Untuk pengoptimalan pemberdayaan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)yang memerlukan akses dari perbankan dan
lembaga keuangan bukan bank, Pemerintah akhirnya menerbitkan Keputusan Presiden
(Keppres) No 14 Tahun 2015 tentang Komite Kebijakan Pembiayaan Bagi Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah. Komite ini berkedudukan dan bertanggung jawab
langsung kepada Presiden.
NERACA
Menurut informasi laman Sekretariat
Kabinet Republik Indonesia, akhir pekan lalu, Keppres tersebut telah
ditandatangani Presiden Jokowi pada 7 Mei 2015. Adapun tugas dari Komite
Kebijakan tersebut adalah merumuskan dan menetapkan kebijakan pembiayaan bagi
UMKM, termasuk penetapan prioritas bidang usaha.
Selain itu, Komite Kebijakan Pembiayaan
juga melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan kebijakan pembiayaan
bagi UMKM. Terakhir, mengambil langkah-langkah guna menyelesaikan hambatan dan
permasalahan dalam pelaksanaan kebijakan pembiayaan bagi UMKM.
Presiden Jokowi menurut Keppres itu,
menunjuk Menko Bidang Perekonomian sebagai Komite Kebijakan. Sedangkan anggota
komite a.l. Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri
Pertanian, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Badan
Usaha Milik Negara, Sekretaris Kabinet, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan dan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia (BNP2TKI).
Sedangkan yang ditunjuk sebagai Sekretaris
Komite adalah Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko
Bidang Perekonomian.
“Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman
pelaksanaan kebijakan pembiayaan bagi UMKM,diatur dengan Peraturan Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan,” menurut pasal 4
dalam Keppres tersebut.
Disebutkan dalam Keppres tersebut, bahwa
dalam melaksanakan tugasnya Komite Kebijakan berkoordinasi dengan Bank
Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan dapat melibatkan dan bekerjasama
dengan kementerian atau lembaga dan pemerintahan daerah, serta pihak lain yang
dianggap perlu.
Untuk membantu pelaksanaan tugas Komite
Kebijakan, menurut Perpres ini, dibentuk Tim Pelaksana yang susunan
keanggotaan, tugas, dan tata kerjanya ditetapkan oleh Menko Bidang Perekonomian
selaku Ketua Komite Kebijakan.
Selain itu, untuk memberikan dukungan
pelaksanaan tugas Komite Kebijakan, dibetuk Sekretariat Komite Kebijakan yang
dilaksanakan secara fungsional oleh Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan
Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
khusus anggaran yang diperlukan bagi
pelaksanaan tugas Komite Kebijakan, menurut Keppres ini, dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada Anggaran Kemenko Bidang
Perekonomian.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla
(JK) meminta perbankan memberikan suku bunga maksimal 12% untuk kredit di
sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) termasuk di sektor maritim.
Menurut Wapres JK, kredit berbunga
rendah akan membantu pengembangan UMKM. ”Dengan UMKM yang berkembang akan
menjadikan industri ini bisa berjalan dengan optimal. Ini sistem ekonomi yang
ditanamkan,” ujarnya dalam sambutannya pada peluncuran program Jangkau,
Sinergi, dan Guideline (Jaring) di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, pekan
ini.
Jusuf Kalla menjelaskan, dengan bunga
kredit yang rendah, kalangan UMKM yang di antaranya bergelut di bisnis
perikanan dan kelautan bisa menopang masyarakat yang lebih besar. Satu pelaku
UMKM terdiri atas beberapa individu.
"Pengusaha besar diberi bunga
rendah, sementara pengusaha kecil diberi bunga tinggi. Itu sama saja mensubsidi
pengusaha besar. Kalau bunga untuk nelayan masih di atas 12%, acara ini lebih
baik batal," ujar JK.
Selain sektor perikanan dan kelautan,
menurut dia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan perbankan juga harus memberikan
suku bunga kredit yang murah kepada usaha pertanian. Karena sektor pertanian
yang termasuk skala UMKM juga harus mendapatkan perhatian lebih besar dengan
menerapkan suku bunga rendah. ”Untuk itu, perbankan harus menghilangkan stigma
bahwa nelayan tidak aman untuk diberikan kredit karena sektor pertanian,
kelautan, dan perikanan harus terus meningkatkan produktivitasnya,” imbuhnya.
Dengan penetapan bunga rendah bagi para
pelaku UMKM, kata JK, diharapkan tidak terjadi kesenjangan antara nelayan yang
tidak mempunyai jaminan dan pengusaha besar di daerah. Industri tersebut juga
sebagai penopang pertumbuhan ekonomi secara nasional. ”Wilayah yang sektor
bisnisnya mengandalkan industri perikanan dan pertanian relatif lebih stabil
misalnya di Sulsel pertumbuhan ekonomi ratarata lebih tinggi dibandingkan
nasional,” ujarnya. JK mengingatkan saat krisis moneter di Indonesia pada 1998
dan 2008, terbukti sektor UMKM mampu menjaga kredit perbankan.
Beban Bunga Tinggi
Persoalan suku bunga kredit saat ini
memang sudah kelewat tinggi. Sehingga bukan tanpa alasan jika OJK, selaku
pengawas sektor perbankan, membatasi suku bunga kredit mikro ini. Apalagi, hal
itu sudah dikaji Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang menilai bahwa
premi risiko dapat mencapai 20%, yang berarti melampaui rata-rata suku bunga
dasar kredit (SBDK) UMKM sebesar 15%, terutama di Indonesia Timur.
Melihat kondisi tersebut, KPPU pernah
menyatakan bahwa SBDK tidak berfungsi sebagai acuan debitur dalam memilih bank.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), per Desember 2014 setidaknya ada 10 bank
yang SBDK-nya paling tinggi atau berada di kisaran 19%-22% per tahun.
Ironisnya, berdasarkan kajian KPPU,
kondisi tersebut diperburuk dengan sulitnya debitur memperoleh informasi
terkait dengan perhitungan premi risiko oleh bank. Metode perhitungan risiko
sangat subjektif dan tanpa benchmarkperhitungan yang valid. Bahkan, muncul
dugaan duplikasi pengenaan biaya (double charge) untuk marjin keuntungan dan
risiko.
KPPU menemukan bahwa nilai suku bunga
yang diperoleh debitur, setelah ditambah dengan premi risiko, melonjak tinggi.
Artinya, tingkat suku bunga sampai di tangan debitur bisa mencapai dua kali
lipat (bahkan lebih) dari nilai SBDK. Padahal, transparansi mengenai SBDK telah
diatur dan diumumkan secara berkala sesuai dengan ketentuan SE Bank Indonesia
No.15/1/DPNP Tanggal 15 Januari 2013.
Anehnya, banyak bankir yang bergerak di
bisnis mikro tidak menyetujui usulan OJK tentang pembatasan suku bunga UMKM. Mereka
berharap, biar mekanisme pasar saja yang menentukan. Pasalnya, dalam menawarkan
tingkat bunga kredit, bank harus memperhitungkan berbagai aspek, seperti harga
pokok dana, biaya overhead, dan marjin keuntungan.
“Risiko besar, biaya penagihan besar. Jadi,
perlu marjin tinggi juga,” ujar Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas, kepada pers
di Jakarta, beberapa waktu lalu. Menurut dia, biaya menggarap segmen usaha
mikro tidaklah murah sehingga suku bunga kredit jadi lebih tinggi dibandingkan
dengan segmen usaha lain.
Data Perbanas mengungkapkan, tingkat
marjin industri perbankan nasional memang termasuk yang paling tinggi
dibandingkan dengan perbankan di negara ASEAN lainnya. Pada 2014, besaran net
interest margin(NIM) perbankan Indonesia masih berada rata-rata di atas 5%,
lebih tinggi ketimbang NIM perbankan di ASEAN lainnya yang berkisar di level
3,5%.
Menurut data BI, kredit perbankan hingga
Juni 2014 mencapai Rp3.557 triliun. Kredit non-UKM masih memberikan kontribusi
terbesar dengan angka Rp2.875 triliun, sedangkan kredit UMKM Rp682,5 triliun
dengan jumlah rekening 10.607.224. Hingga Juni 2014, porsi kredit UMKM baru
mencapai 19% dengan pertumbuhan 15% secara tahunan
Tag :
Indonesia
0 Komentar untuk "Upaya Mengoptimalkan Pemberdayaan UMKM"