Peri-Kebangsaan, Peri-Kemanusiaan, Peri-Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat.
(Dalam beberapa tahun terakhir
hidupnya, dalam beberapa kesempatan baik secara implisit maupun eksplisit,
Mohammad Hatta membantah anggapan bahwa Yamin perumus pertama ”Pancasila”.
Hatta memperkuat anggapan, bahwa Soekarnolah perumus pertama “Pancasila”.
Bantahan Hatta tersebut meragukan, sekurang-kurangnya
menimbulkan beberapa pertanyaan.
Mengenai masalah ini diperlukan
pembahasan khusus, dan tidak akan diuraikan disini. Bagaimanapun, ini semua
bukanlah rumusan pertama prinsip-prinsip ini. Ketika Yamin dipecat dari Gerindo pada tahun 1939, kemudian
dia dan kawan-kawannya mendirikan Partai Persatuan Indonesia (Parpindo) berasaskan
Sosial-nasionalisme dan Sosial-demokrasi. Enam tahun sebelumnya, dalam
konferensi Partindo (Partai Indonesia) di Mataram pada bulan Juli 1933, Soekarno
menyatakan bahwa bagi kaum Marhaen asas itu ialah Kebangsaan atau Kemarhaenan (Marhaenisme).
Di dalam ayat 1 putusan konferensi tersebut ditegaskan bahwa Marhaaenisme itu
bukanlah lain melainkan Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi, Sosio-nasionalisme
terdiri atas Internasionalisme dan
Nasionalisme, sedangkan Sosio-Demokrasi mencakup Demokrasi dan Keadilan Sosial, Oleh karena itu
jelaslah baik “Pancasila” Soekarno maupun Lima Asas Yamin bukanlah lain
melainkan pernyataan kembali (Restatement) empat segi Marhaenisme Soekarno yang
dirumuskan pada tahun 1933 ditambah Ketuhanan.
Keterangan-keterangan Soekarno sendiri
mengenai prinsip-prinsip ini dalam Badan Penyelidik menunjukkan dengan jelas bahwa dia
sendiri mengakui ketergantungannya pada orang-orang lain. Ketika membahas hubungan
antara Nasionalisme dan Internasionalisme, kemudian menyatakan:
“Saya mengaku, pada waktu saya berumur
16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S di Surabaya, saya dipengaruhi oleh
seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, katanya
: jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia,
jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi
pada tahun 1918, alhamdulillah ada orang lain yang memperingatkan saya, ialah
Dr. Sun. Yat Sen ! Di dalam tulisannya “San Min Chu I” atau “The Three People
Principles”. Saya mendapat pelajaran yang membongkar
kosmo-politanisme yang diajarkan A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa
kebangsaan, oleh pengaruh “The Thrre People Principles” itu. Maka oleh karena itu, jikalau
seluruh bangsa Tionghoa mengharap Dr Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa bung
Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan sehormat-hormatnya merasa
berterima kasih kepada Dr Sun Yat Sen, sampai masuk lobang kubur.
Ketika membicarakan prinsip keadilan
sosial, Soekarno sekali lagi menyebutkan pengaruh San Min Chu I karya Dr. Sun Yat Sen :
“Prinsip nomor 4 sekarang saya
usulkan. Saya di dalam tiga hari belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan,
prinsip : tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka.
Saya katakan tadi : prinsipnya San Min
Chu I ialah Mintsu, Min chuan, Min Sheng : nationalism, democracy, sosialism. Maka prinsip
kita harus ……. Kesejahteraan sosial, ……. Sociale rechtvaardigbeid.”
Ketiga prinsip Nasionalisme, demokrasi
dan Sosialis ini dapat ditelusuri kembali kepada tahun 1885. Menurut Soekarno :
“Maka demikian pula,jika kita hendak
mendirikan Negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan :
apakah “Weltans-chauuung” kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka
diatasnya? Apakah nasionalis-sosialism? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh doktor Sun Yat Sen ?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen
mendirikan negara Tiongkok mereka, tetapi “Welantschauuung” nya telah dalam
tahun 1885, kalau saya tidak salah, difikirkan, dirancangkan. Di dalam buku
“The Three People’s Principles” San Min Chu I, - Mintsu, Min chuan, Ming Sheng,
Nasionalisme, demokrasi, sosialisme, telah digambarkan oleh Dr Sun Yat Sen
Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru
di atas “Weltanschauuung” San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu
berpuluh-puluh tahun.”
Marhaenisme Soekarno pada 1913 nampak
jelas merupakan kembali The Three People’s daripada San Min Chu I ditambah
Internasionalime. Prinsip Soekarno yang terakhir ini jelas diilhami oleh
Kosmopolitanisme A. Baars yang dikritik dan dikoreksinya” kemudian diubahnya menjadi
Internasionalime. Hal ini bukti dari pernyataan Soekarno sendiri, dan mengenai
masalah ini tidak perlulah kita perbincangkan lebih lanjut. Pertanyaan yang
penting ialah dari sumber manakah Soekarno dan Yamin mengambil prinsip Ketuhanan.
Tiada keraguan, keduanya menemukan
prinsip keTuhanan ini dari alam fikiran dan cita-cita yang diungkapkan oleh
pemimpin Islam di dalam Badan Penyelidik, yang menolak kebangsaan dan mengajukan Islam sebagai dasar
negara. Van Nieuwenhuijse dan juga yang lainnya mengakui bahwa cita dan pengertian Ke-Tuhanan
ini “has basically a Muslim background”, walaupun “it is not always necessarily
unacceptable to non-Muslim” (pada dasarnya berlatar belakang muslim, walaupun
tidak usah selalu tidak dapat diterima oleh golongan bukan (Muslim). Lebih
tegas lagi jawaban Profesor Hazairin mengenai masalah ini :
“Dari manakah datangnya sebutan
“Ketuhanan Y.M.E.” itu? Dari pihak Nasranikah, atau pihak Hindukah atau dari pihak
“Timur Asing” (seorang keturunan Cina)-kah, yang ikut bermusyawarah dalam
panitia yang bertugas menyusun UUD 1945 itu ? Tidak mungkin ! Istilah “ketuhanan Yang Maha Esa” itu hanya
sanggup diciptakan oleh otak, kebijaksanaan dan iman orang Indonesia Islam,
yakni sebagai penerjemah pengertian yang terhimpun dalam “Allahu alwahidu al-ahad”
yang disalurkan dari QS. 2:163 dan QS. 112, dan dizikirkan dalam doa Kanzu ‘Arsy baris 17.
Dengan kata-kata Departeman Agama :
It is just obvious that there is a
relationship between the Pancasila’s principle of Belief in God the One with
the Isamic Tawhid of Theology (the tawhid of Islamic theology ? - ESA). It is obvious
that the first principle of Pancasila, which is “prima causa” or most primary, is
in line with some of the teaching of Islamic Tawhid, Vis, “Tawhidushifat”
(Tawhid as-sifat) and “Tawhid-I f’aal” (tauhid Af-al), in the sense that God is
One in His deeds. These teachings are also accepted by other religions in
Indonesia.
Jelaslah bahwa ada hubungan antara
sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan ajaran tauhid dalam teologi
Islam. Jelaslah pula bahwa sila pertama Pancasila yang merupakan “prima causa” atau sebab pertama itu,
sejalan dengan beberapa ajaran tauhid Islam, dalam hal ini ajaran tentang
tauhidu’s shifat dan Tauhidu ‘l-Af’al, dalam pengertian bahwa Tuhan itu Esa dalam sifat-Nya dan perbuatan-Nya.
Ajaran ini juga diterima oleh agama-agama lain di Indonesia.
Bahwa prinsip ke-Tuhanan Soekarno itu
didapat dari - atau sekurang-kurangnya diilhami oleh uraian-uraian dari para
pemimpin Islam yang berbicara mendahului Soekarno dalam Badan Penyelidik itu,
dikuatkan dengan keterangan Mohamad Roem. Pemimpin Masyumi yang terkenal ini
menerangkan bahwa dalam Badan Penyelidik itu Soekarno merupakan pembicara terakhir;
dan membaca pidatonya orang mendapat kesan bahwa fikiran-fikiran para para
anggota yang berbicara sebelumnya telah tercakup di dalam pidatonya itu, dan
dengan sendirinya perhatian tertuju kepada (pidato) yang terpenting”, komentar
Roem, “pidato penutup yang bersifat menghimpun pidato-pidato yang telah diucapkan
sebelumnya”.
Penting untuk dicatat bahwa Soekarno
sendiri secara tegas menolak anggapan bahwa dia “pencip-ta” pancasila. Dalam
pidato inaugurasi penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah
Mada, dia menyatakan : “janganlah dikatakan saya ini pembentuk ajaran Pancasila.
Saya hanya seorang penggali daripada ajaran Pancasila itu”.
Atas anjuran Presiden Soeharto, maka
dibentuk-lah Panitia Pancasila yang terdiri atas lima orang, yakni : Mohammad
Hatta, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Sunario dan A.G. Pringgodigdo, yang
dianggap dapat memberikan pengertian sesuai dengan alam fikiran, dan semangat
lahir batin para penyusun UUD 1945 dengan Pancasilanya.
Di dalam sidangnya pada tangal 10
januari 1979, pukul 09.15, terjadilah diskusi yang menarik kita catat
sehubungan dengan masalah sumber peng-ambilan sila ketuhanan. Prof. Sunario, seorang
tokoh penting PNI berkata : “Bung Karno mengatakan bahwa beliau adalah
merupakan salah satu penggali Pancasila : saya
kira ini benar”. Hatta langsung menyambut :
“Mungkin saja, tetapi yang jelas Bung
Karno banyak mendapat ilham. Ya, memang demikian halnya, misalnya saja asas
Ketuhanan dari pihak PSII merupakan asas perjuangan partai.
Dalam pelbagai kesempatan Soekarno
sering mengungkapkan bahwa dia menggali “Pancasila”- nya itu langsung dari
Indonesia sendiri, karena katanya, ajaran itu “dari zaman dahulu sampai dengan sekarang ini yang nyata selalu
menjadi isi daripada jiwa bangsa Indonesia”.
Ketika ada orang yang berkata, bahwa
Soekarno menggali kurang dalam, dia menjawab :
“Dan saya tegaskan, saya ini orang
Islam,tetapi saya menolak perkataan bahwa pada waktu saya menggali di dalam
jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia kurang dalam menggalinya.
Sebaliknya saya berkata : Penggalian
saya itu sampai zaman sebelum ada agama Islam. Saya gali sampai zaman Hindhu dan pra-Hindu.
Masyarakat ini boleh saya gambarkan dengan saf-safan.
Saf ini di atas saf itu, di atas saf
itu ada saf lagi. Saya melihat macam-macam saf. Saf pra-Hindu, yang pada waktu itu telah menjadi bangsa
yang berkultur dan bercita-cita.”
Seperti yang telah dipaparkan di atas,
bukanlah dari bumi Indonesia Soekarno terutama menggali “Pancasila”-nya itu :
idea-idea dan sumber-sumber luar memegang peranan penting dalam pelahir-annya.
Seperti telah disinggung di atas, penemuan Soekarno yang asli sekurangkurangnya
ialah pena-maan “Pancasila” itu. Roem menyatakan pendapat, bahwa “kalau ada
yang harus kita akui dari Ir. Soekarno sendiri ialah nama lima dasar itu, yaitu
“Pancasila”. Akan tetapi di dalam soal penamaan itu pun kita berkesimpulan,
bahwa hal itu bukanlah asli dari Soekarno, karena dia sendiri mengakui :
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi
saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya Pancasila. Sila
artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia kekal
abadi.
Tag :
Nasionalis
0 Komentar untuk "Asal usul Pancasila Rumusan Soekarno"