Studi-studi tentang gerakan-gerakan sosial mengalami “revolusi”
akibat berlangsungnya turbulensi politik pada era 1960-an di Amerika Serikat
dan Eropa. Sebelumnya, gerakan-gerakan sosial dipelajari sebagai sub bidang di
bawah kerangka besar pendekatan aksi-aksi kolektif (collective actions).
Sekalipun tidak semua sarjana yang bekerja dalam tradisi ini
bersepakat mengenai apa itu gerakan-gerakan sosial, atau apa unsur-unsur
pokoknya, mereka pada umumnya sama-sama jijik, tidak suka, dengan gerakan-gerakan
itu atau para aktivisnya. Maklum saja, secara politis dan akademis mereka
tumbuh dewasa pada era 1930-an dan 1940-an, ketika gerakan-gerakan sosial yang
besar dicirikan oleh wataknya yang ekstremis: fasisme atau komunisme, atau
gerakan-gerakan totalitarian lainnya. Gerakan-gerakan sosial ini membentuk
persepsi para sarjana di atas mengenai apa itu gerakan sosial (yang ternyata
menjijikkan), dan pertanyaan-pertanyaan yang mereka pandang penting untuk
diajukan dalam mempelajarinya.
Literatur gerakan sosial pada periode ini memfokuskan perhatian
pada psikologi para partisipan gerakan. Para sarjana mencoba menelusuri
sumber-sumber ketidakpuasan yang mendorong orang untuk bertindak melawan rezim,
menganalisis motif para partisipan dalam sebuah gerakan, memilah-milah ideologi
mereka, dan mengkritik model kepemimpinan gerakan-gerakan itu. Mereka tidak
terlalu peduli kepada pertanyaan di sekitar perubahan di dalam gerakan-gerakan
sosial.
Berbeda dari para sarjana “tua” di atas, para pengkaji
gerakan-gerakan sosial yang menulis pada era 1970-an dan 1980-an dipengaruhi
oleh gerakan-gerakan sosial yang berlangsung pada dekade 1960-an dan 1970-an
itu sendiri.
Tidak seperti generasi-generasi para sarjana sebelumnya, sebagian
besar sarjana baru ini memiliki sikap yang simpatik terhadap gerakan-gerakan
yang mereka pelajari. Malah, beberapa di antara mereka adalah partisipan aktif
di dalam gerakan-gerakan itu, atau sedikitnya memiliki teman atau kolega yang
terlibat di dalamnya. Akibatnya, persepsi mereka mengenai gerakan-gerakan
sosial juga baru dan lebih positif. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan
untuk mempelajari gerakan-gerakan itu juga berbeda dari yang sebelumnya, kali
ini pertanyaan-pertanyaan itu lebih langsung terkait dengan minat dan
kepentingan para partisipan gerakan.
Para sarjana baru ini menekankan peran-peran yang dimainkan oleh
strategi-strategi gerakan atau kesempatan-kesempatan politik yang memungkinkan
terjadinya perubahan di dalam gerakan-gerakan itu sendiri. Mereka melihat bahwa
perasaan ketidakadilan atau ketidakpuasan sosial memang faktor-faktor yang
penting, tetapi itu saja tidak cukup untuk menjelaskan tumbuh dan/atau
berkembangnya gerakan-gerakan sosial. Bagi mereka, ketiadaan gerakan tidak
megindikasikan ketiadaan penindasan atau ketidakpuasan kolektif. Dengan kata
lain, orang-orang tidak bergerak bukan karena
mereka semuanya sudah merasa bahagia, sudah tidak lagi
merasa dizalimi dan puas. Lebih jauh, mereka melihat bahwa
ketidakpuasan individual bukanlah faktor penjelas kunci
dan bahwa gerakan-gerakan sosial terutama bukanlah sebuah
fenomena psikologis (dan karenanya irasional), melainkan
suatu respons politik atas masalah-masalah yang dihadapi.
Pandangan-pandangan ini memunculkan apa yang disebut Teori
Mobilisasi Sumber Daya atau TMSD (Resources Mobilization Theory) di
dalam literatur gerakan-gerakan sosial.
Teori ini terutama ingin menjawab “masalah pendompleng bebas” (free-rider
problem) yang sudah lama meghantui para aktivis gerakan, yakni masalah yang
tercakup dalam logika:
“Kalau kepentingan saya sudah diwakili oleh orang-orang tertentu
yang bersedia ikut di dalam gerakan, mengapa pula saya perlu repot-repot dan
mengambil risiko ikut dalam gerakan?” Masalah ini sangat penting diatasi oleh
para aktivis, khususnya pemimpin, gerakan, karena gerakan-gerakan sosial tentu
saja memerlukan dukungan seluas-luasnya. Jika seseorang yang potensial menjadi
pendukung gerakan social tunduk kepada logika di atas, yang “mau terima
bersih,” maka kapan gerakan akan membesar?
Para teoretikus TMSD datang dengan solusi bahwa “masalah
pendompleng-bebas” dapat diatasi dengan tumbuhnya apa yang mereka sebut sebagai
“para wirausahawan politik” (political entrepreneurs), dengan
insentif-insentif terbatas tertentu. Mereka juga
menyatakan bahwa gerakan-gerakan sosial
kontemporer berkembang “menjadi makin profesional” dengan
tumbuhnya organisasi-organisasi gerakan sosial (OGS) yang
mengorganisasikan dan “berbicara atas nama” mereka yang
termarjinalisasi. Bagi mereka, struktur-struktur sumber daya
dan mobilisasi, seperti OGS-OGS formal, dibutuhkan untuk
secara sengaja dan sistematis mengolektifkan apa yang
tanpanya hanya akan menjadi ketidakpuasan atau kemarahan
individual. Karenanya, gerakan-gerakan social kini
tidak lagi dilihat sebagai penampakan irasional kolektif yang
dimaksudkan untuk menyatakan ketidakpuasan psikologis.
alih-alih dari itu, gerakan sosial dipandang secara positif
sebagai suatu pernyataan perseteruan dan perlawanan yang
terorganisasikan, yang dikelola melalui mekanisme mobilisasi,
yang menyediakan sumber-sumber strategis bagi dilangsungkannya
aksi-aksi kolektif yang berkelanjutan.
Salah satu upaya teoretisasi TMSD yang berpengaruh diberikan oleh
John D. McCarthy (1996). Ia menggaris bawahi keragaman struktur-struktur
mobilisasi dari jaringan informal keluarga dan perkawanan hingga
organisasi-organisasi formal seperti gereja dan asosiasi-asosiasi kaum
profesional. Ia juga memperlihatkan berbagai kontras yang menarik di dalam dan
di antara gerakan-gerakan sosial yang beragam.
Jadi TMSD dipandang sebagai terobosan yang penting dalam memahami
dan menjelaskan gerakan-gerakan sosial. Namun, belakangan TMSD juga dikritik
karena penekanannya melulu pada faktor-faktor internal (endogen) organisasi gerakan,
dan kurang peduli pada faktor-faktor eksternalnya (eksogen).
Ini dipandang sebagai pengabaian serius, karena gerakan-gerakan
sosial tidak beroperasi dalam ruang kosong dan
karena itu lingkungan sosial dan politik di mana gerakan itu
berlangsung harus dimasukkan ke dalam analisis. Pada awal
1980-an, para teoretikus gerakan sosial mulai memasukkan
faktor-faktor eksternal ini ke dalam analisis mereka.
Salah satu konsep paling menonjol yang lahir dari upaya
ini adalah konsep “struktur kesempatan politik” (political opportunity
structure), yang secara bebas dapat dipahami sebagai
konteks politik yang lebih luas berupa represi negara dan
perpecahan di kalangan elite yang dominan, konsep ini melingkupi
kondisi-kondisi yang beragam yang di bawahnya perlawanan
gerakan-gerakan sosial tumbuh dan berkembang atau
merosot dan mati. Dalam satu esainya yang terkenal, Mc Adam
menguraikan empat dimensi kesempatan politik: (1)
keterbukaan atau ketertutupan relatif dari sistem politik yang
formal dan terlembagakan. (2) stabilitas atau instabilitas aliansi
kelompok elite yang secara tipikal mencirikan sebuah komunitas
politik. (3) ada atau tidak adanya sekutu di tingkat
elite. dan (4) kemampuan aparat-aparat negara untuk melakukan
represi dan bagaimana caranya (1996: 27).
Belakangan, model penjelasan ‘proses politik’ dalam literatur
gerakan-gerakan sosial mulai pula memperhitungkan peran yang dimainkan oleh
faktor-faktor budaya dan ideology di dalam gerakan-gerakan sosialdus,
mencerminkan gerak untuk “membawa masuk kembali [aspek] budaya” (bringing culture
back in) ke dalam analisis. Di sini budaya atau ideology ditempatkan
sebagai perantara antara kesempatan politik (faktor
eksogen), mobilisasi organisasi (faktor indogen), dan
aksi, dan didefinisikan sebagai “tafsir atau makna yang diberikan
terhadap realitas yang sama-sama didukung oleh partisipan
gerakan.”
Pada tingkat yang paling minimal, aspek makna yang dihayati
bersama di atas penting agar para partisipan gerakan (1) merasa bahwa mereka
dizalimi dalam aspek-aspek tertentu kehidupan mereka dan (2) merasa optimistik
bahwa, dengan bertindak secara kolektif, mereka dapat mengatasi masalah yang
diakibatkan kezaliman itu. Tanpa adanya satu atau kedua perasaan ini, maka
orang-orang tidak akan bersedia terlibat di dalam gerakan sosial, sekalipun
kesempatan tersedia untuk lahirnya gerakan social dan karena itu kesempatan ini
hanya akan terbuang percuma. Gerakan “berhenti” hanya sebatas potensi, atau
tidak tumbuh menjadi aktual.
Ada atau tidaknya perasaan di atas dikondisikan oleh dinamika
sosial-psikologis yang memungkinkan tumbuhnya perasaan itu, sebuah proses yang
oleh Snow dan kolega-koleganya disebut sebagai proses pembingkaian (framing
process), yaitu “upaya-upaya strategis yang dilakukan secara sadar
oleh sekelompok orang untuk menampilkan pemahaman yang sama mengenai
dunia dan diri mereka sendiri, yang melegitimasi dan memotivasi
aksi-aksi kolektif” (Snow dkk., 1986: 465). Dalam literatur gerakan
sosial, upaya-upaya pembingkaian ini biasanya terkait dengan keharusan
gerakan sosial untuk (1) mendiagnosis suatu kondisi social yang
bermasalah untuk dipecahkan, (2) menawarkan jalan keluar dari masalah
itu, dan (3) menawarkan alasan pembenar untuk memotivasi dukungan bagi
aksi-aksi kolektif. Semuanya ini penting, seperti ditulis Tarrow, “untuk
menjustifikasi, memuliakan, dan mendorong aksi kolektif” (1998: 21).
Beberapa kesepakatan besar di atas mencerminkan semacam konsensus
yang sejauh ini dicapai dalam teoretisasi gerakan-gerakan sosial. Dalam
studi-studi gerakan sosial, tiga variabel penjelas dianggap kunci, yakni: (1)
kesempatan atau hambatan politik (termasuk struktur-struktur politik yang
formal maupun hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak formal); (2)
struktur-struktur mobilisasi (atau kelompok, organisasi, dan jaringan yang
digunakan gerakan-gerakan sosial untuk memobilisasi pendukung), dan (3)
proses-proses pembingkaian (dinamika kognitif dan kultural lewat apa makna
tentang hidup diatributkan kepada aksi-aksi kolektif). Dengan sendirinya, dalam
studi-studi ini, yang menjadi unit analisis adalah gerakan, bukan individu atau
kelompok.
0 Komentar untuk "Evolusi dan Konsensus dalam Teori Gerakan Sosial"