung” yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara
Yamin setuju, yang Ki Bagus setujui, yang Ki Hajar setujui, yang sdr. Sanusi
setujui, yang sdr. Abikusno setujui, yang sdr. Lim Kun Hian setujui, pendeknya
kita semua mencari modus. Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama
mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara,
saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu
orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya
saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk meng-agungkan satu orang,
untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan
pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu
tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebang-saan yang disini, maupun
saudara-saudara yang dinamakan Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan
negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu
negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan,
baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi “semua buat semua”.
Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang
selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari
di dalam sidang Dokoritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918,
25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia,
ialah dasar kebangsaan. Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia. Saya
minta, saudara Ki Bagus Hadikusumo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah
saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta
kepada saudarasaudara, janganlah saudara-saudara salah paham jikalau saya katakan
bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti
satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale
staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari
yang lalu. Satu Nationale staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit.
Sebagai saudara Ki Bagus Hadikusumo katakan kemarin, maka tuan adalah orang
bangsa Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek
moyang tuanpun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti
yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagus Hadikusumo itulah, kita dasarkan negara
Indonesia.
Satu Nationale Staat! Hal ini perlu
diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di
Taman Raden Saleh sedikit-sedikit
telah menerang-kannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo
sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan syarat bangsa ialah
“kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau
bersatu.
Ernest Renan menyebut syarat bangsa:
“le desir d’etre ensemble”, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi
Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau
bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain,
yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya “Die Nationalitatenfrage”, disitu
ditanyakan: “Was ist eine Nation?” dan jawabnya ialah: “Eine Nation ist eini aus
Schiksalsgemeinschaft erwachsene Caharakter-gemeinschaft”. Inilah menurut Otto
Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena
persatuan nasib).
Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau
tidak salah, Prof. Supomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat
membuat rencana. Yamin berkata: “verouderd”, “sudah tua”. Memang tuan-tuan
sekalian, definisi Ernest Renan sudah “verouderd”, sudah tua. Definisi Otto
Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya itu,
tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu
wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.
Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki
Bagus Hadikusumo, atau tuan Munandar, mengatakan tentang “Persatuan antara
orang dan tempat”. Persatuan antar orang dan tempat, tuan-tuan sekalian!
Orang dan tempat tidak dapat
dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya.
Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikir-kan
“Gemeinschaft”nya dan perasaan orangnya, “I ame et le desir”. Mereka hanya mengingat
karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami
manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah
satu kesatuan Allah swt membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita
melihat peta dunia, kita dapat
menunjukkan dimana “kesatuan-kesatuan”
disitu. Seorang anak kecilpun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat
menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat
ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar
Lautan Pacific dan lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu benua Asia dan
benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa,
Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan
lain-lain pulau kecil diantaranya, adalah satu kesatuan. Demikian pula
tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang
membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai “golfbreker” atau penghadang gelombang
lautan Pacifis, adalah satu kesatuan.
Anak kecilpun dapat melihat, bahwa
tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia
yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa
kepulauan Inggris adalah satu kesatuan.
Griekenland atau Yunani dapat
ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah swt demikian
rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athena saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta
plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan
Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah
tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah Tanah
air kita . Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau
Borneo saja atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi
segenap keperluan yang ditunjuk oleh Allah swt menjadi satu kesatuan antara dua
benua dan dua samudera, itulah Tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan
antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah
definisi yang dikatakan oleh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup “le desir
d’etre ensemble”, tidak cukup definisi Otto Bauer “aus Schiksalsgemeinschaft
erwachsene Charakter-gemeinschaft” itu. Maaf saudara-saudara, saya mengambil
contoh Minangkabau.
Diantara bangsa di Indonesia, yang
paling ada “desir d’etre ensem-ble”, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya
kira-kira 2,5 milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi
Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada
satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa “le desir d’etre ensemble”,
tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa-Barat
rakyat Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre ensemble” tetapi Sundapun
hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan.
Pendek kata bangsa Indonesia, Natie
Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan “le desir
d’etre ensemble” diatas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura,
atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh
manusiamanusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah swt tinggal
dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke
Papua! Seluruhnya! Karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada “le desir
d’etre ensemble”, sudah terjadi “Charaktergemeinschaft”! Natie Indonesia,
bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi
70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu! (tepuk tangan
hebat).
Kesinilah kita semua harus menuju :
men-dirikan satu nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung
Sumatera sampai ke Papua. Saya yakin tidak ada satu golongan diantara tuan-tuan
yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”.
Kesinilah kita harus menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan orang mengira
, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu natinale staat! Bukan Pruisen,
bukan Beiren, bukan Saksen adalah nationale staat, tetapi seluruh semenanjung
di Laut Tengah, yang di Utara dibatasi oleh pegunungan Alpen, adalah nationale staat.
Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segitiga
Indialah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua
negeri-negeri ditanah air kita yang merdeka dijamin dahulu, adalah natoinale
staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu dijaman Sri Wijaya
dan dijaman Majapahit. Diluar dari itu kita tidak mengalami nationale staat.
Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata
dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokusumo bahwa Mataram, meskipun
merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Perabu Siliwangi
di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan
perasaan hormat kepada Sultan Agung Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya
di Banten, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat
kepada Sultan Hasanuddin di Sulawesi yang telah mem-bentuk kerajaan Bugis, saja
berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia
seluruhnya, yang telah berdiri dijaman Sri Wijaya dan Majapahit, dan yang kini
pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik,
marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama : Kebangsaan
Indonesia.
Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan
kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi,
Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersamasama menjadi
dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Kun Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan
? Di dalam pidato tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan
Fuku-Kaityoo,
Tuan menjawab : “Saya tidak mau akan
kebangsaan”.
Tuan Lim Kun Hian : Bukan begitu, ada
sambungannya lagi.
Tuan Sukarno : Kalau begitu, maaf, dan
saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Kun
Hian pun menyetujui dasar kebangsaan.
Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik
yang tidak mau akan dasar kebangsaan,
karena mereka memeluk paham kosmopolitisme, yang
mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak
ada bangsa.Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopo-litisme,
sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa
Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya
“menschheid”, “peri kemanusiaan”. Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi
penga-jaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebang-saan Tionghoa! Saya
mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk dibangku sekolah H.B.S. di
Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang
memberi pelajaran kepada saya, - katanya : jangan berpaham kebangsaan, tetapi
berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikitpun.
Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang
lain yang memperingatkan saya, - ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya
“San Min Chu I” atau “The Three People’s Principles”, saya mendapat pelajaran
yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati
saja sejak itu tertanam-lah rasa kebangsaan, oleh pengaruh “The Three people’s
principles” itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa
menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga
seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa
berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, sampai masuk ke lobang kubur.
(Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan).
Saudara-saudara. Tetapi….
tetapi…..memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin
orang meruncingkan nasional- isme menjadi chauvinisme, sehingga berpaham “Indonesia
Uber Alles”. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa
yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya
satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini !
Gandhi berkata: “Saya seorang
nasionalisme, tetapi kebangsaan saya adalah peri kemanusiaan”
My nationalisme is humanity”.
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan
kebang-saan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang
di Eropa, yang mengatakan “Deutschland uber Alles”, tidak ada yang setinggi
“Jermania, yang katanya bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru, “bangsa
Aria”, yang dianggapnya tertinggi diatas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak
ada harganya. Jangan kita berdiri diatas asas demikian, Tuan-tuan, jangan
berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan
bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara
Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan
bangsa-bangsa.
Justru inilah prinsip saya yang kedua.
Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang saja usulkan kepada Tuan-tuan,
yang boleh saya namakan “internasionalisme”. Tetapi jikalau saya katakan
internasionalisme, bukanlah saya ber-maksud kosmopolitisme, yang tidak mau
adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak
ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup
subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme.
Nasionalisme tidak dapat hidup subur,
kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini,
saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada
tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain. Kemudian, apakah
dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan.
Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk
satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua
buat semua”, satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang
mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang
terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam,-maaf
beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, -tetapi kalau
saudarasaudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan
akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini,
ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat,
kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan
pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita
bicara-kan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk
mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin
rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat
Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang
terbesar daripada kursi- kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan,
diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang
bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup
berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin
menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin
utusan-utusan Islam kedalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan
Rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya,
agar supaya 60,70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang
Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari
badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.
Malahan saya yakin, jikalau hal yang
demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam
benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah
orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru
jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas
bibir saja. Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di
dalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu
maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam
belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya
minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama
yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan,
perwakilan.
Dalam perwakilan nanti ada perjuangan
sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul betul hidup, jikalau di
dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak men-didih kawah Candradimuka,
kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun
di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3,
prinsip mufakat, prinsip pewakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat
saudara-saudara Islam dan saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebat-nya.
Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam
peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah
mati-matian, agar supaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan
perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil-fair play! Tidak ada satu
negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya.
Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam negara Nippon
tidak ada pergeseran pikiran. Allah Subhanahuwa Ta’ala memberi pikiran kepada
kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok,
seakan-akan menumbuk mem-bersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan
beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah
saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan!
Prinsip No.4 sekarang saya usulkan.
Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip
kesejahteraan. Prinsip : tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya
katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng:
nationalism, democracy, socialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau
Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua
rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam
kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-
pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira,
bahwa kalau Badan Perwa-kilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah
mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah
Badan Perwakilan, adalah perlementaire democratie. Tetapi tidaklah di Eropa
justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu badan perwakilan
rakyat, dan tidaklah di Amerika kaum Kapitalis merajalela? Tidakkah diseluruh
benua Barat kaum Kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak
lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan-badan perwakilan rakyat yang
diadakan disana itu, sekedar menurut resepnya Fransche Revolutie. Tak lain tak bukan
adalah yang dinama-kan democratie disana itu hanyalah politieke democratie
saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid,-tak ada keadilan sosial,
tidak ada ekonomische democratie sama sekali. Saudara-saudara, saya ingat akan
kalimat seorang pemimpin Perantjis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke
democratie. “Di dalam Perlementaire Democratie, kata Jean Jaures, tiap-tiap
orang mempunyai hak sama. Hak politik yang sama, tiap-tiap orang boleh memilih,
tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid,
adakah kenyataan kesejahteraan dikalangan rakyat?” Maka oleh karena itu Jean
Jaures berkata lagi : “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itu, di dalam
Parlement dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia
punya tempat bekerja, di dalam pabrik,-sekarang ia menjatuhkan minister, besok
dia dapat dilempar keluar kejalan raja, dibikin werkloos, tidak dapat makan
suatu apa”.
Adakah keadaan yang demikian ini yang
kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau
kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan
yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu
mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal
ini. Apakah yang dimaksud dengan paham Ratu-Adil, ialah sociale rechtvaardigheid.
Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang
pakaian, menciptakan dunia-baru yang di dalamnya ada keadilan, dibawah pimpinan
Ratu-Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti,
mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale
rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek, saudarasaudara, tetapi
pun diatas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persa-maan, artinya kesejahteraan
bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan
yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusya-waratan politieke
democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujud-kan
dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini
bersama-sama, saudara-saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi
lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepala
negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena
monarchie “vooronderstelt erfelijkheid”,-turun-temurun. Saya seorang Islam,
saya democrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya
minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam
mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin,
harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita
pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikusumo misalnya, menjadi kepala negara
Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikusumo dengan sendirinya,
dengan otomatis menjadi pengganti Ki Hadikusumo. Maka oleh karena itu saya
tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5 ?
Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme,-atau
peri-kemanusiaan.
3. Mufakat,-atau demokrasi.
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya:
Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Prinsip Ketuhanan ! Bukan saja bangsa
Indo-nesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan
Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih,
yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhamad s.a.w, orang Budha
menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita
semuanya ber-Tuhan. Hen-daknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap
orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat
hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan
hendaknya Negara Indo-nesia satu Negara yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama,
baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban.
Apakah cara yang berkeadaban itu?
Ialah hormat-menghormati satu sama lain. (Tepuk tangan sebagian hadlirin). Nabi
Muhamad s.a.w telah memberi bukti yang cukup tentang verdraag-zaamheid, tentang
menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaam-heid
itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan
itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada negara kita, ialah Ketuhanan
yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang
hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara
menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Disinilah, dalam pangkuan azas yang
kelima inilah, saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang
ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan
pula!
Ingatlah, prinsip ketiga,
permufakatan, perwa-kilan, disitulah tempatnya kita mempropagandakan ide kita
masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam, yaitu dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara”
telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca
Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan
dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya.
Dari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indera. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir: Pendawa Lima). Pendawapun lima orangnya. Sekarangpun banyaknya
prinsip: kebang-saan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan,
lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi -
saya namakan ini dengan petujuk seorang teman kita ahli bahasa- namanya Paca
Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan
Negara Indonesia, kekal dan abadi. (Tepuk tangan riuh).
Atau, barangkali ada saudara-saudara
yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3
saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh
tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltans-chauung
kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan
peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socionationalisme.
Dan Demokrasi yang bukan demokrasi
barat, tetapi politiek-economische democratie, yaitu politik demokrasi dengan
sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula
menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie.
Tinggal lagi ketuhanan yang
menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah
menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan.
Kalau Tuan senang kepada simbolik
tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang
kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu,
saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sabagai tadi telah saya katakan: kita
mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat
semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan
Hadikusumo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang
kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia,- semua buat semua! Jikalau
saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah
saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Negara
Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya!
Negara Gotong Royong! (Tepuk tangan riuh-rendah).
“Gotong-Royong” adalah paham yang
dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudarasaudara! Kekeluargaan adalah
satu paham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu
amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Sukarjo satu karyo,
satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini,
bersama-sama! Gotongroyong adalah pembantingan- tulang bersama,
pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantubinantu bersama. Amal semua buat
kepentingan semua, keringat semua buat kebahagian semua.
Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan
bersama! Itulah Gotong Royong! (Tepuk tangan riuhrendah).
Prinsip Gotong Royong di antara yang
kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan
Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah,
saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila
menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang tuan-tuan pilih:
Trisila, Ekasila ataukah Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada
saudarasaudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada
saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan
tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa,
kita hidup di dalam masa peperangan, saudara-saudara. Di dalam masa peperangan
itulah kita mendirikan negara Indonesia,- di dalam gunturnya peperangan!
Bahkan saya mengucap syukur
alhamduli’llah kepada Allah Subhanahu wata’ala, bahwa kita mendirikan negara
Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi dibawah palu godam
peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia
yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan
Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan
negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap
syukur kepada Allah s.w.t.
Berhubung dengan itu, sebagai yang
diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakan
noodmaatregel, peraturan yang bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia
Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca Sila. Sebagai dikatakan
tadi, saudara-saudara itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara-saudara mufakatinya
atau tidak, tetapi saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini
untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk
kebang-saan Indonesia;
untuk kebangsaan Indonesia yang hidup
di dalam peri-kemanusiaan; untuk pemu-fakatan; untuk sociale rechtvaardigheid;
untuk ke-Tuhanan. Panca Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya
sejak berpuluh tahun. Tetapi, saudara-saudara , diterima atau tidak, terserah
kepada saudara-saudara. Tetapi saya sendiri seinsyaf-insyafnya, bahwa tidak ada
satu Weltans-chauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan
sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan realiteit,
jika tidak dengan perjuangan!.
Jangan pun Weltanschauung yang diadakan
oleh manusia, jangan pun yang diadakan oleh Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin,
oleh Sun Yat Sen!
“De Mensch”,-manusia!-harus perjuangan
itu. Zonder perjuangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak
bisa menjadi realiteit zonder perjuangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I
tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjuangan bangsa Tionghoa,
saudara-saudara!
Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi
dari itu: zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu
cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Jangan pun buatan manusia, sedangkan
perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit (tertulis
diatas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjuangan
manusia yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang
tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya, tidak dapat
menjelma zonder per-juangan ummat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa
Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit,
yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nasionaliteit yang
merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan
peri-kemanusiaan, ingin hidup diatas dasar permusyawaratan, ingin hidup
sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan
aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna,-jaganlah lupa akan syarat untuk
menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan.
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia itu perjuangan kita
telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu
perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnja dengan perjuangan
sekarang, lain corak- nya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu
padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca
Sila. Dan terutama dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah,
tanamkanlah, dalam kalbu saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang
jika bangsa Indonesia tidak berani meng-ambil resiko,- tidak berani terjun
menyelami mutiara di dalam samudra yang sedalam-dalam-nya. Jikalau bangsa
Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad mati-matian untuk mencapai merdeka,
tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat
selama-lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah didapat dan
dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad “Merdeka”,-merdeka
atau mati”!(Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara! Demikianlah saya
punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato
saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo jang sedikit lama, dan
saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan
Zimukyokutyoo yang saya anggap
“verschrikkelijk zwaarwichtig” itu. Terima kasih! (Tepuk tangan riuh rendah
dari segenap hadirin).
Tag :
Nasionalis,
Sosial
0 Komentar untuk "Pengaruh Zionis pada Soekarno dalam perumusan Pancasila "