Penerapan Pancasila Di Aceh Pada Masa Orde Baru



Banyak pihak menilai, pembantaian yang terjadi di Aceh selama berlangsungnya operasi militer sejak 1989 hingga 1998 dengan jumlah korban hingga sekitar 30.000 nyawa ini sebagai malapetaka peradaban yang rasanya hanya mungkin terjadi dalam masyarakat primitif. Karena pembantaian massal yang demikian harus dihentikan dan pelakunya harus dimintai pertanggungjawabannya secara hukum. Presiden Habibie, atas pemerintah Indonesia harus meminta maaf secara terbuka atas tindakan represif militer di Aceh yang telah menyebabkan kesengsaraan rakyat. Hal tersebut harus pula dibarengi dengan pencabutan status DOM, agar citra pemerintah pulih di mata masyarakat Aceh, bahwa telah terjadi perlakuan yang sangat biadab di Aceh, terhadap orang Aceh, yang hampir tidak dapat diyakini dengan akal sehat. Perlakuan seperti itu hanya mungkin dilakukan atau terjadi di tengah masyarkat yang berperadaban primitif.

Tapi kenyataannya, hal ini justru terjadi di Indonesia tecinta yang berfalsafah Pancasila, dilakukan oleh sesama bangsa hanya untuk sekedar menunjukkan betapa “saktinya” Pancasila di hadapan kaum lemah. Sebagian besar dilakukan oleh aparat bangsa Indonesia terhadap anak bangsanya sendiri di Aceh. Pembantaian yang hampir bersifat massal, pelecehan, perkosaan terhadap orang-orang desa yang dituduh GPK selama sepuluh tahun terakhir itu, cenderung pembantaian terhadap harkat, martabat, dan peradaban Aceh. Padahal, Aceh adalah suatu masyarakat, suatu budaya dengan sejarah peradaban yang panjang, hampir seribu tahun. Kita semua sangat prihatin dan kecewa dengan Kasus Aceh yang kemudian terungkap itu dan kini ramai dibeberkan oleh media domestik maupun luar negeri. Seharusnya, kita semua, anak bangsa, harus peduli dengan malapetaka peradaban ini. Tidak cukup hanya LSM dan mahasiswa, melainkan semua tokoh adat, ulama, politisi, pejabat dan cendekiawan dituntut tanggungjawab moralnya menyikapi tragedi ini.
Kepedulian terhadap malapetaka peradaban ini haruslah dipandang lebih penting dibandingkan kampanye Pemilu. Kepedulian yang berlebih-lebihan dalam kegiatan Pemilu hanyalah untuk keputusan politik sesaat (antara pemilu ke pemilu). Saat ini, masyarakat sedang menunggu peran para tokoh-tokoh tersebut di atas. Mana para ulama yang aktif dalam kampanye pemilu dulu? Mana para tokoh cendekiawan yang selama ini aktif mendiskusikan upaya pemenangan kontestan dalam pemilu? Kembalikan harkat dan martabat, dan rasa percaya diri masyarakat Aceh. Supaya orang Aceh tidak terperosok dalam emosi balas dendam. Karena, malapetaka ini,
bukanlah disebabkan oleh kemauan individual di kalangan ABRI, melainkan oleh suatu sistem.
Memang terminologi ABRI tidak ada istilah DOM, sebagaimana dikatakan Pangdam I Bukit Barisan dan sudah pasti tidak ada SK-nya. Namun, yang terjadi di Aceh adalah akibat dari pelaksanaan operasi militer. Kita harus ke luar dari sistem yang bermasalah itu ke paradigm baru, suatu sistem yang beradab dan berperikemanusiaan dalam suasana tertib, aman dan menjunjung tinggi hukum. Jadi, hukum pulalah yang harus menjadi pedoman dalam menindak mereka yang terbukti bersalah. Meskipun kita tahu bahwa hukum yang akan dipakai ini pun bukanlah hukum yang adil. Betapa tragisnya, hukum yang sudah 99% memihak mereka, hukum yang basa-basi rakyat Muslim Aceh, tidak dipakai untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM ini. Bahkan basa-basi pun sudah tidak ada lagi.
Apa yang terjadi di Aceh dalam satu dekade ini merupakan tragedi kemanusiaan yang mengandung pelanggaran HAM yang terberat. Mencabut hak hidup orang yang belum terbukti bersalah adalah pelanggaran yang paling asasi, apalagi jika hal itu dilakukan secara primitif di abad moderen yang serba canggih sekarang ini. Secara Machiavelis pun kita akan menganjurkan kepada Soeharto dan tentara-tentaranya agar memakai senjata mutkhir dan moderen kalau membunuh rakyat, jangan dengan cara yang sadis dan kejam seperti di Aceh. Kill them softly, bunuhlah mereka secara lembut dengan cara berdebat secara terbuka dan demo-kratis tentang persoalan-persoalan yang diperselisihkan. Kalau dengan cara biadab, dinasaurus pada zaman dahulu pun bisa melakukannya. Pembunuhan yang dilakukan alat-alat negara terhadap orang-orang Aceh sangat mudah dibuktikan, tanpa perlu turun tim pencari fakta seorang pun. Anjing saja bisa mengendus di mana mayat-mayat para syuhada itu terkubur secara serampangan. Maka, sesudah TPF DPR yang dipimpin Hari Sabarno, hendaknya ada lagi TPF yang dibentuk Komnas HAM dan TPF ABRI yang bertolak ke Aceh dalam waktu dekat. Sehingga, pelanggaran hak dan hukum, yang sebagian besar diduga dilakukan aparat keamanan bisa segera diusut dan dipertanggungjawabkan. Dibanding kasus penculikan dan penghilangan para aktivis prodemokrasi di Jakarta, apapun yang terjadi di Aceh jauh lebih dasyat. Betapa banyak korban akibat operasi yang bersandikan jaring merah itu. Di antaranya, banyak anak-anak yang kini menjadi yatim, wanita yang menjadi janda, dan tidak sedikit yang mengalami trauma sepanjang hidupnya akibat diperkosa secara bergilir oleh oknum-oknum militer. Karena itu, DOM adalah sebuah upaya yang sistematis untuk memusnahkan orang Aceh di bumi nusantara ini. Bahwa DOM yang ada di Serambi Makah ini tidak lain dari penghancuran kultur dan etnis Aceh. Persis seperti yang dialami komunitas Muslim Bosnia dan Albania di Seme-nanjung Balkan.
Oknum-oknum yang melakukan pembantaian tersebut layak dicap sebagai penjahat perang. Karena pembantaian, pemerkosaan, pembakaran, dan penculikan adalah sesuatu yang seharusnya “diharamkan” karena tidak sesuai dengan norma-norma manusia yang berperadaban dan agama.
Ternyata di tengah bangsa ini menuju suatu peradaban, tingkat kebiadaban manusia semakin dipertanyakan. Melakukan investigasi di sejumlah daerah yang diposisikan sebagai daerah basis GPK. Hasil yang mereka peroleh bukan saja berupa realitas ketidakadilan dan pelanggaran HAM tingkat tinggi, tapi juga ada kuburan-kuburan massal yang membuktikan bahwa ketika sudah matipun orang Aceh bagai tak berhak memperoleh penghormatan sebagai insan. Pembinasaan etnis Aceh yang demikian harus dihentikan, dan kalau ada yang telibat GPK harus diadili secara terbuka di pengadilan. Bukan dengan cara-cara brutal yang melampaui batas kewajaran dan akal sehat. Sebagai negara hukum, mestinya mengakui supremasi hukum di segala bidang.
Pemberlakuan DOM di Aceh, dengan dalih memulihkan keamanan dari sisa-sisa GPK melalui tindakan represif militer di Aceh, telah memberi dampak negatif yang sangat luar biasa, dan suasana mencekam yang tiada taranya yang harus ditanggung rakyat. Semasa penjajahan Belanda sekalipun, tidak pernah masyarakat Aceh mendapat perlakuan sebrutal ini. Ironisnya, hal itu dilakuakan oleh militer yang mengagung-agungkan gagasan dwi fungsi ABRI. Ini memang benar kesaksian tentang pelaksanaan operasi militer di Aceh.
Berbagai pelanggaran hak asasi manusia terjadi di Aceh selama operasi militer. Ratusan warga Aceh hilang di ciduk atau di bantai karena dituduh sebagai anggota GPK. Mayat mereka dikuburkan (antara lain) dibukit tengkorak atau dibuang ke Sungai Tamiang. Tuntutan mencabut status DOM pun marak. Penyiksaan yang dialami masyarakat sipil di Aceh selama berlangsung operasi militer. Antara lain ada yang disetrum, ditelanjangi, diperkosa sampai melahirkan anak haram, dikubur hidup-hidup, digorok, ditembak di depan orang ramai dan dikubur secara massal.
Pelanggaran HAM dan sejumlah orang hilang semasa orde baru yang terbesar di Indonesia, adalah di Aceh. Itu didasarkan pada petunjuk awal, atau data permulaan, yang sudah hampir  mencapai 3000 kasus.
Dari temuan sementara forum LSM, data orang hilang dan kekerasan di Aceh memang berada di atas angka seribu kasus. Kecuali itu, mereka juga sudah memiliki peta dan foto sejumlah kuburan massal di Aceh, yang diduga berisi tumpukan kerangka dan tengkorak korban. Perlunya klarifikasi data mengenai korban kasus Aceh. Datalah yang mestinya berbicara, sehingga tidak ada fitnah yang justru memperburuk posisi kita sebagai bangsa yang beradab. Dari sejumlah data yang sudah dipaparkan, baik di media maupun lang-sung oleh para korban atau keluarga korban, apa yang terjadi di Aceh adalah pelanggaran HAM.
Mengenai janda dan yatim yang ditinggalkan orang hilang, yang diduga tersangkut GPK, harus pula disantuni dan diberdayakan. Karena jumlahnya banyak, sepertinya tak memenuhi bila disantuni lewat APBD, melainkan harus dialokasikan dengan APBN. Aceh sudah relatif aman orang-orang desa sudah bisa berusaha, bersawah dan berkebun, serta beribadah dengan tenang.
Diera reformasi ini jangan takut lagi kepada GPK, dan jangan takut pula kepada ABRI. Pihak pengadu mengaku keluarga mereka hilang sekitar waktu 1989-1994 dan ada juga yang hilangnya sekitar tahun 1997 telah mencapai ratusan kasus. Menurut para pelapor, korban-korban ada yang diketahui sudah dibunuh. Sebagaimana diceritakan janda Rohan Yusufi (50) penduduk reungkam kecamatan matang kuli, pada 19 februari 1992 suaminya Abdul Rani (58) dijemput penculik. Korban ditembak di depan istri dan anaknya, kemudian rumah dibakar serta sepedah motor diambil penculik dan tidak dikembalikan. Kisah serupa juga diceritakan janda Fauziyah (35) penduduk tempok masjid Junda kecamatan muara dua, suaminya Tengku Zainal Abidin (41) dijemput orang tidak dikenal ketika membeli rokok. Kemudian penculik datang kerumah mengambil semua prabot rumah tangganya dan bahan pecah belah. Dan sampai sekarang tidak dikembalikan. Para keluarga korban yang mengadu menangis di depannya sambil menunjukkan foto keluarga mereka yang hilang. Para keluarga korban meminta agar korban dicari di mana keberadaannya saat ini. Sementara korban orang hilang yang diadukan ke DPRD oleh keluarganya, hingga kini belum berhasil didata. Namun beberapa anggota Legislatif Aceh Utara itu mengaku sudah menerima laporan warga dengan puluhan kasus pelanggaran HAM tersebut. Anggota legislatif yang mewakili rakyat Aceh di Jakarta hanya Gasali Abas Adan sajalah yang sedikit prihatin atas apa yang terjadi di Aceh. Sedangkan lima wakil rakyat lainnya yang namanya tercantum sebagai wakil dari tanah rencong ini tidak bersuara sedikitpun hanya menikmati tingginya gaji anggota DPR saja dengan segala nafsu kemewahannya. Padahal terpilihnya mereka dari daerah Aceh dengan mengorbankan banyak ulama’ untuk mengangkat dua jari bagi kemenangan Golkar laknatullah itu. Kini para pemilih Golkar itu hanya dianggap telah menjadi mayat korban pembantaian alat-alat negara yang dikuasai Golkar sendiri. Sungguh suatu ironisme sejarah yang paling pahit bagi umat Islam. Apalah arti semua itu kalau kita hanya sibuk mendata tanpa ada jalan keluar yang tuntas. Untuk menuntaskan itu semua, hanya dengan membereskan sistem dalam keseluruhan kelembagaan dan budaya warisan Orde Baru sajalah yang akan memungkinkan Aceh dan semua komunitas muslim di Indonesia akan mendapatkan perlakuan yang manusiawi. Hanya dengan pilihan berani yang harus keluar dari mulut orang Aceh sendiri untuk memilih sistem Negara Islam sajalah yang akan dapat mengobati semua sakit hati ini. Kalau dulu perjuangan Teungku Daud Beureueh telah disia-siakan oleh orang-orang Aceh dan orang-orang Muslim Indonesia yang tidak mengerti akan sebuah makna Jihad dan beribadah, maka kini janganlah kita menyia-nyiakan nyawa ribuan rakyat Muslim sipil Aceh yang telah melayang. Segeralah menentukan sikap untuk menolak semua campur tangan para elit Korup, Kolusif dan Nepotis peninggalan Orde Baru Soeharto dan menentukan sendiri nasib Aceh untuk menjadi wilayah Islam yang bersih, suci lahir batin dan sentosa dunia akhirat tanpa perlu memisahkan diri dari Republik yang sudah lama diperjuangkan oleh umat Islam dan mujahid dari berbagai wilayah lainnya ini.
Tag : Nasionalis
0 Komentar untuk "Penerapan Pancasila Di Aceh Pada Masa Orde Baru"

Back To Top