ABDUL QAHHAR MUDZAKKAR (Mantan Pejuang 45, Pemimpin Gerakan Separatis)
Nama Abdul Qahhar Mudzakar lebih dikenal sebagai sosok pemberontak.
Namun apabila kita mencermati lebih dalam latar belakang di balik sikap politiknya,
kita akan tahu bahwa dia adalah "korban" di balik proses alamiah
pembentukan tentara sebagai organisasi yang profesional.
Nasibnya seolah mewakili nasib orang-orang daerah yang tidak
bisa menentukan nasib sendiri.
Qahhar lahir tanggal24 Maret 1921 di Kampung Lanipa, distrik
Ponrang. Ayahnya bernama Malinrang, keturunan bangsawan yang cukup kaya dan terpandang.
Setelah tamat sekolah rakyat di Lanipa, Qahhar melanjutkan studi ke Jawa. Ia
memilih Solo dan masuk Sekolah Muallimin yang dikelola Muhammadiyah.
Masa studinya hanya berjalan tiga tahun (1938-1941), kemudian
terputus karena ia terpikat dengan perempuan asal Solo yang lalu dinikahinya.
Ia kembali ke Lanipa. Keluarga besarnya gempar karena ia membawa
istri orang Jawa. Di kampong halaman, Qahhar aktif dalam organisasi kepanduan yang
berafiliasi dengan Muhammadiyah, yaitu Hizbul Wathan.
Jepang masuk ke Indonesia, dan Qahhar tertular eforia yang
berharap Jepang bisa membebaskan Indonesia dari Belanda. Begitu bersemangatnya, sarnpai ia rela naik sepeda ke
Rappang hanya untuk bertemu pemimpin pasukan Jepang. Singkatnya, ia berhasil rnenarik hati para saudara
tua.
Selama pendudukan Jepang di Sulawesi Selatan, ia bekerja sebagai pegawai Nippon Dohopo di
Makassar.
Namun di tengah keluarga
besar, sikap Qahhar yang anti-feodal membuatnya tersingkir. Ia dituduh memicu permusuhan di
kalangan kaum bangsawan Luwu, sehingga dikenai hukuman ri-paoppangi tana, atau diusir dari Palopo,
tanah kelahirannya. Qahhar pun kembali ke Solo untuk rnendirikan perusahaan dagang dengan nama Usaha
Semangat Muda. Ia meluaskan usahanya sampai ke Jakarta dengan mendirikan Toko Luwu. Di tokonya
ini, Qahhar beberapa kali mengadakan pertemuan politik.
Pasca proklamasi, Qahhar mendirikan Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi
(GEPIS) yang lalu berubah menjadi Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS),
bagian dalam Angkatan Pemuda Indonesia (API). Qahhar bersama API ikut terlibat
dalam rapat besar Ikada, Jakarta, 19 September 1945. Dalam rapat raksasa yang bersejarah itu,
Qahhar bersenjatakan sebilah golok membela Soekarno dan Hatta dari kepungan tentara
Jepang.
Dalam perkembangannya, APIS meleburkan diri ke dalam usaha
perlawanan secara fisik menentang kembalinya penjajah, dengan nama Kebaktian
Rakyat Indonesia (KRIS). Daerah operasinya mencakup Karawang, Subang,
Tangerang, beberapa daerah di Jawa Tengah serta Jawa Timur.
Qahhar tidak bertahan lama di KRIS. Sejak awal pembentukan KRIS
di Jakarta pada tahun 1945, Qahhar sudah menunjukkan ketidaksetujuannya. Tapi, bersama KRIS
ia sempat berperan membebaskan 800 tahanan di Nusakambangan, sebagian besar adalah laskar yang
berasal dari Bugis-Makassar. Laskar ini kemudian diberi pelatihan militer di
Pingit, Yogyakarta, dan menjadi bagian Angkatan Perang RI yang diperbantukan
pada Markas Besar Tentara.
Karir militer Qahhar mulai cerah ketika ia ditugaskan menjadi
Komandan Persiapan TRI (Tentara Republik Indonesia) di Sulawesi. Kesatuan tentara
di luar Jawa disatukan dalam Brigade XVI. Masalah mulai muncul ketika ia mulai
tersingkir oleh perwira-perwira yang memang mempunyai pendidikan formal dan
kemampuan teknis militer yang memadai, walaupun mereka kurang memiliki kharisma
di kalangan prajurit. Bagaimanapun Qahhar adalah tentara yang lahir karena
proses "kebetulan", walaupun pengaruhnya sangat kuat di antara anak
buahnya.
Qahhar hanya diposisikan menjadi orang kedua dalam brigade ini.
Dari pengangkatan Letkol J.F Warouw sampai Letkol Lembong sebagai pemimpin
brigade, Qahhar menolak mengakui mereka. Bahkan ia memberi instruksi untuk
tidak berhubungan mereka "jika tidak seizin atau persetujuannya".
Selain masalah popularitas di kalangan para prajurit, konon
pertentangan itu juga dilatarbelakangi oleh persaingan etnis. Qahhar merasa
orang-orang Manado-Minahasa yang menjadi anak emas dalam kemiliteran yang formal.
Kebetulan kedua letkol itu memang berasal dari Minahasa. Qahhar pun melepaskan jabatannya
sebagai wakil komandan Brigade XVI. Ia diberi tugas membentuk Komando Seberang yang
meliputi Kalimantan, Sunda Kedl, Maluku, dan Sulawesi. Pimpinan Komandan Grup
Seberang lalu diserahkan padanya. Kesatuan inilah yang kemudian menjadi basis
kekuatannya dalam gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan.
Ketika kedudukan Komandan Grup Seberang dihapuskan, Qahhar
menjadi perwira tanpa jabatan.
Ia sempat ditugaskan ke Sulawesi Selatan, 1950. Sejak saat itu ia tidak
pernah lagi kembali dalam lingkungan angkatan perang Republik Indonesia. Ia
memutuskan untuk menempuh jalannya sendiri, ketika . merasa semua
pengabdiannya tidak mendapat balasan sepadan.
Kemarahan makin memuncak saat pemerintah Soekarno menolak
masyarakat Bugis-Makasar untuk bergabung dengan angkatan perang RI dalam suatu kesatuan yang
mandiri bernama Hasanuddin, pahlawan kebanggaan mereka. Pada tahun 1952, Qahhar membentuk
brigadenya sendiri. 7 Agustus 1953, secara resmi Qahhar menggabungkan kekuatannya dengan
Kartosoewirjo yang memiliki basis pengikut di Jawa Barat. Qahhar dan para
pengikut fanatiknya pun menjadi bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
(DIjTII).
Pada paruh pertama dekade 1950-an, gerakan separatisme yang dipimpin
Qahhar di Sulawesi Selatan sempat menyulitkan aparat keamanan RI. Tapi seiring
berjalannya waktu, kekuatan Qahhar makin melemah. Namun ia tetap bertahan di
hutan belantara dan tak mau menyerah.
Menurut Anhar Gonggong, pemberontakan Qahhar, dalam setiap babak
memiliki tipikal yang berbeda. Periode 1950-1952, merupakan wujud dari akumulasi
kekecewaan yang dialami Qahhar. Mulai 1953 hingga kematiannya, pemberontakan
Qahhar sudah dilandasi oleh semangat keagamaan Islam.
Bersama Kartosoewirjo dan Daud Beureuh, ia menjadi ikon gerakan
separatis yang bernuansa agama Islam. Qahhar juga menjadi simbol resistensi
daerah terhadap dominasi pusat, yang pernah menjadi ancaman serius bagi
perpecahan bangsa pada decade 50-an.
Pemberontakan Qahhar yang melibatkan 15.000 pengikut itu berakhir
dengan kematian Qahhar pada tanggal 2 Februari 1965. Qahhar, presiden/khalifah Republik
Persatuan Islam Indonesia (RPII), tewas ditembak Kopral Sadeli dari Divisi
Siliwangi di pinggir Sungai Lasalo.
0 Komentar untuk "Abdul Qahhar Mudzakkar"