Kekerasan Sebagai Bentuk Perlawanan dalam Gerakan Islam di Mesir



Pada 1990-an, kekerasan politik Islam memuncak secara dramatis dan seringkali melibatkan publik luas ke dalam konflik.

 
Di Aljazair, perang saudara antara kelompok pemberontak Islam yang sulit didefinisikan wataknya dan rezim yang didukung militer telah memakan 120.000 korban, termasuk kematian penduduk sipil dalam jumlah besar. Kekejaman konflik, yang meliputi pembantian luas terhadap kaum perempuan, anak-anak, dan orang tua, telah menarik perhatian internasional dan memicu kekhawatiran tentang watak aktivisme Islam.

Kekerasan ini menular dalam skala lebih kecil ke seluruh Timur Tengah, termasuk Yordania, Yaman, Kuwait, Bahrain, Libya, Sudan dan Mesir. Pada saat yang sama, sebuah jaringan internasional Salafi yang secara longgar dikaitkan dengan Osama bin Laden menyerang sasaran-sasaran Amerika Serikat di Arab Saudi, Tanzania, Kenya dan Yaman. Fatwa bin Laden pada Februari 1998 yang memberikan pembenaran serangan terhadap sasaran militer dan sipil Amerika telah memicu debat menegangkan di Barat tentang bagaimana mengatasi terorisme bernuansa Islam yang terus mengeras derajatnya, sebuah perdebatan yang menemukan urgensi baru sejak Serangan 11 September. Di luar Timur Tengah, kelompok-kelompok Islam terlibat dalam bentuk-bentuk perlawanan dengan kekerasan (violent forms of contention) di China, Afrika Selatan, Eritrea, Kashmir, Filipina, Chechnya, Tajikistan, Uzbekistan dan Dagestan, yang membuka lembaran baru geografi perjuangan Islam lewat kekerasan.

Meskipun taktik radikal merupakan taktik yang jarang digunakan dalam gerakan Islam, penggunaan kekerasan yang makin luas pada 1990-an memunculkan pertanyaan penting tentang aktivisme dan gerakan sosial perlawanan Islam.

Secara khusus, mengingat luasnya repertoar perlawanan dari ceramah, pengajaran agama, kegiatan sosial dan kesejahteraan masyarakat, hingga publikasi dan kegiatan dakwah umum mengapa sejumlah aktivis Islam berpaling ke cara-cara kekerasan? Secara lebih umum, mengapa gerakan social memilih menggunakan kekerasan sebagai bentuk perlawanan, mengingat ada banyak cara lain untuk mengungkapkan perlawanan? Apa yang menjelaskan variansi tingkat kekerasan lintas negara dan dalam kurun tertentu?

Meskipun di Mesir episode kekerasan Islam memiliki sejarah, konfrontasi mutakhir berbeda dalam hal cakupannya.

Kontak senjata, pemboman, pembunuhan dan pencegatan telah menyebabkan ratusan orang terbunuh antara 1990 hingga 1998.

Kematian tidak hanya menimpa aktivis Islam dan agen pemerintah, tetapi juga warga asing, intelektual, warga sipil serta penganut Kristen Koptik. Siklus kekerasan yang memuncak dalam pembantaian terhadap 58 turis dan 4 warga Mesir oleh anggota Jamaah Islamiyah pada Nopember 1997, telah mengejutkan seantero negeri, termasuk bahkan pemimpin Jamaah yang ada dalam penjara, yang mencoba mengambil jarak terhadap para pelaku. Serangan itu menandai titik balik dalam konflik berintensitas rendah, dan jumlah yang meninggal akibat kekerasan aktivis Islam menurun tajam setelahnya. Jeda (atau akhir) kekerasan ini, pada gilirannya, memberikan peluang bagi kita untuk melihat ke dasawarsa sebelumnya demi mencari kejelasan tentang munculnya ledakan kekerasan dalam perlawanan Islam dan mengapa gerakan-gerakan sosial berpaling ke taktik radikal.

Berbeda dengan pandangan umum bahwa kelompok radikal Islam adalah orang-orang fanatik yang terlibat dalam kekerasan yang tidak rasional, tidak normal dan tak terduga, kami beranggapan bahwa perlawanan dengan kekerasan merupakan buah dari pertimbangan taktis yang disebabkan oleh realitas dari konteks yang represif. Aktivis Islam menimbang secara rasional tentang keefektifan taktik dan memilih bentuk perlawanan yang mereka yakini akan melancarkan jalan menuju tujuan yang hendak dicapai atau melindungi capaian politik dan organisasional yang sudah mereka peroleh. Kekerasan merupakan cara satu-satunya dari kemungkinan bentuk-bentuk perlawanan yang tidak terhitung dan menjadi wujud yang paling mungkin ketika rezim berusaha untuk melibas aktivisme Islam melalui tindakan represif yang luas dan menyisakan hanya sedikit alternatif. Di Mesir, siklus kekerasan bermula terutama sebagai tanggapan atas langkah pembersihan terhadap gerakan Islam yang akhirnya menjadi perangkap, baik untuk kaum moderat, radikal maupun sejumlah penonton di pinggiran.

Pelucutan gerakan Islam meliputi penahanan, penyanderaan, penyiksaan, hukuman mati dan bentuk kekerasan lain yang dilakukan negara.

Dari perspektif ini, perlawanan Islam lewat kekerasan bukan merupakan hasil dari faktor ideasional atau ketidakstabilan mental psikologis, tetapi merupakan buah kondisi darurat dari luar yang diciptakan oleh kebijakan negara menyangkut aktivis Islam. Sekelompok tertentu aktivis Islam mungkin saja terlibat dalam kekerasan tanpa kaitan dengan tindakan negara, namun stabilitas taktik pada kelompok ini tidak dapat menjelaskan keseluruhan dari level kekerasan maupun pilihan waktunya. Kita harus meneliti masukan (input) ke dalam repertoar kalkulasi yang membuat penggunaan kekerasan oleh aktivis meningkat tajam.
 
Perspektif ini tidak serta-merta menolak penjelasan ideasional yang memfokuskan diri pada ideologi dan keyakinan kaum militan; melainkan bertindak sebagai sebuah langkah korektif terhadap tradisi lama dalam riset aktivisme Islam yang cenderung menekankan peran aspek ideasional dengan mengabaikan dinamika struktural dan pilihan rasional para aktivis. Studi ini menekankan bahwa, sementara ada godaan besar untuk menyalahkan aktivis Islam sebagai penyebab meluasnya kekerasan, sebenarnya faktor luar, seperti represi negara, turut memiliki andil.

Tag : agama, Gerakan, Sosial
0 Komentar untuk "Kekerasan Sebagai Bentuk Perlawanan dalam Gerakan Islam di Mesir"

Back To Top