Gagasan Pembaruan Mohammad Abduh



Aktivis Indonesia - Kontribusi pembaruan pemikiran Abduh paling menonjol dan menjadi fokus gerakannya meliputi dua bidang : pembaruan teologi dan hukum. Dua aspek inilah yang dianggapnya sangat vital, yang pada masanya dilupakan umat Islam, sehingga benih kemunduran di hampir segala lini kehidupan pun tak bisa dihindari.

Pemikiran teologi Abduh didasari oleh tiga hal, yaitu : kebebasan manusia dalam memilih perbuatan, kepercayaan yang kuat terhadap sunnah Allah, dan fungsi akal yang sangat dominan dalam menggunakan kebebasan. Pandangan Abduh tentang perbuatan manusia bertolak dari satu deduksi, bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dalam memilih perbuatannya.
Namun demikian, kebebasan tersebut bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Seperti ditulis Muhammad Imarah dalam bukunya Al A'maal Al Kaamilah lil Imam Muhammad Abduh, (Cairo), setidaknya ada dua ketentuan yang menurut Abduh sangat mendasari perbuatan manusia, yakni : (1) Manusia melakukan perbuatan dengan daya dan kemampuannya. (2) Kekuasaan Allah adalah tempat kembali semua yang terjadi.
Berkaitan dengan pemikiran teologisnya, Abduh memandang akal berperan penting dalam mencapai pengetahuan yang hakiki tentang iman. Akal dalam sistem teologi Abduh bahkan memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Berkat akal, orang dapat mengetahui adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mengetahui adanya hidup di akhirat, mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, mengetahui kebaikan dan kejahatan, serta mengetahui kewajiban membuat hukum-hukum. Tetapi, itu bukan berarti manusia tak membutuhkan wahyu sebagai petunjuk hidup mereka.
Menurut Abduh, wahyu tetap dibutuhkan, sebab wahyu sesungguhnya memiliki dua fungsi utama, yakni menolong akal untuk mengetahui secara rinci mengenai kehidupan akhirat, dan menguatkan akal agar mampu mendidik manusia untuk hidup secara damai dalam lingkungan sosialnya.
Dengan pemahaman seperti ini, seorang mukmin baru dapat 'mengenali' Tuhan dengan baik yang tercermin melalui tindakan-tindakan dan kehendak baik manusia. Dalam bukunya, Hasyiyah 'Ala Syarh Dawani lil Aqaid, ia berpendapat, sifat-sifat Tuhan adalah esensi Tuhan itu sendiri.
Dalam aspek hukum, pemikiran Abduh tercermin dalam tiga prinsip, yaitu : Al-Qur'an sebagai sumber syariah, memerangi taqlid, dan berpegang kuat pada akal dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an. Abduh membagi syariah menjadi dua macam, yaitu; qath'i (pasti) dan zhanni (tidak pasti). Hukum syariah jenis pertama wajib bagi setiap Muslim mengetahui dan mengamalkan tanpa interpretasi, karena ia jelas tersebut dalam Al-Qur'an dan Hadits. Sedangkan hukum syariah jenis kedua datang dengan tunjukan nash dan ijma' yang tidak pasti.
Jenis hukum kedua inilah yang menjadi lapangan ijtihad para mujtahid. Dalam konteks ini, ijtihad Abduh nampak begitu jelas. Berbeda pendapat, menurutnya adalah wajar dan merupakan tabiat manusia. Keseragaman berfikir dalam semua hal adalah sesuatu yang tidak mungkin diwujudkan.
Yang membawa bencana perpecahan, menurutnya, jika pendapat-pendapat yang berbeda tersebut dijadikan tempat berhukum dengan tunduk pada pendapat tertentu tanpa berani mengritik dan mengajukan pendapat lain. Sikap yang harus diambil umat Islam dalam menghadapi perbedaan pendapat adalah dengan kembali kepada sumber aslinya, yaitu Al- Qur'an dan Sunnah. Bagi yang berilmu pengetahuan wajib berijtihad, sedang bagi orang awam bertanya kepada orang yang ahli dalam bidang agama.
Ia menyarankan agar para ahli fikih membentuk tim yang bekerja untuk mengadakan penelitian tentang pendapat yang terkuat di antara pendapat-pendapat yang ada.
Kemudian keputusan tim itulah yang dijadikan pegangan umat Islam. Di samping bertugas memfilter, tim ahli fikih tersebut juga bertugas mengadakan reinterpretasi terhadap hasil ijtihad ulama maupun madzhab masa lalu. Jadi, menurutnya, bermadzhab berarti mencontoh metode ber-istinbath hukum.
Peran dan kiprah Mohammad Abduh dalam mengangkat citra Islam dan kualitas umatnya dari keterpurukan memang tak kecil. Dialah seorang mujaddid dan mujtahid sekaligus, yang pada masanya, bukan saja mengalami tentangan internal maupun eksternal. Berkat upayanya, meski belum begitu maksimal, modernisme pemikirannya mulai kelihatan.
Dalam amatan cendekiawan Muslim Dr Nurcholish Madjid (Islam Kemoderenan dan Ke- Indonesiaan, Mizan : 1987), 'modernisme' Abduh, antara lain, tercermin dalam sikapnya yang apresiatif terhadap filsafat. Ia peroleh wawasan itu dari gurunya, Jamaluddin Al- Afghani, seorang penganjur gigih Pan-Islamisme dan orator politik yang memukau.
Di Indonesia, pemikiran Abduh banyak mempengaruhi perjalanan dan patron ormas Islam, Muhammadiyah, di mana banyak persamaan antara keduanya. Di antara warisan intelektualnya adalah Risalah al-Tauhid. Sedangkan Tafsir Al Manar merupakan kumpulan pidato-pidato, pikiran-pikiran, dan ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh muridnya, syeikh Mohammad Rasyid Ridha. [republika.co.id]
Tag : agama, Tokoh
0 Komentar untuk "Gagasan Pembaruan Mohammad Abduh"

Back To Top