Gerakan
kelompok Islamis kontemporer di Aljazair telah secara perlahan-lahan mengalami
kemajuan selama akhir 1970-an dan awal 1980-an. Dari tahun 1979 sampai 1988
kelompok Islamis terlibat dalam sedikit sekali tindakan oposisi politik yang
terbuka atau protes di luar institusi. Pada masa itu aktivisme Islam terpecah
belah dan terbatas hanya dalam kegiatan dakwah dan protes di kampus-kampus dan
masjid-masjid. Sebuah organisasi yang cenderung radikal telah muncul dengan
nama Mouvement Algerien Islamique Armèe (Gerakan Tentara Islam Aljazair) yang
lebih terkenal dengan nama kelompok ‘Bouyali’ (nama yang dinisbatkan kepada
pendiri dan pemimpin gerakan ini, Mustapha Bouyali). Namun, gerakan ini hanya
mendapat sedikit dukungan dan terabaikan oleh gerakan lain yang lebih luas
(Roudjia, 1993; Burgat dan Dowell, 1997).
Gerakan
kelompok Islamis mulai menjadi lebih politis setelah negara mengumumkan
perubahan sistem politik ke arah yang lebih pluralistik pada 1989. Serangkaian
reformasi konstitusi telah menjamin kebebasan untuk berekspresi, berorganisasi,
berserikat; menyediakan hak untuk mengorganisasikan massa dan melakukan mogok;
dan membatasi peran tentara untuk menjaga stabilitas dan kedaulatan nasional
(Rashid, 1997). Reformasi tidak hanya terbatas pada urusan konstitusi semata.
Rakyat Aljazair menyaksikan perubahan yang jelas dalam kehidupan politik mereka
setelah serangkaian kerusuhan terjadi pada Oktober 1988, yang juga sebagai
tanda dimulainya proses reformasi.
Pers
diberikan kebebasan yang luar biasa untuk terbit, dan “selama musim semi 1990,
turun ke jalan, arak-arakan, demonstrasi menjadi kejadian yang terlihat biasa”
(Mortimer, 1991: 583).
Kelompok-kelompok
Islamis memperoleh manfaat dari hampir semua aspek reformasi. Beberapa partai
politik keagamaan muncul, termasuk FIS, Harakat al-Mujtama’ al- Islami (HAMAS),
dan Gerakan Kebangkitan Islam (Mouvement de la Nahda Islamique, MNI).
Berbarengan dengan munculnya partai-partai politik dan organisi Islamis yang
terdaftar, muncul pula sejumlah kempok kecil dengan orientasi Islamis yang
radikal. Kelompok-kelopok itu menamakan dirinya Amr bil Ma’rouf wal Nahi ‘an
al-Munkar, Takfir wal Hijra, Jama’at al-Sunna wa al-Shari’a, dan Ansar
al-Tawhid (Ayyashi, 1993; al-Tawil, 1998; Martinez, 2000).
Konteks
politik yang lebih bebas setelah 1989 mendorong gerakan-gerakan Islamis untuk
bergerak lebih maju menjadi organisasi-organisasi yang inklusif. Dari 1989
hingga 1991, mobilisasi kelompok Islamis hampir semuanya diorganisasikan di
bawah naungan FIS. Meskipun ada 14 partai Islamis lain, FIS saat itu tetap
menjadi yang paling dominan. FIS mengikuti pemilihan umum lokal pada bulan Juni
1990 dan mampu menguasai banyak daerah dan wilayah
Aljazair
(Mas’ad, 1995: 235). FIS menunjukan keinginannya yang serius untuk mengikuti
pemilihan umum nasional pada 1991 dan mengerahkan beragam kekuatan sosial untuk
mendapat dukungan.
FIS
berhasil dalam memimpin gerakan Islamis karena dua alasan. Pertama, FIS
mengambil keputusan untuk membentuk dan mengorganisasikan sebuah partai politik
pada 1989 dan karena itu memosisikan dirinya sebagai garda depan gerakan. FIS
mampu menunjukan ribuan pendukung melalui kumpulan massa,
demonstrasi-demonstrasi dan pemilihan umum lokal pada 1990, yang berarti bahwa
partai politik adalah cara yang afektif untuk memobilisasi dan karena itu
menarik hati lebih banyak aktivis (al-Tawil 1998, 23-24).
Berbeda
dari FIS, partai politik Islamis lain hanya memperoleh sedikit dukungan
terutama karena partai-partai tersebut terkesan reaktif dan tidak kompak.
Partai-partai ini dilihat sebagai pemecah-belah pemilih karena bersaing dengan
FIS yang sudah mapan.
Kedua,
ciri inklusif FIS mendorong perluasan yang cepat dalam gerakan karena kriteria
keanggotaannya menyediakan ruang bagi aktivis yang tidak terlalu berkomitmen.
FIS membagi anggotanya menjadi tiga kelompok, yakni para simpatisan, pendukung,
dan aktivis. Hanya anggota yang aktif sajalah yang harus menarik diri dari
organisasi keagamaan atau politik lain. Lebih jauh, hanya para aktivisnya
sajalah yang dituntut untuk mengabdikan waktu dan tenaganya untuk aktivitas
organisasi dan harus menyumbang lima persen dari pendapatan bulanannya untuk
organisasi. Juga hanya para aktivisnya sajalah yang harus tunduk kepada
perintah-perintah pimpinan kelompok.
Sebagai
tambahan, FIS tidaklah berusaha menghalang-halangi masuknya
kecenderungan-kecenderungan dan kepemimpinan-kepemimpinan lain dalam gerakan
Islam.
Satu-satunya
aturan bagi para anggota kelompok adalah bahwa siapa pun yang bergabung dengan
FIS harus melakukan sesuatu yang bersifat individual untuk mempromosikan
tujuan-tujuan organisasi yang sangat luas, bukan sebagai perwakilan
kelompok-kelompok lain. FIS menolak alinasi Islamis yang lebih luas dengan
HAMAS dan MNI, yang dianggap sebagai kelompok pesaing. Namun meskipun ada
penolakan tersebut, FIS tetaplah organisasi yang inklusif sebagaimana dengan
jelas ditunjukan oleh susunan dewan pertimbangannya, yang terdiri dari beragam
kecenderungan paham keagamaan Salafiyya,6 Jazaira,7 “Afghan”,8 Takfir
wa
al-Hijra,9 dan para mantan aktivis Bouyali10 (Labat 1995; al-Tawil 1998).
Roudjia (1995, 74-75) mencatat bahwa “FIS harus dilihat, berdasarkan
pengalaman, sebagai tempat berkumpulnya (melting-pot) faksi-faksi yang sangat
beragam yang memiliki kesamaan tak lebih dari sebagai sesame kelompok Islam dan
memilki sebuah tujuan untuk situasi politik di Aljazair.”
0 Komentar untuk "Dari Peminggiran ke Pembantaian: Munculnya GIA di Aljazair"