Pendekatan “proses
politik” (political process approach) tentang pemberontakan massa telah
berkembang sebagai respons terhadap teori-teori sosial-ekonomi dan
psikologi dalam gerakan sosial yang secara mekanistik menghubungkan penderitaan
yang muncul karena deprivasi ekonomi atau alienasi dengan tindakan
kolektif (misalnya Gurr, 1970).
Pendekatan proses
politik menekankan bahwa perilaku gerakan dibentuk oleh sebuah konteks politik
yang lebih luas (atau oleh struktur kesempatan politik) yang dapat
memfasilitasi atau justru menghalangi sebuah tindakan kolektif. Tersedianya
sekutu atau kawan, tidak adanya represi yang efektif, dan munculnya perpecahan
elite menciptakan kesempatan-kesempatan bagi tindakan kolektif. Sementara itu,
kondisi-kondisi yang sebaliknya cenderung akan menghalangi mobilisasi (Jenkins
dan Perrow, 1997; McAdam, 1982; Tarrow, 1994). Dari cara pandang ini, sebuah
analisis terhadap pemberontakan dan kekerasan massa haruslah menyelidiki
kondisi-kondisi politik di mana kekerasan itu tumbuh.
Lebih jauh, pendekatan
proses politik menegaskan bahwa tindakan kolektif, termasuk di dalamnya
kekerasan massa, mencakup proses pembentukan struktur organisasi dan pembingkaian
normatif (normative framing) untuk memudahkan mobilisasi sumber daya dan memotivasi individu-individu untuk
mengorbankan waktu, uang, tenaga, bahkan hidup mereka. Dengan kata lain, dinamika-dinamika yang terkait dengan
organisasi dan proses-proses kognitif menjembatani antara kondisi politik dan tindakan kolektif (McAdam, 1988;
Voss, 1996; McAdam, Tarow dan Tilly, 1997). Ketidakmampuan sebuah gerakan untuk secara efektif
mengalokasikan sumberdaya gerakan yang muncul sebagai akibat tidak sesuainya struktur-struktur organisasi akan
berakibat pada hilangnya kesempatankesempatan
politik. Sejalan dengan itu, ketidakmampuan sebagian pengurus
organisasi gerakan akan berakibat pada gagalnya tindakan kolektif, sekalipun ada penderitaan dan kesempatan-kesempatan
pun tersedia. Bagaimana gerakan-gerakan mengelola dan mengelola kembali organisasi mereka, sebagai jawaban terhadap
kesempatan dan tantangan yang muncul dalam suasana politik tertentu, dan bagaimana mereka menggambarkan
penderitaan, adalah hal yang sangat penting yang memengaruhi perilaku gerakan dan kesuksesan gerakan. Penjelasan
berikut akan terkait dengan bagaimana konteks politik yang ditandai oleh represi yang sangat keras, mendorong lahirnya
struktur-struktur mobilisasi eksklusif dan bingkai-bingkai tindakan kolektif anti-sistem, dan bagaimana gabungan dari
tiga variabel ini represi, organisasi eksklusif, dan bingkai anti system memengaruhi cara-cara berlangsungnya kekerasan
massa.
Mengaitkan
antara Kondisi, Organisasi, dan Bingkai Dalam
kondisi yang represif, sebuah gerakan menghadapi beberapa rintangan yang
harus diatasi untuk menghasilkan perubahan. Pertama, gerakan akan
menghadapi mata-mata, penyusup dan agen provokator pemerintah yang mengancam
dan mengacaukan rencana gerakan kelompok serta menghancurkan gerakan
tersebut dari dalam. Untuk mengatasi masalah ini, para pengelola
organisasi gerakan harus menemukan sebuah cara untuk merekrut para
aktivis yang benar-benar dapat dipercaya. Kedua, ada ancaman bahwa
serangan hebat dari aparat-aparat keamanan akan menghancurkan sebuah
gerakan. Gerakan-gerakan di bawah kondisi yang represif mengakumulasi
sumber daya organisasi dan materi secara perlahan-lahan dan dengan cara
yang sangat hati-hati, agar tidak sampai menjadi korban represi negara.
Untuk mengatasi masalah
ini, organisasi-organisasi gerakan sosial harus dapat mengatasi serangan
represi negara yang tidak bisa dihindarkan, tanpa harus mengalami perpecahan
serius (O’Neill, 1990). Akhirnya, para aktivis bawah tanah yang berada dalam
kondisi sistem yang represif menuntut kadar solidaritas dan kesatuan kelompok
yang tinggi; perpecahan dan pertentangan dapat mengakibatkan hancur dan matinya
gerakan. Kebutuhan untuk menjaga kerahasiaan aktivitas-aktivitas gerakan
menyebabkan meningkatnya saling ketergantungan antara satu aktivis dengan
aktivis yang lain. Jika seorang aktivis memutuskan untuk membelot, keseluruhan
organisasi gerakan menjadi rentan terhadap tindakan-tindakan para pembelot yang akan muncul kemudian. Sebagaimana
dijelaskan oleh Crenshaw (1992: 32), “tekanan-tekanan terhadap kesatupaduan yang ada dalam semua kelompok akan
semakin hebat dalam sebuah kondisi kehidupan bawah tanah.” Untuk mengatasi rintangan ini, organisasi-organisasi
gerakan harus menemukan jalan untuk menempa kesatuan kelompok dan mengurangi kemungkinan munculnya perpecahan.
Tugas yang tidak mungkin
dihindari untuk mengatasi berbagai hambatan, yang muncul karena kondisi
represif, benar-benar mendorong gerakan sosial untuk membentuk organisasi-organisasi
yang eksklusif. Dalam artikelnya yang sangat berpengaruh tentang
organisasi-organisasi gerakan, Zald dan Ash (1987: 125-26) mendefinisikan
organisasi eksklusif sebagai sebuah organisasi yang menetapkan kriteria yang
sangat ketat bagi anggotanya. Hanya orang-orang yang meyakini sebuah keyakinan
yang sama dan memenuhi tuntutan standar perilaku tertentu yang bisa diterima
sebagai anggota. Sebuah organisasi eksklusif biasanya “mengharuskan para
anggota yang baru direkrut untuk mengabdikan diri pada disiplin organisasi, dan
karena itu harus betul-betul memiliki komitmen awal.” Hal tersebut tidak
berarti hanya “mengharuskan bahwa sebagian besar energi dan waktu dicurahkan untuk
urusan-urusan gerakan, tetapi lebih dari itu organisasi meresapi seluruh bagian
hidup para anggotanya, termasuk aktivitas-aktivitasnya dengan orang-orang lain
yang bukan anggota.” Organisasi-organisasi tersebut juga “berusaha untuk
mengurangi klaim tentang peran-peran yang menyaingi dan posisi-posisi status organisasi-organisasi
lain yang hendak mereka kalahkan atau saingi di dalam wilayah mereka” (Della Porta, 1995b: 107).
Berbeda dari
organisasi-organisasi eksklusif itu, organisasi-organisasi yang inklusif adalah
organisasi yang memiliki kriteria yang relatif tidak ketat bagi keanggotaanya.
Biasanya, “organisasi ini menuntut kadar komitmen yang minimal, sebuah janji
dukungan secara umum tanpa kewajiban khusus, sebuah periode indoktrinasi yang
singkat, atau bahkan tidak sama sekali.” Sebuah organisasi inklusif “biasanya
menuntut hanya sedikit waktu dari anggotanya di dalam organisasi, mereka bisa
juga menjadi anggota organisasi dan kelompok lain tanpa mereka sadari; perilaku
anggotanya tidak terlalu dipengaruhi oleh tujuan-tujuan, keputusan-keputusan
dan siasat-siasat organisasi (Zald dan Ash, 1987: 125-26).
Organisasi-organisasi
eksklusif biasanya hanya beranggotakan individu-individu yang satu-pikiran dan
mengatur tingkah-laku para aktivisnya dengan membatasi ikatan-ikatan eksternal
mereka serta menuntut ketundukan pada sebuah model perilaku yang sangat ketat.
Semua ini bertujuan untuk membangun komitmen para aktivis dan kesatupaduan
kelompok. Dengan membatasi ruang gerak interaksi para aktivis, biasanya dengan
aksi “pemutusan jembatan” (Gerlach dan Hine, 1970), kelompok tersebut berhasil
dalam menetralisasi pengaruh-pengaruh buruk yang dapat secara perlahan membujuk
para aktivis untuk membelot. Wasmund (1986: 214), ketika menjelaskan terorisme Jerman Barat,
berpendapat bahwa dalam kelompok-kelompok rahasia, ketergantungan total para militan pada kelompoknya, tekanan untuk
menyesuaikan diri, dan pembagian tugas dan pekerjaan dalam tubuh organisasi, berakibat pada hilangnya kebutuhan, hasrat,
kepentingan dan identitas pribadi anggotanya. Dalam kondisi seperti ini, setiap aktivis mulai mengidentifikasi
kepentingan dan kebutuhan pribadinya dengan kepentingan dan kebutuhan kelompok. Pola seperti ini dapat pula dilihat
dalam kasus gerakan sayap kiri di Italia (Moss, 1997) dan Shining Path di Peru (McClintock, 1998).
Dalam kedua kasus ini,
sejumlah peraturan tentang tingkah laku telah memunculkan apa yang oleh Della
Porta (1995a: 12) disebut dengan istilah “spiral pengucilan-diri” (spirals
of encapsulation), di mana hubungan para aktivis dengan dunia luar
sepenuhnya terputus seiring dengan semakin matangnya ikatan di dalam kelompok.
Membelot dari kelompok, dengan demikian, berarti menderita kerugian berlipat:
kehilangan perkawanan sekaligus identitas yang telah ditempa melalui
serangkaian indoktrinasi dan interaksi dalam kelompok tersebut (Crenshaw, 1981,
1992; Laquer, 1987; Post, 1987).
Selain mendorong
terbentuknya organisasi-organisasi yang eksklusif, lingkungan politik yang
represif juga memudahkan menyebarnya bingkai tindakan kolektif anti-sistem di
dalam sebuah gerakan. Bingkai anti-sistem menggambarkan sistem politik yang
normal dan absah serta kelompok-kelompok elite negara sebagai kelompok yang
benar-benar korup dan menolak “keabsahan berfungsinya proses-proses politik
dalam bentuknya yang rutin” (Diani, 1996: 1057). Lebih jauh, bingkai anti-sistem menggambarkan penyakit-penyakit sosial
dan penderitaan individu sebagai bukti dari permasalahan yang benar-benar mengakar dalam sistem, ketimbang
sebagai hasil dari salah urus kebijakan atau kepemimpinan yang buruk. Sebagai solusinya, mereka menawarkan penggantian
rezim yang berkuasa dengan rezim yang benar-banar baru. Berbeda dari bingkai revitalisasi (revitalization frame), yang memandang lawan-lawan politik
sebagai para pesaing yang dapat bernegosiasi
untuk menyatukan
perbedaan-perbedaan dan mencapai sebuah kesepakatan untuk hasil yang saling menguntungkan, bingkai anti-sistem menolak
perbaikan dan kukuh pada prinsip pemusnahan pihak musuh untuk mencapai tujuan gerakan.
Aktivitas-aktivitas
bawah tanah yang berisiko tinggi, terutama yang melibatkan penggunaan cara-cara
kekerasan, menuntut adanya justifikasi dan motivasi yang sangat besar.
Sebagaimana diungkapkan Apter (1997: 2), “Orang-orang tidak akan mungkin terlibat
dalam kekerasan politik tanpa terlibat dalam wacana. Mereka harus pertama-tama
mengunyah wacana itu.”
Analisis Wasmund (1986)
tentang gerakan anti-sistem faksi Tentara Merah di Jerman menjelaskan: Dalam
proses mendefinisikan figur-figur simbolik dari sistem politik sebagai
penjelmaan dari segala sesuatu yang buruk dan jahat, para teroris menahan
perasaan-perasaan bersalahnya dan melengkapi diri mereka dengan “bisikan hati
yang baik” yang membenarkan tindakan-tindakan mereka. Pemusnahan lawan politik
lantas tidak hanya menjadi sesuatu yang diperlukan, tetapi menjadi tindakan
yang dibenarkan.
Sebuah sistem yang
represif yang tidak memberikan kemungkinan bagi perbaikan melalui
lembaga-lembaga oposisi akan lebih mudah digambarkan sebagai sebuah entitas monolitik
yang tidak mungkin berubah.
Lebih jauh, bingkai
anti-sistem memudahkan strategi-strategi anti-institusi dengan mengeratkan
ikatan di dalam kelompok-kelompok dan organisasi gerakan. Bingkai-bingkai
anti-sistem, yang ditandai oleh permusuhan ideologi yang tak kenal kompromi,
menekankan kemurnian tujuan gerakan dan mengilhami para aktivis gerakan dengan
rasa keadilan sejarah. Perjuangan yang sedang dihadapi bukanlah perjuangan
melawan individu atau kelompok tertentu; ini adalah perjuangan untuk membangun
sebuah tatanan social baru yang lebih baik. Karena itu, bingkai-bingkai
anti-sistem biasanya membuat sebuah pembatasan moral antara dunia para pemberontak dengan
sistem yang sedang diperanginya.
Daerah yang dihuni para
pemberontak adalah daerah kelompok yang dihinakan, yang sedang mengorbankan
diri dan berjuang melawan tatanan yang bengis, sementara yang sedang
dihadapinya adalah sebuah dunia eksploitatif, korup dan penuh kebohongan.
Pembagian ini sangat penting untuk mempererat dan menyatukan organisasi-organisasi
yang eksklusif, karena hal ini membuat tindakan meninggalkan kelompok untuk
pindah kepada kubu lain dianggap lebih dari sekadar sebuah keputusan srategis
untuk keberlangsungan hidup; meninggalkan kelompok adalah “pengkhianatan” atau
kompromi dengan sebuah tatanan yang tidak dapat diterima.
Jabri (1996), dalam
kaitannya dengan konflik-konflik sipil dan internasional, menjelaskan:
Wacana inklusi dan
ekslusi tidak memberikan ruang bagi ketidakpastian dan keragu-raguan. Karena
itu, jika hal-hal ini diungkapkan, mereka harus digambarkan sebagai orang-orang
yang tidak rasional, bahkan sebagai pengkhianat. Beberapa penggambaran yang
mengaburkan batasan-batasan inklusi/ekslusi meluluhlantakan kepastian yang
telah dibentuk atas nama perang dan membentuk sebuah wacana tandingan yang
membongkar dan mendeligitimasi perang, dan karena itu memporak-porandakan mitos
kesatuan, kewajiban dan ketundukan.
Kondisi-kondisi politik
yang represif, yang tidak membolehkan keikutsertaan suara-suara yang berbeda,
sering justru memperkukuh batasan inkulusi/eksklusi dengan memberikan pada
wacana itu lahan yang subur untuk tumbuh.
Organisasi Eksklusif,
Bingkai Anti-Sistem dan Kekerasan yang Meluas Organisasi-organisasi eksklusif sering kehilangan persentuhan
dengan realitas politik. Hal ini, di antaranya, disebabkan karena
sedikitnya alternatif informasi yang tersedia dan tidak adanya
perdebatan yang efektif di dalam organisasi tersebut. Namun hal ini juga
terjadi karena, di dalam organisasi itu, tidak banyak pengaruh yang menyuarakan
pandangan yang mempertanyakan pandangan organisasi, sehingga
mekanisme evaluatif organisasi, yang bisa menilai dengan jernih tujuan
dan kinerja organisasi, menjadi dinafikan. Dengan kata lain, ketika
proses “pengucilan diri yang berkelanjutan” menggantikan afiliasi
eksternal dengan ikatan di dalam kelompok, maka para aktivis yang
terkurung tersebut tak lagi memberikan kepada pihak luar, yang mungkin
memiliki cara pandang yang lebih objektif terkait aktivitas-aktivitas gerakan,
kesempatan untuk mengkritik perilaku mereka. Sebagai gantinya, para
aktivis hanya mendasarkan diri pada evaluasi “kawan sejati” dan
“saudaranya”. Pada saat yang sama, kelompok-kelompok eksklusif sering
kali “tidak memiliki sebuah penilaian kritik diri yang terbuka terhadap
premis-premis teoretis dan posisi mereka; mempertanyakan asumsi-sumsi
teoretis gerakan tersebut akan membahayakan fondasi dasar kelompok serta
dapat menyebarkan dampak yang menggoyahkan kesadaran kelompok” (Wasmund
1986, 220). Di bawah kondisi seperti itu, penilaian yang objektif
terhadap kondisi politik yang sangat dibutuhkan untuk langkah-langkah strategis menjadi
hilang; kelompok-kelompok semakin digerakan oleh panggilan-panggilan yang emosional dan abstrak terhadap rasa
keadilan dan kesamarataan (Crenshaw, 1992, 1995; apter, 1997; Wieviorka, 1997; Post, 1998).
Organisasi-organisasi
eksklusif dengan kerangka anti-sistem tidak siap menerima gagasan “netralitas”,
dan karena itu mengarahkan orang kepada suatu kategorisasi yang cakupannya luas
tentang target-target yang dianggap sah. Siapa pun yang dianggap sebagai
pendukung sebuah tatanan sosial yang “tidak adil” atau menolak gagasan tentang
perang habis-habisan adalah bagian dari masalah dan karenanya bisa dijadikan
target peperangan yang adil.
Sejarah dipenuhi oleh
banyak sekali contoh gerakan gerilya dan kelompok militan yang melakukan lebih
banyak tindak kekerasan terhadap warga sipil ketimbang terhadap para pejabat
dan tentara pemerintah. Wickham-Conley (1991: 74, 79-80) mencatat bahwa Viet
Cong di Vietnam dan Tentara Pembebasan Nasional Venezuela (FALN), sebagai
contoh, melampiaskan kampanye teror terhadap warga sipil dengan tujuan
mengontrol wilayah dan menghindari kekalahan.
Dalam kasus Vietnam,
sekitar 80 persen korban tentara Viet Cong adalah kelompok warga sipil biasa.
Crenshaw (1995: 477, 483-84) mencatat bahwa pola yang sama juga terjadi dalam
kasus Front Pembebasan Nasional Aljazair (FLN), yang melakukan kampanye teror
terhadap kelompok lawan dan warga sipil yang menolak untuk tunduk pada perintah
FLN selama masa perang kemerdeakaan melawan Perancis.
Kekerasan yang meluas
juga dapat lebih gamblang dilihat dalam kasus gerakan Shining Path di Peru:
hanya 17 persen yang menjadi korban gerakan mereka selama 12 tahun yang
merupakan pasukan tentara. Sebagian besar dari korban gerakan tersebut adalah
warga sipil biasa meliputi pendeta, suster, pekerja asing, wartawan, guru,
aktivis kemanusiaan, murid-murid dan tentu saja juga petani (McMclintock, 1998:
67-68).
Hal yang menarik dari
semua contoh-contoh ini adalah bahwa di setiap contoh kasus, gerakan itu selalu
merupakan gerakan anti-sistem yang berhasrat untuk menyingkirkan kekuatan asing
dan atau menumbangkan rezim-rezim yang sedang berkuasa. Tidak ada satu pun yang
mengadopsi cara pandang rekonsiliasi atau bingkai revitalisasi (revitalization
frames), bahkan mereka justru menganggap pemberontakan sebagai
perjuangan untuk mengadakan perubahan sosial dan politik yang tak mungkin
dikompromikan. Anggota-anggota yang baru direkrut harus secara efektif
diindoktrinasi dan dilatih agar menjadi bagian dari organisasi-organisasi
gerakan rahasia bawah tanah. Akhirnya, setiap kelompok harus mencari pembenaran
untuk meluasnya kekerasan dengan dalih bahwa semua itu dibutuhkan untuk
kebaikan negara, masyarakat dan perjaungan itu sendiri.
Kasus Aljazair
memberikan contoh empiris yang mendukung proposisi yang ditawarkan di atas dan
menarik perhatian kita akan betapa pentingnya kondisi politik, struktur- struktur mobilisasi dan
kerangka ideologi untuk memahami kekerasan terhadap warga sipil. Sebagaimana akan dijelaskan di bawah, pada awal
1990-an gerakan Islamis di Aljazair tengah dalam perjalanan untuk membangun sebuah organisasi gerakan inklusif di
bawah naungan FIS. Namun, perubahan ke arah sebuah kondisi politik yang represif telah memaksa gerakan tersebut untuk
semakin memercayai organisasi-organisasi eksklusif yang dapat melindungi gerakan tersebut dari represi.
Kelompok-kelompok radikal, yang biasanya tersisihkan secara politik, menjadi kekuatan yang semakin penting karena ideologi
anti-sistem mereka bergema seiring dengan semakin meningkatnya tekanan terhadap gerakan.
Penggabungan antara
represi, organisasi-organisasi eksklusif dan bingkai anti-sistem menghasilkan
kekerasan yang semakin meluas, yang memuncak pada pembantaian warga sipil.
0 Komentar untuk "Teoretisasi Kekerasan terhadap Warga Sipil: Kerangka Proses Politik"