Pada suatu upacara,
peringatan 20 tahun dan Long March Supersemar Pemuda Indonesia I (1986) di
istana Bogor, ketua MPR, Amir Mahmud ketika itu, menyampaikan sambutannya antara
lain: “Khusus dalam rangka memperingati hari lahirnya Supersemar, yang patut
diingat, janganlah mengecam siapa yang bersalah atau pun memuji siapa yang
berjasa. Juga jangan ada dendam, dengki, iri hati dan jangan dieksploitir untuk
maksud-maksud yang tidak baik, atau membelokkan hakekat kebenaran Supersemar,
serta jangan pula dihadapi dengan jiwa kerdil. Peristiwa Supersemar, pada
hakekatnya adalah peristiwa sosial-idiologis, yang mengandung Pancamuka, yaitu
sebagai peristiwa historis yang membuka babak baru perjuangan rakyat Indonesia.
Supersemar sebagai
peristiwa idiologis, karena dengan itu idiologi Pancasila dapat diamankan dari
ancaman dan gangguan. Supersemar sebagai peristiwa politis, dengan adanya
Supersemar, lahirlah orde politik baru yang dikenal dengan Orde Baru. Sebagai
peristiwa yuridis, karena merupakan sumber hukum dalam penyelenggaraan tata
pemerintahan dan kenegaraan; di samping itu sebagai peristiwa kerohanian,
karena lahirnya Supersemar sebagai “mu’jizat” dari Allah.
Idiologi apa pun di luar
Pancasila, jika diterap-kan di Indonesia akan sangat berbahaya bagi keutuhan
dan eksistensi negara. Oleh sebab itu, jangan lengah, jangan terpesona daya
tarik yang memukau, jangan tergiur oleh ajakan yang meng-himbau,, jangan
terpengaruh bisikan janji atau pancingan-pancingan yang menggairahkan selera,
yang dapat memalingkan kesadaran akan kepri-badian Pancasila dan pandangan
hidup bangsa Indonesia”.
Ungkapan yang dilontarkan
Amir Mahmud, sebagaimana tersebut di atas, dapat dipandang mewakili pandangan
pemerintah Pancasila, yang disadari ataupun tidak telah menempatkan Pancasila
sebagai benda keramat. Atas dasar itu pula, maka selama pemerintahan orla
maupun orba, terdapat beberapa hal yang “diharamkan” untuk dikritik, yaitu:
Tidak boleh mengkritik Pancasila dan UUD 45, tidak boleh mengkritik
kebijaksanaan peme-rintah, tidak boleh mengkritik dwi fungsi ABRI, dan tidak
boleh mengungkapkan kesalahan pegawai pemerintah.
Siapa pun yang melanggar
rambu-rambu ini, pelakunya akan berhadapan dengan alat negara dan dituduh
melanggar undang-undang anti subversi.
Soekarno yang dikenal
masyarakat, sebagai penggagas Pancasila, dan kemudian menjadi Presiden pertama
Republik Indonesia. Dan juga Soeharto yang menjadi arsitek Orde Baru, adalah
orang-orang yang mengganggap dirinya sebagai pengawal setia Pancasila. Dari
kedua mantan presiden RI ini, kita ingin memperoleh potret yang jelas tentang
hakekat Pancasila dalam penerapan-nya di tanah air. Di sini kita akan mencoba
menyoroti kedua tokoh tersebut dalam membuat kebijakan mereka yang didasarkan
pada Pancasila, terhadap umat Islam di Aceh khususnya, dan kaum muslimin di
seluruh Indonesia pada umumnya.
Untuk menyoroti hal
tersebut, di bawah ini, kami kutipkan tulisan Al-Chaedar dalam bukunya Aceh
Bersimbah Darah, khususnya mengenai bagaimana penerapan Pancasila serta
akibat-akibat yang ditimbulkannya, baik di masa orla, orba maupun sekarang ini.
Pancasila di Masa Orla
Pada masa Orde Lama muncul
di Aceh apa yang terkenal dengan peristiwa Pulot-Cot Jeumpa bulan Maret 1954,
sehingga peristiwa ini pun disebut peristiwa Mar.25 Bulan Maret bagi orang Aceh,
tidaklah sesuci megah dan agungnya peringatan peristiwa 11 Maret 1966 dalam
kerangka pikir Orde Baru, karena kekejaman tentara Republik di bulan itu telah
demikian traumatis bagi rakyat Aceh. Dalam peristiwa Pulot-Cot Jeumpa ini,
berkaitan dengan Darul Islam (1953-1964)
di Aceh, tentara Nasional
Indonesia dengan brutal membantai anak-anak bayi, wanita dan orangorang tua
yang sudah uzur. Angkatan perang Republik ini memang terlihat begitu kuat dan
perkasanya di hadapan “musuh-musuh” hamba la’eh (kaum lemah) di Aceh ini. Di
headline Surat kabar “Peristiwa” yang terbit di Koetaradja (Kini Banda Aceh)
memuat berita tragis tentang pembantaian manusia secara keji dan tak
berperikemanusiaan: “99 orang penduduk di daerah Pulot Cot Jeumpa (Aceh Besar)
yang tidak berdosa dibantai oleh alat negara.26) Berita yang dikutip oleh
beberapa harian di Jakarta, serta menimbulkan beberapa atmosfir kesedihan
masyarakat Aceh di Jakarta, serta menimbulkan beberapa pertanyaan. Apakah
benar, alat negara membantai rakyatnya sendiri, lebih-lebih rakyat yang tidak
berdosa? Apakah mungkin ada kekejaman yang demikian biadab terjadi di Tanah air
ini? Tetapi bagaimanapun pemberon-takan yang terjadi di Aceh, pada hakekatnya
adalah suatu “peperangan” antara alat negara sebagai kekuatan yang sah melawan
gerombolan pem-berontak. Dalam setiap peperangan apa saja bisa terjadi. Tidak
mustahil ayah membunuh anaknya, demikian juga sebaliknya.
Betapa terkejutnya dan
prihatinnya orang-orang Aceh di Jakarta, demikian juga di tempat-tempat lain
mendengar berita pemberontakan di Aceh bulan September 1953, kurang lebih enam
bulan sebelum berlalu hampir dapat dilihat sebagai suatu unjuk rasa politik
dengan memakai cara seccesionist movement, tetapi peristiwa Pulot-Cot Jeumpa
telah merupakan pembunuhan dengan sengaja dan meriah terhadap rakyat yang lemah
oleh sebagian alat negara yang tidak bertanggung jawab.
Sudah barang tentu
pemerintah pada waktu itu dibawah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (dari
Partai Nasional Indonesia/PNI) membantah keras bahwa alat negara telah
melakukan pembunuhan massal seperti diberitakan oleh sementara surat kabar baik
yang terbit di daerah maupun yang di Jakarta. Apakah yang sebenarnya yang telah
terjadi di tempat yang dinamakan Pulot Cot Jeumpa. Dua desa kecil dalam
kabupaten Aceh Besar, di daerah kecamatan Lho’ Nga kurang lebih 15 km dari ibu
kota propinsi Aceh Koetaraja. Desa itu didiami hampir 100% para nelayan di tepi
pantai samudera Indonesia yang indah. Peristiwanya dikisahkan sebagai berikut.
Pada suatu hari di bulan
Maret 1954 dalam rangka operasi militer mengejar pemberontak, sebuah
iring-iringan truk militer melewati desa kecil dan guyub tersebut. Sesampainya
di sebuah jembatan yang terletak di kampung Pulot, secara mendadak
iring-iringan militer itu dihadang oleh gerombolan pemberontak. Tembak-menembak
terjadi antara militer dengan pemberontak.
Korban pun berjatuhan di
kedua belah pihak, sedang gerombolan pemberontak melarikan diri ke hutan
melalui kedua kampung yang namanya menjadi tenar itu. Sudah barang tentu
militer tidak bisa tinggal diam menghadapi hadangan itu. Mereka segera meminta
tambahan bantuan tenaga dari Koetaraja. Hari ini juga diadakan operasi
besar-besaran dalam kampung Pulot dan Cot Jeumpa, dalam rangka mengejar
pemberontak yang diduga keras bersembunyi di sekitar kampung tersebut. Di sini
mulainya tragedi itu. Rakyat dari kedua kampung itu tidak ada seorang pun yang
dapat memberi keterangan, ke mana larinya pemberontak yang menghadang tadi.
Semua mereka mejawab tidak
tahu. Jawaban-jawaban yang kurang mem-bantu itu, membuat suasana menjadi panik.
Batalyon 142 lantas mengamuk dan secara membabi buta memuntahkan peluru
senjatanya ke arah rakyat, sasaran tak berdosa itu. Akibatnya 99 orang rakyat
sipil meninggal dunia. Tidaklah terlalu salah jika banyak orang berkesimpulan
bahwa Tentara Nasional Indonesia hanya bertujuan membunuh rakyat semata, bukan
melindunginya. Apalagi dengan berada di bawah kepemimpinan Jendral-jendral non
muslim, tujuan itu semakin jelas:
Pemberangusan embrio
muslim di mana pun diseluruh Indonesia. Serangan terhadap muslim di Indonesia
memang menyedihkan, tidak hanya cukup dengan serangan-serangan ideologis, tapi juga
serangan-serangan fisik. Leher orang-orang Muslim dianggapnya lebih murah
ketimbang leher seekor kambing sehingga dapat dengan leluasanya kaum Muslimin
dimana pun digorok hidup-hidup, sembari menitipkan pesan bahwa si mati adalah
GPK atau pemberontak. Di Aceh kebutuhan yang hampir terlupakan dalam adu
kekuatan antara pasukan pemerintah dan Darul Islam kembali menarik perhatian
dunia luar ketika sebuah surat kabar setempat, Peristiwa, menulis kepala berita
“Darah membanjiri tanah Rencong” pada awal maret. Surat kabar itu memberitakan
hampir seratus orang penduduk desa di kabupaten Aceh Besar dibantai oleh tentara
dalam dua insiden pada akhir pebruari; kejadian ini sebagai peristiwa Pulot-Cot
Jeumpa.
Peristiwa pertama terjadi
pada tanggal 26 pebruari ketika satu peleton pasukan yang kalap dari Batalyon
142 (dari Sumatera Barat) secara semena-mesa menembak mati duapuluh lima petani
di Cot Jeumpa, sebuah kampung dekat Koetaraja. Kejadian ini diikuti oleh
kekejaman lainnya dua hari kemudian di sebuah yang berdekatan, Pulot, di mana
anggota Batalyon yang sama membantai enam puluh empat nelayan, yang berusia
sebelas sampai seratus tahun, dan melukai lima orang lainnya. Surat kabar ini
juga mem-beritakan bahwa dalam dua peristiwa tersebut tentara memasuki dua
kampung itu dan mengum-pulkan semua pria dari rumah-rumah atau tempat kerja mereka
dan menembak mereka tanpa selidik terlebih dahulu, sementara jalan raya ditutup
bagi lalu lintas. Mereka yang luka-luka atau yang tidak berada di desa ketika
pembantaian itu berlangsung menyembunyikan diri dan melapor kejadian itu kepala
surat kabar tersebut. Bersamaan dengan itu muncul teror yang mengancam dari
tentara. Kenyataan itu telah dipahami secara salah bahwa pembantaian merupakan
tindakan balas dendam atau serangan Darul Islam terhadap suatu unit tentara
dari Batalyon 142 beberapa hari sebelumnya di dekat kedua kampung tersebut.
Dalam serangan itu lima belas tentara yang berasal dari Sumatera Barat telah
terbunuh. Dendam terhadap serangan itu menyebabkan sebuah unit lain dari
Batalyon tersebut, dibawah pimpinan Letnan Munir Zein, mengumpulkan semua pria
yang ada di dalam kedua kampung itu dan membunuh mereka. Mengingat kekejaman
pasukan dari Sumatera Barat dan Tapanuli dalam operasi-operasi mereka di Aceh,
sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk meragukan terjadinya pembantaian.
Banyak anggota dari unit-unit Sumatera Barat terlibat dalam segala macam
kekejaman, mulai dari pemerkosaan, ancaman, perampasan, judi, penyiksaan,
sampai pembunuhan. Seakan-akan menonjolkan superio-ritas etnis mereka, dalam
setiap kesempatan anggota-anggota pasukan tersebut membanggakan diri kepada
penduduk desa “Ini anak Padang”. Agaknya hal ini mengungkapkan antagonisme
antara etnis di antara suku Minangkabau dan Aceh, di mana rakyat Aceh, sebagai
akibat pengalaman sejarah, merasa diri lebih unggul atas suku Minangkabau yang
pernah takluk pada mereka di abad-abad sebelumnya.
Sebenarnya, ini hanyalah
strategi militer yang menganut sistem cross-cutting integration ala Napoleon
dalam memecah belah suatu bangsa. Sistem ini pulalah yang dianut rezim Orde
Lama Soekarno yang namanya begitu “harum” di depan hidung orang-orang yang awam
politik.
Mula-mula kejadian ini
dicoba hendak ditutup-tutupi, tetapi harian Peristiwa Aceh, yang terbit di
Koetaraja membeberkan kejadian tersebut, sehingga great expose di Jakarta,
Medan, Bandung dan Yogyakarta. Ada beberapa orang Aceh yang tinggal di Luar
Negeri ingin membawa masalah itu ke forum PBB di Nem York.
Masyarakat Aceh di
Jakarta, melalui perhim-punan masyarakat Aceh Taman Iskandar Muda (TIM), mulai
berfikir untuk mencari penyelesaian terbaik bagi bangsa ini. Namun, idialisme hanya
sampai tahap awal tentang bagimana baiknya mengadakan “pendekatan” dengan pemerintah
pusat untuk menanyakan sampai berapa jauh kebenaran berita yang dimuat di
surat-surat kabar. Orang-orang politik, terutama yang duduk di DPR seperti
Amelz dan ustadz Nur El Ibrahimy bertanya lewat forum DPR. Orang-orang Aceh
yang duduk dalam pemerintahan, juga menjajaki melalui instansi masing-masing .
Kalau benar, bagaimana pertanggung jawaban oknum yang terlibat dalam peristiwa
tersebut.Yang lebih penting, bagaimana hal yang demikian tidak terulang lagi.
Orang-orang Aceh yang
terdiri dari rakyat biasa, menanggapi peristiwa itu dengan emosi yang meluap-luap.
Dalam menghadapi Peristiwa Pulot-Cot Jeumpa ini, orang-orang Aceh di Jakarta
kompak. Satu saran mereka
yang positif, yaitu semuanya harus diselesaikan melalui jalur hokum yang
berlaku. Padahal Negara yang berdasarkan hukum ini sama-sekali “tidak memakai
hukum” untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik. Semuanya cukup dengan
sebuah rekayasa, sebuah “musyawarah yang dipaksakan”.
Pengurus Taman Iskandar
Muda mengadakan rapat pleni di Jalan Tosari 29 Jakarta
membicarakan
langkah-langkah yang sepatutnya diambil oleh pengurus, baik untuk intern
menghadapi orang-orang Aceh
di Jakarta maupun ekstern menghadapi pemerintah pusat. Juga
diperbincangkan sikap
kebersamaan apa yang selayaknya ditempuh oleh Badan Kontak
Organisasi Aceh yang baru
dibentuk beberapa bulan sebelumnya.
Tiga puluh delapan hari
setelah meletus Peristiwa Daud Beureuh, Perdena Menteri Ali
Sostroamidjojo memberi
Keterangan Pemerintah mengenai peristiwa tersebut di dalam rapat
pleno terbuka DPR-RI pada
tanggal 28 Oktober 1953. Pemerintah menganggap bahwa apa yang
terjadi di Aceh pada
tanggal 21 September itu adalah Pemberontakan Daud Beureuh dengan
segelintir kawan-kawan dan
pengikut-pengikutnya, bukan pemberontakan rakyat Aceh. Akan
tetapi kalau kita
mengetahui bahwa hampir seluruh rakyat Aceh terlibat dalam pemberontakan
itu, baik secara aktif
maupun dengan memberikan bantuan di belakang layar, demikian juga
seluruh instansi mulai
dari pamong raja (bupati, wedana sampai kepada camat) jawatan-jawatan terutama
jawatan agama sampai kepada polisi, banyak orang beranggapan bahwa
pemberontakan itu adalah pemberontakan rakyat Aceh yang total.
Keterangan Pemerintah
bagian kedua, yaitu yang mengenai latar belakang peristiwa, mengesankan
seakan-akan Keterangan Pemerintah ini duplikat dari laporan yang disodorkan
oleh golongan yang pada waktu itu disebut “sisa-sisa feodal”, yaitu laporan
yang selalu dilontarkan oleh mereka terhadap Teungku Muhammad Daud Beureueh dan
kawan-kawan atau umumnya ter-hadap PUSA. (Persatuan Ulama Seluruh Aceh).
Rancangan Keterangan Pemerintah yang pertama (kode S.1110/53) yang terdiri dari
33 butir sama sekali. Umpamanya dikatakan bahwa pakaian seragam yang dipakai
oleh anak-anak pandu Kasysyafatul Islam kepunyaan PUSA yang berjumlah 4000
orang itu adalah sumbangan dari Borsumij, suatu perusahaan Belanda.
Bagaimana dapat masuk
diakal, PUSA mau menerima sumbangan dari musuhnya? Bagimana
pula Borsumij mau memberi
sumbangan kepada musuh negaranya? Dikatakan pula bahwa
PUSA menerima sumbangan
dari Amerika Serikat sebanyak $ 15.000.000,00 untuk membendung komunisme.
Seterusnya dikatakan bahwa pimpinan-pimpinan PUSA mempunyai
saham dalam NV Permai dan
ATC (Acek Trading Company), suatu perusahaan milik Pemerintah Republik
Indonesia. Sedang dalam rancangan keterangan Pemerintah yang terakhir (kode
S1171/53 yang terdiri dari 22 butir) sebagian daripada tuduhan-tuduhan yang
keterlaluan itu telah dihi-langkan karena jelas benar kebohongannya.
Kemudian pada tanggal 2
November 1953 Pemerintah berdiri lagi di depan DPR-RI memberi
jawaban atas pandangan
umum para anggota yang telah berbicara pada babak pertama mengenai Keterangan
Pemerintah yang diberikan pada tanggal 28 Oktober 1953. Satu hal yang sangat
tidak jujur bahwa setelah selesai Pemerintah meng-ucapkan jawabannya,
pemandangan umum babak kedua langsung ditutup. Para anggota tidak diberi
kesempatan lagi untuk mengucapkan pemandangan umumnya pada babak kedua untuk
menguji jawaban Pemerintah.Hal itu merupakan pengurangan hak-hak demokrasi.
Seterusnya pada tanggal 13
April 1954 untuk ketiga kalinya Pemerintah memberi keterangan di dalam rapat
paripurna terbuka DPR-RI mengenai peristiwa Cot Jeumpa, yang oleh harian Peristiwa
yang terbit dari Kutaraja disebut “banjir darah yang membasahi bumi Tanah
Rencong”, karena 64 orang penduduk yang tidak berdosa telah menjadi korban
tindakan alat negara yang tidak bertanggung jawab.
Dari keterangan
Pemerintah, baik yang di-ucapkan di dalam DPR, maupun yang diberikan di luar
DPR, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam penyesuaian Peristiwa Daud Beureuh
ini Pemerintah mempergunakan tangan besi, yaitu dengan mengambil tindakan kekerasan
senjata untuk membasmi “gerombolan-gerombolan” liar yang memberontak dengan
senjata terhadap Pemerintah Negara Republik Indonesia.
Anggota-anggota oposisi
(Mr. Kasman Singo-dimedjo, Mr. Mohammad Dalijono, Amelz dan M.
Nur El Ibrahimy) yang
tidak menyetujui kebijak-sanaan politik Pemerintah mengenai Peristiwa Daud
Beureueh, oleh Perdana Menteri Ali Sastro-amidjojo dikatakan “seakan-akan
memberi kesan hendak membela pemberontak yang sudah nyata-nyata merugikan
negara dan bangsa kita.” khusus mengenai penulis dalam keterangannya yang
terakhir sebelum kabinetnya jatuh, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mencap M.
Nur El Ibrahimy “sebagai pembela pemberontak yang setia”. “Tak ada kesalahan
yang M. Nur El Ibrahimy diperbuat, selain menentang kebijaksanaan Pemerintah
dan mengupas tanpa tedeng aling-aling tindakan alat-alat negara yang melampaui
batas-batas hukum dan melanggar garis-garis perikemanusiaan terutama yang
dilakukan oleh anak buah Simbolon yang tergabung dalam Batalyon B dan anak buah
Mayor Sjuib yang tergabung dalam Batalyon 142. Mereka ini terlibat dalam
pembantaian di Cot Jeumpa dan sekitarnya (Pulot/Leupung dan Kroeng Kala) yang
menewaskan 99 orang penduduk yang tidak berdosa, sehingga menimbulkan protes
yang keras dari seluruh rakyat Aceh terutama pelajar dan mahasiswa.
Pada mulanya pemerintah
membantah dengan keras adanya tindakan alat-alat negara yang melampaui batas
itu. Akan tetapi kemudian tatkala terjadi pemberontak PRRI (Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia) dan Simbolon terlibat di dalamnya, Soedibjo –
Menteri Penerangan pada waktu itu mengutuk dan mencaci maki Simbolon dengan
membongkar perbuatan anak buahnya yang telah melakukan kekejaman dan
pembantaian terhadap rakyat Aceh pada waktu mereka bertugas memulihkan keamanan
di daerah Aceh dalam rangkaian Peristiwa Daud Beureuh.
Dari pihak oposisi sejak
awal telah mempe-ringatkan pemerintah bahwa tindakan kekerasan semata-mata
apalagi jika disertai dengan caci maki dan tuduhan-tuduhan yang tidak beralasan
ter-hadap Tengku Muhammad Daud Beureueh dan kawan-kawan tidak akan segera dapat
menye-lesaikan persoalan, malahan sebaliknya mungkin akan meruncing suasana dan
mengakibatkan penyelesaian menjadi berlaruh-larut. Akan tetapi, dengan lantang
pemerintah menyatakan bahwa keamanan akan dapat dipulihkan pada akhir tahun
1953.Ternyata dugaan pemerintah meleset sama sekali. Hal itu diakui oleh Komisi
Parlemen ke Aceh yang diketuai oleh Sutardjo Kartohadikusumo dan oleh beberapa
orang wartawan yang pernah meninjau Aceh di antaranya Hasan dari Abadi dan Asa
Bafagih dari Pemandangan .
Kemudian, setelah
Takengong dan Tangse diduduki, pemerintah merasa optimis bahwa keamanan akan
dipulihkan pada bulan Maret 1954. Ternyata anggapan pemerintah ini pun meleset.
Bahkan, sampai Kabinet Ali jatuh pada tahun 1955, keamanan di Aceh belum dapat dipulihkan.
Benar, Tangse dan Takengong diduduki pasukan peme-rintah maka pertempuran besar-besaran
yang dimulai 21 September 1953 tidak terjadi lagi. Akan tetapi, sejak saat itu tejadilah
apa yang dinamakan “gangguan keamanan” terus menerus di mana-mana, bukan saja
di kampung-kampung akan tetapi juga di kota-kota. Terjadi penyerangan
kecil-kecilan terhadap pos-pos tentara, dan penghadangan-penghadangan terhadap
patroli-patroli dan penye-rangan terhadap konvoi-konvoi yang membawa pasukan
atau mengangkut perbekalan.
Dipandang dari segi
kemiliteran pada saat itu potensi kaum pemberontak memang tidak membahayakan
lagi, Akan tetapi, dilihat dari sudut keamanan rakyat, gangguan itu langsung menimpa
diri mereka .Kalau dalam taraf pertama hanya alat-alat negara (tentara dan
satuan Brimob) atau gerombolan yang menjadi sasaran, maka dalam taraf yang
kedua sasaran langsung adalah rakyat, baik dari alat-alat negara, maupun adri
pihak gerombolan.
Menghadapi tahap yang
kedua ini timbul dua pendapat yang berbeda. Yang pertama berpendapat bahwa
potensi militer gerombolah sudah patah, mereka sudah lumpuh dan terpecah-pecah
serta terdesak ke hutan-hutan dan mengalami kelaparan. Yang kedua, berpendapat
bahwa gerombolan mengubah taktik, mereka tidak mau memboroskan tenaga dengan
jalan menghindari pertempuran besar-besaran. Mereka melakukan
pengadaan-pengadaan yang sedapat mungkin efektif dengan kekuatan yang
sekecil-kecilnya serta mengadakan ganggguan keamanan yang merupakan pula perang
urat saraf. Pemerintah dan pejabat-pejabat di pusat lebih mempercayai pendapat
yang pertama sehingga timbul rasa optimistis yang berlebih-lebihan bahwa
keamanan segera pulih kembali. Akan tetapi mereka langsung menghadapi peristiwa
di daerah yaitu Staf Keamanan di Koetaraja memandang bahwa keadaan dalam tahap
cukup kritis dan lebih membahayakan. Selain rakyat yang langsung menjadi
sasaran kedua pihak, roda pemerintahan tidak bisa berjalan sebagaimana
mestinya. Pamongpraja yang diangkat oleh Gubernur Sumatra Utara, Mr. S. M.
Amin, untuk mengisi lowongan yang ditimbulkan oleh pem-berontak, tidak
melakukan tugasnya karena 80% daripadanya terdiri “sisa-sisa feodal”. Mereka
tidak berani menempati posnya yang jauh dari kota karena takut kepada
gerombolan. Mengenai hal ini Bupati A. Wahab, Ketua/Koordinator Staf Keamanan
berkata, “Tetapi yang paling menyukarkan ialah Pamongpraja atau pegawai yang
telah ditetapkan untuk suatu tempat tidak ada yang berani tinggal di tempatnya
itu kalau tidak dikawal oleh alat negara yang bersenjata.”
Koordinator kepolisian,
Nya’ Umar, berpendapat bahwa rakyat semakin merasa terancam karena
merajalelanya gerombolan yang menjalankan penculikan-penculikan, sedangkan
kekuatan bersenjata tidak cukup untuk memberi perlindungan. Selanjutnya Nya’
Umar berkata, “Bagi saya, bahaya yang tidak kurang beratnya ialah gerombolan
mempunyai orang-orang di daerah kita bahkan di tengah-tengah kota.”
Geromboaln Perti
mengatakan bahwa sudah 35 orang anggotanya yang terbunuh. Golongan BKR (Badan
Keinsyafan Rakyat) yaitu oraganisasi “sisa-sisa feodal” menganjurkan pemerintah
agar me-nempatkan tentara sebanyak-banyaknya di tiap-tiap kampung sehingga
jumlahnya untuk Kabupaten Aceh Besar saja jangan kurang dari 2.500 orang. Pada
masa itu di Koetaraja diadakan “daerah perlin-dungan” di Kedah yang menampung
150 orang lebih yang meminta perlindungan karena terancam di daerahnya.
Pada waktu itu ada empat
orang yang mena-makan dirinya “wakil rakyat” telah menyampaikan permohonan
kepada Menteri Pertahanan di Jakarta pada tanggal 7 Januari 1954, supaya
tentara yang bertugas di Aceh jangan ditarik dahulu. Bukankah hal ini
menunjukkan kritisnya keadaan?
Pendeknya, gangguan
keamanan yang oleh Pemerintah diharapkan dapat berakhir dalam waktu yang
singkat, sampai kabinet Ali Sostroamidjojo jatuh pada tahun 1955 belum
teratasi.
Pada permulaan bulan
September 1954, genap setahun sesudah pecahnya Peristiwa Daud Beureuh, seperti
halilintar di tengah hari ma-syarakat Indonesia di Ibukota RI termasuk Kabinet Ali
Sostroamidjojo dikejutkan oleh munculnya seorang putera Aceh bernama Hasan
Muhammad Tiro berdiam di New York, sebagai mahasiswa fakultas hukum pada
Colombia University , dan sebagai seorang staf perwakilan Indonesia di New York,
dia tidak pernah dikenal oleh masyarakat Indonesia apalagi oleh masyarakat
internasioanal. Ia bertempat tinggal di 454 Riverside Drive, New York dan
mempunyai kantor di jalan terbesar yaitu di 489 Fifth Avenue, New York 17.
Sejak bulan September 1954 dengan tiba-tiba nama Hasan Muhammad Tiro bukan saja
dikenal oleh masya-rakat Indonesia, akan tetapi juga oleh dunia internasional.
Ia muncul sebagai “Duta Besar Republik Islam Indonesia” di Amerika Serikat dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan sebuah surat terbuka kepada Perdana Ali
Sostroamidjojo. Surat ini disiarkan oleh suat-surat kabar Amerika dan
surat-surat kabar Indonesia yang terbit di Jakarta seperti Abadi, Indonesia
Raya dan Keng Po.
Dalam surat ini Hasan
Muhammad Tiro menu-duh Pemerintah Ali Sostroamidjojo telah menyeret bangsa
Indonesia ke dalam lembah keruntuhan ekonomi dan politik, perpecahan dan perang
saudara, serta memaksa mereka bunuh-membunuh sesama saudara. Di samping itu pemerintah
Ali Sostroamidjojo telah melakukan pula kejahatan-kejahatan genocide terhadap rakyat
sipil Aceh. Suatu tindakan biadab dan primitif yang dilakukan oleh sebuah rezim
negara Republik modern di bawah naungan Pancasila di mana hal ini sudah tentu
teramat sangat bertentangan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Isi surat Hasan Muhammad
Tiro itu adalah sebagai berikut:
New York, 1 September 1954
Kepada
Tuan Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo
Jakarta
Dengan hormat,
Sampai hati ini sudah lebih setahun lamanya Tuan memegang kendali
pemerintahan atas tanah
air dan bangsa kita. Dalam pada itu alangkah sayangnya,
kenyataan-kenyataan sudah
membuktikan bahwa Tuan, bukan saja telah tidak mempergunakan
kekuasaan yang telah
diletakkan di tangan Tuan itu untuk membawa kemakmuran, ketertiban,
keamanan, keadilan dan persatuan di kalangan bangsa Indonesia, tetapi
sebaliknya Tuan telah dan sedang terus
menyeret bangsa Indonesia ke lembah keruntuhan ekonomi dan politik,
kemelaratan,
perpecahan, dan perang saudara. Belum pernah selama dunia
berkembang, tidak walaupun di
masa penjajahan, rakyat Indonesia dipaksa bunuh membunuh antara
sesama saudaranya secara yang begitu meluas sekali sebagaimana sekarang sedang
Tuan paksakan di Aceh, di Jawa Barat, di Jawa Tengah, di Sulawesi Selatan, di
Sulawesi Tengah dan Kalimantan. Ataukah zaman
penjajahan baru sudah datang ke Indonesia di mana hanya kaum
Komunis yang mengecap
kemerdekaan, sedang yang lain-lain harus dibunuh mati? Lebih dari
itu lagi, Tuan pun tidak
segan-segan memakai politik “pecah dan jajah” terhadap suku-suku
bangsa di luar Jawa.
Bahkan untuk menghancurkan persatuan di kalangan suku bangsa Aceh,
Tuan pun mengaku
begitu membencinya. Tetapi ketahuilah, politik kotor Tuan ini bukan
saja sudah gagal, bahkan
karenanya, kami rakyat Aceh semakin bersatu padu menentang tiap
penindasan dari regime
Komunis – Fasis Tuan.
Lebih rendah di segala-galanya, Tuan sekarang sedang melakukan
kejahatan politik yang
sejahat-jahatnya yang bisa di perbuat dalam negara yang terdiri
dari suku-suku bangsa sebagai
halnya Indonesia mengadu-dombakan satu suku bangsa dengan suku
bangsa yang lain,
mengadudombakan suku bangsa Kristen dengan suku bangsa Islam, suku
Jawa dengan suku
Ambon dan suku Batak Kristen dengan suku Aceh Islam. Dan Tuan
mengatakan bahwa Tuan
telah memperbuat semua ini atas nama persatuan nasioanal dan
patriotisme! Rasanya tak ada
suatu contoh yang lebih tepat dari pepatah yang mengatakan bahwa
patriotisme itu adalah
tempat perlindungan yang terakhir bagi seorang penjahat!
Sampai hari ini sembilan tahun sesudah tercapainya kemerdekaan
bangsa, sebagian besar bumi
Indonesia masih terus digenangi darah dan air mata putera-puterinya
yang malang, di Aceh, di
Jawa Barat, di Jawa Tengah, di Sulawesi Selatan, di Sulawesi Tengah
dan Kalimantan, yang
kesemuanya terjadi karena Tuan ingin melakukan pembunuhan terhadap
lawan-lawan politik
Tuan. Seluruh rakyat Indonesia menghendaki penghentian pertum-pahan
darah yang maha
kejam ini sekarang juga, dengan jalan musyawarah antara kita sama
kita. Tetapi Tuan dan
kaum Komunis lainnya, sedang terus mengeruk keuntung-an yang
sebesar-besarnya dari
kesengsaraan rakyat ini, dan hanya Tuan sendirilah yang terus
berusaha memperpanjang
agresinya terhadap rakyat Indonesia ini. Dan sekarang, belum puas
dengan darah yang sudah
tertumpah, harta benda yang sudah musnah, ratusan ribu jiwa yang
sudah melayang, Tuan
sedang merencanakan pula buat melancarkan agresi yang lebih hebat,
dahsyat dan kejam lagi
terhadap rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Kalimantan dan
Aceh. Tetapi Tuan akan menge-tahui dengan segera bahwa jiwa
merdeka, harga diri, dan
kecintaan suku-suku bangsa ini kepada keadilan, tidak dapat tuan
tindas dengan senjata apa pun juga. Rakyat Indonesia sudah merebut
kemerdekaannya dari penjajah Belanda. Pastilah sudah mereka tidak akan
membiarkan Tuan merebut kemerdekaan itu dari mereka, juga tidak akan membiarkan
Tuan menukarnya dengan penjajahan medel baru.
Persoalan yang dihadapi Indonesia bukan tidak bisa dipecahkan,
tetapi Tuanlah yang mencoba
membuatnya menjadi sukar. Sebenarnya jika Tuan hari ini mengambil
keputusan buat
menyelesaikan pertikaian politik ini dengan jalan semetinya, yakni
perundingan, maka besok
hari juga keamanan dan ketentraman akan meliputi seluruh tanah air
kita. Oleh karena itu, demi kepentingan rakyat Indonesia, saya menganjurkan
Tuan mengambil tindakan berikut:
1. Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, Jawa
Tengah, rakyat Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tengah dan Kalimantan.
2. Lepaskan semua tawanan-tawanan politik dari Aceh, Sumatra
Selatan, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan rakyat Kalimantan.
3. Berunding dengan Teungku Muhammad Daud Beureuh, S.M.
Kartosuwiryo, Abdul Kahar
Muzakar dan Ibnu Hajar. Jika sampai tanggal 20 September 1954,
anjuran-anjuran ke arah
penghentian pertumpahn darah ini tidak mendapat perhatian Tuan,
maka untuk menolong
miliunan jiwa rakyat yang tidak berdosa yang akan menjadi korban
keganasan kekejaman agresi
yang Taun kobarkan, saya dan putera-puteri Indonesia yang setia, akan
mengambil tindakan-tindakan berikut:
a) Kami akan membuka dengan resmi perwa-kilan diplomatik bagi
“Republik Islam Indo-nesia”
di seluruh dunia, termasuk di PBB, benua Amerika, Asia dan seluruh
negara-negara Islam;
b) Kami akan memajukan kepada General Assembly PBB yang akan datang
segala kekejaman,
pembunuhan, penganiayaan, dan lain-lain pelanggaran terhadap Human
Right yang telah
dilakukan oleh regime Komunis – Fasis Tuan terhadap rakyat Aceh.
Biarlah forum Internasional
mendengarkan perbuatan-perbuatan maha kejam yang pernah dilakukan
di dunia sejak
zamannya Hulagu dan Jenghis Khan. Kami akan meminta PBB mengirimkan
Komisi ke Aceh.
Biar rakyat Aceh menjadi saksi;
c) Kami akan menuntut regime Tuan di muka PBB atas kejahatan
genocide yang sedang Tuan
lakukan terhadap suku bangsa Aceh;
d) Kami akan membawa ke hadapan mata seluruh dunia Islam,
kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan oleh regime Tuan terhadap para alim
ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagainya;
e) Kami akan mengusahakan pengakuan dunia Internasional terhadap
“Republik Islam
Indonesia”, yang sekarang de facto menguasai Aceh, sebagian Jawa
Barat dan Jawa Tengah,
Sulawesi Tengan dan Selatan dan sebagian Kalimantan.
f) Kami akan mengusahakan pemboikotan diplomasi dan ekonomi
Internasional terhadap regime Tuan dan penghentian bantuan teknik dan ekonomi
PBB, Amerika Serikat dan “Colombo Plan”;
g) Kami akan mengusahakan bantuan moral dan material buat “Republik
Islam Indone-sia”
dalam perjuangannya menghapus regime teroris Tuan dari Indonesia.
Dengan demikian terserah kepada Tuanlah, apakah kita akan
menyelesaikan pertikaian politik
ini secara antara kita atau sebaliknya. Tuan dapat memilih tetapi
kami tidak!
Apakah tindakan-tindakan yang saya ambil ini untuk kepentingan
bangsa Indonesia atau tidak,
bukanlah hak Tuan untuk menentukannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
80 juta rakyat Indonesialah yang akan menjadi Hakim, yang ke tengah-tengah mereka
saya akan kembali di dunia, dan kehadiran-Nya saya akan kembali di hari
kemudian.
Saya Hasan Muhammad Tiro
Surat ini lebih mirip
surat seorang mujahid yang tegas dan senantiasa berada di pihak rakyat, di pihak
kebenaran. Apa yang dituduhkan kepada Hasan Tiro telah mendirikan Gerakan Aceh
Merdeka adalah kebohongan terbesar dalam sejarah umat Islam di Aceh. Republik
Islam Indonesia adalah buah pikir dari Kahar Muzakkar dari Sulawesi yang
diteruskan oleh Hasan Muhammad Tiro. Dia tidak pernah berkeinginan untuk
mem-bentuk Aceh merdeka, itu hanya rekayasa yang dibuat Nasakom Soekarno yang
dilanjutkan oleh rezim “Golkar” Soeharto. Perhatian Hasan Muhammad Tiro hanya
untuk kemanusiaan, khususnya mereka-mereka yang Muslim yang sering menjadi
sasaran korban rekayasa politik pihak rezim “Komunis – Fasis” Orde Lama.
Tindakan Kabinet Ali
Sostroamidjojo dari PNI (Partai Nasional Indonesia) yang pertama untuk menghadapi
tantangan Hasan Muhammad Tiro ini, ialah mencabut paspor diplomatik yang
dipegangnya.
Tindakan ini telah
menyebabkan Hasan Muhammad Tiro sejak 27 September 1954 di tahan oleh Jawatan
Imigrasi New York. Akan tetapi setelah membayar uang jaminan sebesar $500,00
Hasan Tiro dibebaskan kembali.
Kemudian, setelah lewat 20
September 1954 anjuran-anjuran Hasan Tiro yang tercantum dalam surat kepada
Perdana Menteri Ali Sostroamidjojo tidak diindahkam oleh Perdana Menteri tersebut
maka ia atas nama Wakil “Republik Islam Indo-nesia” menyerahkan ke PBB dengan mengeluarkan
sebuah pernyataan selain membantah tuduhan-tuduhan Hasan Muhammad Tiro menyatakan
pula bahwa “Republik Islam Indonesia” yang diwa-kilinya itu merupakan suatu impian
belaka.
Kesimpulan dari pernyataan
delegasi Republik Indonesia untuk PBB itu adalah serangkaian fitnah-fitnah keji
sebagaimana dicatat M. Noer El Ibrahimy sebagai berikut:
1. Bahwa apa yang
dinamakan “Republik Islam Indonesia” itu sejak 1949 telah “menjalankan aksi-aksi
subversif dan teror” terhadap Peme-rintah Indonesia yang sah.
2. Bahwa Partai Islam
Masyumi telah menjatuhkan hukuman atas golongan Darul Islam seperti dikemukakan
beberapa waktu yang lalu.
3. Bahwa wujud sebenarnya
gerakan Darul Islam itu adalah sukar ditentukan, karena sudah diinfiltrasi oleh
asing dan petualangan
4. Bahwa wujud sebenarnya
gerakan Darul Islam telah mendapat kekuatan baru di dalam pemberontakan di
Aceh, tempat Hasan Muhammad Tiro pernah tinggal.
5. Tuduhan-tuduhan
terhadap Republik Indonesia itu tidak beralasan dan fantastis serta didasarkan
atas berita-berita pers yang tidak dibuktikan, yang merupakan desas-desus
belaka.
6. Bahwa tampaknya Hasan
Muhammad Tiro mendapat sokongan dari golongan bukan Indonesia
7. Bahwa tampaknya Hasan
Muhammad Tiro, karena “Republik Islam Indonesia” tidak mempunyai status di dalam
organisasi PBB.
8. Bahwa pemerintah
Indonesia mampu mengen-dalikan “pemberontakan-pemberontakan” di dalam
wilayahnya dan berniat teguh untuk mempertahankan dan menjamin hak,termasuk
juga hak-hak manusia, akan tetapi tidak menge-cualikan hak-hak nasional
rakyatnya di dalam rangka Piagam PBB.
9. Bahwa tiap campur
tangan untuk membantu gerombolan Darul Islam akan ditolak dan pada hakekatnya
akan merupakan perbuatan yang tidak bersahabat terhadap Republik Indonesia.
Hasan Muhammad Tiro
berjuang keras di New York untuk memasukkan persoalan DI/TII ke dalam forum
Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan tujuan supaya kepada rakyat Aceh terutama diberi
hak menentukan nasib sendiri (Self-determination). Akan tetapi usaha mulianya
ini menemukan kegagalan. Umat Islam adalah umat yang sendiri dalam kesunyian
dirinya (tahanut nafsi). Umat yang seakan-akan tidak dipandang sebagai
“manusia” oleh orang-orang lain, apalagi yang non-muslim. Seakan-akan, untuk
menjadi manusia, seseorang harus lebih dahulu menanggalkan keislamannya.
Di lain pihak, tindakan
tidak dewasa Pemerintah Republik Indonesia menarik paspor Hasan Muhammad Tiro
supaya ia diusir dari Amerika Serikat pun tidak berasil. Ternyata orang-orang Amerika,
yang otak hatinya lebih bersih ketim- bang pimpinan nasionalis sekuler seperti
Ali Sostroamidjojo lebih menganggap umat Islam sebagai manusia. Oleh karenanya
dengan bantuan beberapa orang Senator, Hasan Muhammad Tiro diterima sebagai
penduduk tetap di Amerika Serikat. Orang kafir sendiri masih memandang dan menghargai
seorang pejuang Muslim ketimbang pemimpin elit nasional kita.
Tag :
Nasionalis,
Sosial
0 Komentar untuk "Penerapan Pancasila di Aceh pada masa orde lama"