Aktivis Indonesia - Imam
Al Baihaqi bernama lengkap Imam Al-Hafith
Al-Mutaqin Abu Bakr Ahmed ibn Al-Hussein ibn Ali ibn Musa Al Khusrujardi
Al-Baihaqi, adalah seorang ulama besar dari Khurasan (desa kecil di pinggiran
kota Baihaq) dan penulis banyak buku terkenal.
Masa
pendidikannya dijalani bersama sejumlah ulama terkenal dari berbagai negara, di
antaranya Iman Abul Hassan Muhammed ibn Al-Hussein Al Alawi, Abu Tahir
Al-Ziyadi, Abu Abdullah Al-Hakim, penulis kitab "Al Mustadrik of Sahih
Muslim and Sahih Al- Bukhari", Abu Abdur-Rahman Al-Sulami, Abu Bakr ibn
Furik, Abu Ali Al-Ruthabari of Khusran, Halal ibn Muhammed Al-Hafaar, dan Ibn
Busran.
Para
ulama itu tinggal di berbagai tempat terpencar. Oleh karenanya, Imam Baihaqi
harus menempuh jarak cukup jauh dan menghabiskan banyak waktu untuk bisa
bermajelis dengan mereka. Namun, semua itu dijalani dengan senang hati, demi
memuaskan dahaga batinnya terhadap ilmu Islam.
As-Sabki
menyatakan: "Imam Baihaqi merupakan satu di antara sekian banyak imam terkemuka
dan memberi petunjuk bagi umat Muslim. Dialah pula yang sering kita sebut sebagai
'Tali Allah' dan memiliki pengetahuan luas mengenai ilmu agama, fikih serta penghapal
hadits."
Abdul-Ghaffar
Al-Farsi Al-Naisabouri dalam bukunya "Thail Tareekh Naisabouri": Abu Bakr
Al-Baihaqi Al Hafith, Al Usuli Din, menghabiskan waktunya untuk mempelajari beragam
ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya. Dia belajar ilmu aqidah dan bepergian
ke Irak serta Hijaz (Arab Saudi) kemudian banyak menulis buku.
Imam
Baihaqi juga mengumpulkan Hadits-hadits dari beragam sumber terpercaya.
Pemimpin
Islam memintanya pindah dari Nihiya ke Naisabor untuk tujuan mendengarkan penjelasannya
langsung dan mengadakan bedah buku. Maka di tahun 441, para pemimpin Islam itu
membentuk sebuah majelis guna mendengarkan penjelasan mengenai buku 'Al Ma'rifa'.
Banyak imam terkemuka turut hadir.
Imam
Baihaqi hidup ketika kekacauan sedang marak di berbagai negeri Islam. Saat itu kaum
Muslim terpecah-belah berdasarkan politik, fikih, dan pemikiran. Antara
kelompok yang satu dengan yang lain berusaha saling menyalahkan dan
menjatuhkan, sehingga mempermudah musuh dari luar, yakni bangsa Romawi, untuk
menceraiberaikan mereka.
Dalam
masa krisis ini, Imam Baihaqi hadir sebagai pribadi yang berkomitmen terhadap ajaran
agama. Dia memberikan teladan bagaimana seharusnya menerjemahkan ajaran Islam
dalam perilaku keseharian.
Sementara
itu, dalam Wafiyatul A'yam, Ibnu Khalkan menulis, "Dia hidup zuhud, banyak
beribadah, wara', dan mencontoh para salafus shalih."
Beliau
terkenal sebagai seorang yang memiliki kecintaan besar terhadap hadits dan
fikih.
Dari
situlah kemudian Imam Baihaqi populer sebagai pakar ilmu hadits dan fikih.
Setelah
sekian lama menuntut ilmu kepada para ulama senior di berbagai negeri Islam, Imam
Baihaqi kembali lagi ke tempat asalnya, kota Baihaq. Di sana, dia mulai menyebarkan
berbagai ilmu yang telah didapatnya selama mengembara ke berbagai negeri Islam.
Ia mulai banyak mengajar.
Selain
mengajar, dia juga aktif menulis buku. Dia termasuk dalam deretan para penulis buku
yang produktif. Diperkirakan, buku-buku tulisannya mencapai seribu jilid. Tema yang
dikajinya sangat beragam, mulai dari akidah, hadits, fikih, hingga tarikh.
Banyak ulama yang hadir lebih kemudian, yang mengapresiasi karya-karyanya itu.
Hal itu lantaran pembahasannya yang demikian luas dan mendalam.
Meski
dipandang sebagai ahli hadits, namun banyak kalangan menilai Baihaqi tidak cukup
mengenal karya-karya hadits dari Tarmizi, Nasa'i, dan Ibn Majah. Dia juga tidak
pernah berjumpa dengan buku hadits atau Masnad Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali).
Dia
menggunakan Mustadrak al-Hakim karya Imam al-Hakim secara bebas.
Menurut
ad-Dahabi, seorang ulama hadits, kajian Baihaqi dalam hadits tidak begitu besar,
namun beliau mahir meriwayatkan hadits karena benar-benar mengetahui sub-sub bagian
hadits dan para tokohnya yang telah muncul dalam isnad-isnad (sandaran : rangkaian
perawi hadits).
Di
antara larya-karya Baihaqi, Kitab as-Sunnan al-Kubra yang terbit di Hyderabat,
India, 10 jilid tahun 1344-1355, menjadi karya paling terkenal. Buku ini pernah
mendapat penghargaan tertinggi.
Dari
pernyataan as-Subki, ahli fikih, usul fikih serta hadits, tidak ada yang lebih
baik dari kitab ini, baik dalam penyesuaian susunannya maupun mutunya.
Dalam
karya tersebut ada catatan-catatan yang selalu ditambahkan mengenai nilai-nilai
atau hal lainnya, seperti hadits-hadits dan para ahli hadits. Selain itu,
setiap jilid cetakan
Hyderabat
itu memuat indeks yang berharga mengenai tokoh-tokoh dari tiga generasi pertama
ahli-ahli hadits yang dijumpai dengan disertai petunjuk periwayatannya.
Itulah
di antara sumbangsih dan peninggalan berharga dari Imam Baihaqi. Dia mewariskan
ilmu-ilmunya untuk ditanamkan di dada para muridnya. Di samping telah pula
mengabadikannya ke dalam berbagai bentuk karya tulis yang hingga sekarang pun tidak
usai-usai juga dikaji orang.
Imam
terkemuka ini meninggal dunia di Nisabur, Iran, tanggal 10 Jumadilawal 458 H (9
April 1066). Dia lantas dibawa ke tanah kelahirannya dan dimakamkan di sana.
Penduduk
kota Baihaq berpendapat, bahwa kota merekalah yang lebih patut sebagai tempat
peristirahatan terakhir seorang pecinta hadits dan fikih, seperti Imam Baihaqi.
Sejumlah
buku penting lain telah menjadi peninggalannya yang tidak ternilai. Antara lain
buku "As-Sunnan Al Kubra", "Sheub Al Iman", "Tha La'il
An Nabuwwa", "Al Asma wa As Sifat", dan "Ma'rifat As Sunnan
cal Al Athaar". (yus)[republika.co.id]
Tag :
Tokoh
0 Komentar untuk "Imam Al Baihaqi (Ulama Besar dari khurasan)"