Penjelasan Proses Politik atas Kekerasan GIA di Aljazair


Pada 1997, GIA (Groupe Islamique Arme, Kelompok Islam Bersenjata) melakukan serangkaian gelombang pembantaian besar-besaran terhadap penduduk sipil di desa-desa dan dusun-dusun terpencil di kawasan selatan Aljazair. Pembantaian yang dilakukan dengan penggorokan, pemenggalan kepala, mutilasi, pemerkosaan, penculikan serta pembunuhan anak-anak dan kaum perempuan ini memperlihatkan bentuk kebengisan dan pembunuhan yang paling biadab.

Pembantaian yang telah menghilangkan ribuan nyawa ini terus berlangsung sampai millenium baru.
Rangkaian pembantaian di Aljazair tersebut terjadi dalam sebuah konteks pemberontakan massa kelompok Islamis, yang meliputi serangan terhadap tentara keamanan, pejabat-pajabat
negara, para jurnalis, intelektual, orang-orang asing dan para pegawai publik. Peristiwa yang menimbulkan pertanyaan besar sehubungan dengan pembantaian tahun 1997 itu adalah para pelaku secara besar-besaran menjadikan para penduduk yang tinggal di daerah basis Islam sebagai targetnya. Mengapa para pemberontak Islam dapat bermusuhan dengan orang-orang yang selama ini mendukung serta menyediakan bantuan dan tempat berlindung untuk mereka? Sejumlah pembantaian terkonsentrasi di kota Algier dan kota-kota ke arah barat daya, meliputi Medea, Blida, dan Ain Defla, di mana semua kota ini adalah daerah yang secara geografis merupakan daerah pemberi dukungan bagi Islamisme. Banyak di antara para korban merupakan pendukung FIS (Front Islamique du Salut, Front Penyelamatan Islam) pada pemilu 1991 dan juga pernah memberi bantuan kepada kelompok-kelompok sipil bersenjata untuk melawan rezim Aljazair.
Kekerasan dan pembantaian terhadap warga sipil bukanlah kasus unik gerakan Islamis di Aljazair. Fakta sejarah kekerasan kelompok Islamis yang belakangan terjadi di Afghanistan, Chechnya, Kashmir, Mesir, Indonesia, Israel, dan Filipina Selatan adalah sebuah peringatan bahwa pertumpahan darah warga sipil adalah fenomena yang terjadi kembali di dunia Islam. Tidak ada satu pun kelompok Islamis radikal yang unik sehubungan dengan keterlibatan mereka dalam pembunuhan massa yang kejam. Fakta-fakta sejarah nasionalisme etnik, fasisme, sosialisme, dan fundamentalisme non-Islam juga dipenuhi oleh contoh-contoh pembantaian warga sipil secara besar-besaran. Kita hanya perlu mengingat kembali kejadian-kejadian kontemporer di Bosnia, India, Rwanda, Sierra Leone, dan Sri Lanka.
Meluasnya kekerasan terhadap warga sipil selama era pemberontakan massa itu memunculkan beberapa pertanyaan penting: Bagaimana kita bisa menjelaskan pembantaian-pembantaian terhadap warga sipil yang tak berdaya? Variabel apa yang dapat menolong kita memahami kekerasan yang mendekati genosida terhadap masyarakat biasa ini? Dan kondisi seperti apa yang diduga menjadi penyebab pembunuhan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil tak bersenjata? Bab ini menawarkan penjelasan proses politik dari kekerasan terhadap warga sipil dan menegaskan bahwa pembantaian dan bentuk-bentuk kekerasan terhadap warga sipil adalah bagian dari sebuah proses radikalisasi. Para pelaku kekerasan massa tidak hanya didorong oleh imperatifimperatif motivasi, seperti deprivasi relatif, orientasi ideologis, atau kalkulasi rasional. Mereka harus juga melalui sebuah perkembangan radikalisasi yang secara erat terkait dengan proses-proses politik dan perseteruan kekerasan yang lebih luas. Secara khusus, pembantaian massal akan lebih mudah terjadi ketika tiga kondisi yang berhubungan dengan represi negara saling bertemu: (1) represi negara menciptakan kondisi politik bagi munculnya perpecahan dan kekejaman. (2) para pemberontak membentuk organisasi-organisasi eksklusif untuk melindungi dirinya dari represi. (3) para pemberontak mempromosikan bingkai anti-sistem (anti-system frames) untuk mendorong munculnya tindakan kekerasan kolektif dalam menghadapi agen-agen negara yang represif.
Represi negara, terutama represi yang dilakukan tanpa pandang bulu (indiscriminate repression), terhadap para pendukung sebuah gerakan, menciptakan sebuah kondisi kekerasan dan ketidakadilan yang mejadi dasar bagi tumbuhnya perasaan bersama sebagai korban dan memberi legitimasi kepada para pemberontak, yang pada saatnya bisa digunakan sebagai pembenaran bagi tindakan teror.
Tindakan represif ini juga menimbulkan kebutuhan akan tersedianya struktur-struktur mobilisasi eksklusif sebagai perisai pertahanan para pemberontak dari represi pihak luar dan alat untuk mencegah terjadinya perpecahan internal.
Organisasi-organisasi eksklusif ini cenderung menciptakan “spiral pengucilan diri” (spirals of encapsulation) (Della Porta, 1995a: 12) yang secara bertahap menarik semakin jauh para pemberontak dari masyarakat luas, mengisolasi mereka di dalam dunia bawah tanah di mana mereka kehilangan kontak dengan kenyataan, dan membuat mereka mulai memandang tujuan-tujuan dan strategi gerakan mereka dalam kerangka yang lebih emosional ketimbang strategis.
Sebagai tambahan, represi negara sering kali memfasilitasi meluasnya bingkai-bingkai tindakan kolektif anti-sistem di dalam gerakan pemberontakan. Bingkai-bingkai ini, yakni simbol-simbol makna yang dipadatkan, yang membentuk pemahaman bersama dunia pemberontak untuk meligitimasi dan mendorong sebuah tindakan bersama (McAdam, McCarthy, dan Zald, 1996; Moss, 1997)—menggambarkan sistem politik yang sah sebagai sesuatu yang benar-benar korup, sehingga bingkai ini menolak kemungkinan adanya perbaikan.
Lebih jauh, bingkai anti-sistem menggambarkan perjuangan sebagai pertarungan sampai titik darah penghabisan antara dua kekuatan yang tidak mungkin disatukan, sekaligus membatasi kemungkinan adanya netralitas. Menurut bingkai seperti ini, pihak lawan dan orang-orang yang-baik langsung maupun tidak menjadi pendukungnya harus dimusnahkan.
Bertemunya kondisi politik yang represif, organisasi-organisasi pemberontak yang eksklusif, dan bingkai tindakan kolektif anti-sistem di Aljazair telah berlangsung selama era 1990-an, dan inilah yang menjadi penjelasan paling baik atas kekerasan GIA terhadap warga sipil. Kudeta militer yang secara nyata telah mengakhiri langkah gerakan Islam ke parlemen pada 1992 dan represi yang tidak pandang bulu dan terus-menerus terjadi, telah menciptakan sebuah konteks politik ketidakadilan yang memperhebat amarah dan rasa keadilan kelompok Islamis. Represi telah memaksa kelompok Islamis untuk meninggalkan FIS, organisasi yang dianggap inklusif, dan lebih memilih untuk mempercayai ratusan kelompok eksklusif bersenjata untuk melindungi diri mereka dari para penyusup dan mata-mata. Kelompok-kelompok ini mempromosikan bingkai anti-sistem untuk mendorong terjadinya “perang habis-habisan” melawan rezim pemerintah.
Bingkai ini dengan mudah bergema di dalam kelompok-kelompok gerakan dan telah menyebabkan munculnya represi yang brutal oleh kelompok Islamis. Ketika organisasi-organisasi eksklusif dan ideologi anti-sistem berkembang biak dalam sebuah gerakan, lingkaran kekerasan mulai meluas hingga melibatkan warga sipil, di mana banyak di antara mereka sebenarnya adalah orang-orang yang netral. Akhirnya, setelah selama lima tahun proses radikalisasi, pembunuhan itu mencapai puncaknya dalam bentuk pembantaian.

Tag : agama, Politik, Sosial
0 Komentar untuk "Penjelasan Proses Politik atas Kekerasan GIA di Aljazair"

Back To Top