Abad kesepuluh masehi menjadi periode gemilang dalam
perkembangan peradaban Islam. Pada masa itu, para intelektual Muslim telah
sampai pada puncak kematangan pemikiran dan berbagai ide. Bahkan beragam ide
yang berasal dari tradisi intelektual di luar Islam, khususnya filsafat Yunani.
Apalagi kala itu, pada saat Dinasti Abasid berkuasa, gencar
melakukan translasi atau penerjemahaan karya-karya dari berbagai bidang ilmu ke
dalam bahasa Arab. Tak ayal jika banyak Dar al-Ilm (semacam perpustakaan umum)
didirikan. Bukan hanya di pusat pemerintahan, Baghdad, tetapi juga di Kairo,
Kordoba, dan di belahan dunia Islam lainnya.
Tak hanya perpustakaan umum yang tumbuh bak cendawan di
musim hujan, perpustakaan pribadi juga banyak bermunculan. Mudahnya akses ke
berbagai pengetahuan ini tak heran membuat banyak kalangan yang membuat majelis
kajian untuk berdiskusi mengenai hal ihwal agama, filsafat maupun bidang
lainnya.
Pada masa seperti inilah kemudian muncul seorang intelektual
Muslim terkemuka dalam bidang etika, bernama Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin
Yaqub Miskawayh atau lebih dikenal Ibn Miskawayh. Ia lahir pada 940 M di Rayy,
sebuah kota yang berada di Iran. Hingga beranjak dewasa, ia habiskan waktunya
di tanah kelahirannya.
Kemudian Ibn Miskawayh meninggalkan kota kelahirannya menuju
Baghdad, Irak. Ia bekerja sebagai pustakawan di perpustakaan umum pada masa
pemerintah dinasti Abasid.
Ia bekerja di sana hingga beberapa kali pergantian kekuasaan
terjadi. Perpustakaan bagi dirinya merupakan sekolah yang membuatnya mampu berinteraksi
dengan berbagai ilmu pengetahuan.
Ia secara tekun dan serius melakukan kajian di bidang filsafat,
sejarah dan kedokteran, bahkan kimia. Di antara kajian yang menjadi perhatian
utamanya adalah filsafat Yunani dan sejarah. Kedua kajian inilah di kemudian
hari mengantarnya menjadi intelektual yang mengagumkan dalam kedua bidang
tersebut.
Seperti ilmuwan yang hidup di zamannya, Ibn Misakawayh
mempelajari filsafat dan sejarah sebagai alat untuk menemukan kebanaran. Namun,
ia lebih memberi tekanan kepada kajian filsafat terutama filsafat etika. Ia
merumuskan langkah bagaimana membangun moral yang sehat serta menguraikan
cara-cara membangun jiwa yang harmonis.
Di kemudian hari ia lebih dikenal sebagai seorang Islam
humanis. Pasalnya ia memiliki kecenderungan agar Islam dapat masuk ke dalam
sistem praktik rasional yang lebih luas pada semua ranah kemanusiaan. Dengan
kajian filsafat Yunani ia kemudian terpengaruh oleh pemikiran Neoplatonisme
baik pada sisi teori maupun praktik.
Label humanis bagi Ibn Miskawayh juga disematkan oleh
kalangan pemikir Muslim, misalnya, Mohamed Arkoun pada 1969 menyematkan label
terhadap dirinya sebagai seorang humanis. Namun hal ini dilihat dalam sudut
pandang tradisi intelektual Islam, bukan dalam tradisi intelektual humanisme
Eropa.
Dalam kajian filsafat etika, Ibn Miskawayh menelurkan karya
monumental yaitu Tahdib al-Akhlaq (pembinaan akhlak). Dalam kitab yang terdiri
atas tujuh bagian ini, secara umum ia membicarakan bagaimana seseorang dapat
mencapai kebahagiaan tertinggi melalui moral yang sehat.
Hal ini menggambarkan bagaimana berbagai bagian jiwa
diharmonikan untuk mencapai kebahagiaan. Ini adalah peran filsuf moral atau
etika memberikan resep bagi kesehatan moral yang berpijak pada kombinasi
pengembangan intelektual dan praktik keseharian.
Pada bagian awal dalam kitabnya, ia membicarakan tentang
jiwa dan sifat-sifatnya.
Seseorang akan mampu menggapai kebahagiaan hidup jika ia
mampu menciptakan kebahagiaan moral dengan memenuhi sifat-sifat jiwa. Di
antaranya adalah kedahagaan jiwa terhadap asupan ilmu.
Ibn Miskwayh memandang bahwa ilmu akan menuntun manusia
untuk tak hanya bergantung kepada hal yang bersifat materi. Selanjutnya akan
membuat manusia memiliki kebijaksanaan dalam meniti hidup yang akhirnya
menjadikannya sebagai manusia yang sempurna. Itulah, kata Miskawayh, salah satu
sifat yang dimiliki oleh jiwa.
Dalam penjelasan berikutnya, ia menguraikan tentang jenis
kebahagiaan dan sifat-sifat yang dimilikinya. Dalam pandangannnya, setiap manusia
mampu mencapai setiap jenis kebahagiaan dengan cara memenuhi sifat-sifat
kebahagiaan itu. Ada dua hal yang dapat mempengaruhi manusia dalam mencapai
kebahagiaan itu, yaitu kondisi eskternal dan internal dirinya.
Kondisi internal yang mempengaruhi pemikiran dan arah moral
seseorang adalah kesehatan tubuh dan bagaimana kemampuan dirinya mengendalikan
temperamen.
Sedangkan kondisi eskternal adalah keadaan yang terkait
dengan hubungan dirinya dengan orang lain serta lingkungan di sekitarnya. Di
dalamnya termasuk, teman sepergaulan, anak-anaknya dan kesejahteraan dirinya.
Kedua kondisi inilah yang kemudian memperkaya jiwanya dalam
mencapai kebahagiaan dirinya. Selain Tahdib al-Akhlaq, ia juga menulis kitab yang
bertajuk Jawidan Khirad (hikmah yang tak lekang waktu) dan Tartib as-Saadah (kaidah
kebahagiaan). Karya-karya tersebut mendapatkan pujian besar dari para ilmuwan barat
dan dianggap sebagai karya yang dapat disejajarkan dengan Nicomachean Ethics
karya Aristoteles.
Ia juga menuliskan karya lain di bidang etika yaitu al-Fauz
al-Akbar (kemenangan besar), al-Fauz al-asghar (kemenangan kecil) dianggap
sebagai karya filsafat yang sejajar dengan karya Al-Farabi, Arau Ahl al-madinah
(pikiran penduduk kota). Kemudian Ajwibah wa al-Asilah fi an-Nafs wa al-Aql
as-Siyar (tentang aturan hidup) dan Taharat an-Nafs (suci dari nafsu).
Sementara itu, dalam kajian sejarah Ibn Miskawayh menelurkan
pula karya monumental.
Salah satu karyanya adalah Tajarib al-Umam (pengalaman
bangsa-bangsa), dianggap karyanya yang terbaik dalam bidang sejarah. Meski tak banyak,
dalam bidang kedokteran ia menghasilkan karya yang bertajuk al-Asyribah, merupakan
kajian tentang minuman dan pengaruhnya terhadap kesehatan.
Setelah lama ia berada di Baghdad untuk belajar dan bekerja dengan
berbagai karya gemilangnya, Ibn Miskawayh kemudian kembali ke Iran, tepatnya ke
Kota Isfahan.
Beberapa lama setelah kepulangan ke negerinya sendiri, Ibn
Miskawayh menghembuskan napasnya yang terakhir pada 16 Februari 1030 M dalam usia
90 tahun. [republika.co.id]
Tag :
Tokoh
0 Komentar untuk "Ibn Miskawayh Tokoh Filsafat dan Sejarah"