Aktivis Indonesia - Dalam
sejarah Indonesia, Laksamana Sam Po Kong dikenal dengan nama Zheng He, Cheng
Ho, Sam Po Toa Lang, Sam Po Thay Jien, Sam Po Thay Kam, dan lain-lain.
Laksamana
Sam Po Kong berasal dari bangsa Hui, salah satu bangsa minoritas Tionghoa. Laksamana
Cheng Ho adalah sosok bahariawan muslim Tionghoa yang tangguh dan berjasa besar
terhadap pembauran, penyebaran, serta perkembangan Islam di Nusantara.
Cheng
Ho (1371 - 1435) adalah pria muslim keturunan Tionghoa, berasal dari propinsi Yunnan
di Asia Barat Daya. Ia lahir dari keluarga muslim taat dan telah menjalankan ibadah
haji yang dikenal dengan haji Ma.
Konon,
pada usia sekitar 10 tahun Cheng Ho ditangkap oleh tentara Ming di Yunnan. Pangeran
dari Yen, Chung Ti, tertarik melihat Cheng Ho kecil yang pintar, tampan, dan taat
beribadah. Kemudian ia dijadikan anak asuh. Cheng Ho tumbuh menjadi pemuda pemberani
dan brilian. Di kemudian hari ia memegang posisi penting sebagai Admiral Utama
dalam angkatan perang.
Pada
saat kaisar Cheung Tsu berkuasa, cheng Ho diangkat menjadi admiral utama armada
laut untuk memimpin ekspedisi pertama ke laut selatan pada tahun 1406. Sebagai admiral,
Cheng Ho telah tujuh kali melakukan ekspedisi ke Asia Barat Daya dan Asia Tenggara.
Selama 28 tahun (1405 - 1433 M) Cheng Ho telah melakukan pelayaran muhibah ke
berbagai penjuru dunia dengan memimpin kurang lebih 208 kapal berukuran besar,
menengah, dan kecil yang disertai dengan kurang lebih 27.800 awak kapal. Misi muhibah
pelayaran yang dilaksanakan oleh Laksamana Cheng Ho bukan untuk melaksanakan
ekspansi, melainkan melaksanakan misi perdagangan, diplomatik, perdamaian, dan
persahabatan. Ini merupakan pelayaran yang menakjubkan, berbeda dengan
pengembaraan yang dilakukan oleh pelaut Barat seperti Cristopherus Colombus, Vasco
da Gamma, atau pun Magelhaes.
Sebagai
bahariawan besar sepanjang sejarah pelayaran dunia, kurang lebih selama 28 tahun
telah tercipta 24 peta navigasi yang berisi peta mengenai geografi lautan.
Selain itu, Cheng Ho sebagai muslim Tiong Hoa, berperan penting dalam
menyebarkan agama Islam di Nusantara dan kawasan Asia Tenggara.
Pada
perjalanan pelayaran muhibah ke-7, Cheng Ho telah berhasil menjalankan misi kaisar
Ming Ta'i-Teu (berkuasa tahun 1368 - 1398), yaitu misi melaksanakan ibadah haji
bagi keluarga istana Ming pada tahun 1432 - 1433. Misi ibadah haji ini sengaja dirahasiakan
karena pada saat itu, bagi keluarga istana Ming menjalankan ibadah haji secara
terbuka sama halnya dengan membuka selubung latar belakang kesukuan dan agama.
Untuk
mengesankan bahwa pelayaran haji ini tidak ada hubungannya dengan keluarga istana,
sengaja diutus Hung Pao sebagai pimpinan rombongan. Rombongan haji itu tidak diikuti
oleh semua armada dalam rombongan ekspedisi ke-7. Rombongan haji ini berangkat
dari Calleut (kuli, kota kuno) di India menuju Mekkah (Tien Fang).
Demikianlah
misi perjuangan dan misi rahasia menunaikan ibadah haji yang dijalankan Cheng
Ho, dan misi tersebut berhasil. Akan tetapi Cheng Ho merasa sedih karena tidak bisa
bebas berlayar menuju tanah leluhurnya, Mekkah, untuk beribadah haji dan berziarah
ke makam Nabi Muhammad SAW. Sebelumnya, pada ekspedisi ke-5, armada Cheng Ho
telah berhasil mencapai pantai timur Afrika dalam waktu tiga tahun. Dalam kesempatan
tersebut, armada Cheng Ho berkunjung ke kerajaan di Semenanjung Arabiah dan
menunaikan panggilan Allah ke mekkah.
Sejarah
tentang perjalanan muhibah Cheng Ho, hingga saat ini masih tetap diminati oleh berbagai
kalangan, baik kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya, maupun masyarakat
keturunan Tionghoa. Chneg Ho telah menjadi duta pembauran negeri Tiongkok untuk
Indonesia yang diutus oleh kaisar Dinasti Ming pada tahun Yong Le ke-3 (1405).
Dalam tujuh kali perjalanan muhibahnya ke Indonesia, Laksamana Cheng Ho berkunjung
ke Sumatera dan Pulau Jawa sebanyak enam kali.
Kunjungan
pertama adalah ke Jawa, Samudera Pasai, Lamrbi (Aceh Raya), dan Palembang.
Sebagian besar daerah yang pernah dikunjungi Cheng Ho menjadi pusat dagang dan
dakwah, diantaranya Palembang, Aceh, Batak, Pulau Gresik, Semarang (di sekitar
Gedong Batu), Surabaya, Mojokerto, Sunda Kelapa, Ancol, dan lain-lain. Gerakan dakwah
pada masa itu telah mendorong kemajuan usaha perdagangan dan perekonomian di
Indonesia.
Dalam
perjalanan muhibahnya, setiap kali singgah di suatu daerah ia banyak menciptakan
pembauran melalui bidang perdagangan, pertanian, dan peternakan. Misi muhibah
yang dilakukan Cheng Ho memberikan mamfaat yang besar bagi negeri yang
dikunjunginya. [Majalah Percikan Iman No. 9 Tahun II September 2001] Malik bin
Nabi Banyak pemikir Islam yang menuangkan buah pemikirannya demi kejayaan
kembali peradaban Islam. Apalagi banyak negeri-negeri yang berpenduduk
mayoritas Islam mengalami penjajahan sehingga dapat merusak tatanan kehidupan
masyarakat Islam di negeri tersebut.
Pasalnya,
para bangsa penjajah itu secara sistematik merombak semua peradaban yang ada.
Mereka telah memiliki nilai sendiri dan berusaha menanamkannya pada masyarakat Islam
yang mereka jajah. Tak heran jika peradaban para imperialis tertinggal dan
menjadi pijakan masyarakat meski bertentangan arus dengan peradaban agamanya.
Salah
satu pemikir Islam yang hidup dan mengamati kondisi keterpurukan dan ketimpangan
sebagai akibat imperialisme adalah Malik bin Nabi. Ia begitu gigih memberikan
gagasan membangun kembali peradaban Islam yang tak jarang terurai akibat imperialisme
yang mendera negeri-negeri Muslim tersebut. Malik memiliki nama lengkap Malik
bin el-Haj Umar binel-Hadlari bin Mustofa bin Nabi. Ia dilahirkan pada 2 Januari
1905, di Kota Konstantin, Aljazair. Hingga sekolah menengah ia tetap berada di kota
kelahirannya dan mulai tertarik mengamati segala peristiwa yang ada di
sekitarnya.
Setelah
menamatkan sekolah menengah, ia kemudian melanjutkan studinya di Paris, Prancis.
Di negeri ini, ia berhasil meraih gelar insinyur di bidang elektro pada 1935.
Usai menamatkan pendidikannya itu rupanya ia tak langsung kembali ke negeri
asalnya, namun berkeliling ke negara-negara Islam.
Beragam
kejadian ia saksikan, misalnya ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang
terjadi dalam tatanan kehidupan masyarakat di negara yang ia singgahi karena adanya
penjajahan atau imperialisme. Sementara di negeranya sendiri, Aljazair, juga serupa
juga sempat terjadi.
Pada
masa imperialisme, dunia Islam mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Malik
bin Nabi menggambarkan penderitaan ini sebagai penyakit kronik yang tak bisa disembuhkan
lagi. Namun sayangnya, umat Islam seringkali tak sadar akan penyakit yang
dideritanya itu.
Melalui
pengalaman inilah kemudian ia menganggap fenomena kehidupan adalah sebagai proses
untuk memahami peradaban. Pengamatannya yang tersimpan dalam benaknya selama
ini kemudian mendorongnya untuk menggagas metodologi peradaban.
Buah
pikirannya kemudian ia tuangkan dalam bukunya di bawah seri 'Musykilay Al- Hadharat'
atau Problem Peradaban. Dalam karyanya itu, ia menyatakan bahwa peradaban berjalan
laiknya matahari. Ia mengitari bumi di atas cakrawala setiap bangsa Timur dan Barat.
Siapa
yang mampu menangkap momentum dan menggunakan kesempatan, merekalah yang akan
mewarnai peradaban. Ia bahkan menyanggah kalangan seiman yang meyakini bahwa
kemajuan dan kemunduran adalah sebuah takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan.
Dalam
bukunya, Membangun Dunia Baru Islam, terbitan Mizan, tahun 1994, pemikir yang
seringkali disebut sebagai pewaris pemikiran sejarawan besar Ibn Khaldun ini, memaparkan
bahwa untuk membangun kebangkitan umat dari keterbelakangan, hal yang perlu
diperhatikan adalah faktor manusia, tanah (materi) dan waktu melalui pendekatan
analisis budaya yang diuraikan secara filosofis.
Berpijak
pada pemikirannya ini kemudian Muslim dapat menyimak bagaimana sebaiknya umat
Islam membangun peradaban barunya. Setelah umat mengalami masa-masa keterbelakangan
akibat penjajahan. Dengan bekal ilmu eksakta yang dimiliki, tak heran jika
analisis Malik bin Nabi terhadap sejarah dan masa depan umat menjadi unik.
Pasalnya,
teori yang ia kembangkan banyak yang berpijak pada rumus-rumus matematika dan
fisika.
Ia
menyatakan pula, dalam pandangam Islam lahirnya peradaban digerakkan oleh turunnya
wahyu dari Tuhan. Wahyu itulah yang menjadi pedoman bagi manusia untuk menempuh
jalan terbaik. Dari sinilah kemudian akan muncul sebuah peradaban umat yang
baik dan paripurna.
Sejarah
memperlihatkan, sebelum datangnya Islam bangsa Arab merupakan bangsa yang buta
akan makna hidup serta tak mampu menggunakan potensi kemanusiaanya secara baik.
Demikian pula dengan alam serta waktu yang mereka miliki, tak dapat menciptakan
sebuah peradaban.
Islam
kemudian datang, lalu ketiga unsur itu berkembang dalam sanubari mereka dan akhirnya
mampu membentuk peradaban baru. Perintah membaca (iqra) mampu membangkitkan
kesadaran mereka untuk hidup menjadi manusia sejati. Mereka juga kemudian
menyadari akan alamnya, karena dalam kitab sucinya memberikan arahan untuk memikirkan
alam di sekitarnya.
Kegigihan
Malik bin Nabi membangun peradaban umat telah menciptakan analisa yang lengkap
tentang jatuh bangunnya peradaban. Ia mengungkapkan bahwa peradaban tak terikat
dengan takdir, tetapi tergantung pada sikap manusia sendiri.
Di
sisi lain, kebudayaan manusia harusnya dapat bersumbangsih bagi peradaban
manusia secara keseluruhan. Di mana sandaran utamanya adalah terciptanya trans
peradaban antarbangsa yang sempat terputus. Guna membangunnya kembali perlu
dibentuk proyek Islamic Commonwealth atau Persemakmuran Islam.
Malik
membagi persemakmuran itu menjadi dunia Islam Afrika, Arab, Iran (Paris, Pakistan
dan Afghanistan) dan dunia Islam Malaysia (Indonesia, dan Melayu. Dunia Islam
Cina dan dunia Islam Eropa-Amerika.
Dalam
sejarah pemikiran Islam kontemporer, Malik bin Nabi dikenal memiliki alur pemikiran
yang sama dengan Jamaluddin Al-Afghani, Muhamad Abduh, Rosyid Ridha, maupu
Thantawi Jauhari, yang bisa mengaitkan antara Islam realitas dan Islam tradisional.
Buah
pikirnya yang memiliki nuansa politik, budaya, ekonomi maupun sosial menjadi tawaran
alternatif dalam memecahkan masalah yang tengah dihadapi oleh dunia Islam. Bahkan
negara Barat juga tertarik dengan pemikiran-pemikiran tajamnya.
Pada
1956, Malik bin Nabi singgah di Mesir. Departemen Penerangan Mesir kala itu memberikan
kesempatan kepada Malik bin Nabi untuk menerjemahkan buku karyanya yang
sebagian besar masih tertulis dalam bahasa Prancis ke dalam bahasa Arab. Tujuh tahun
kemudian, 1963, ia kembali ke kampung halamannya dan dipercaya menjadi Direktur
Utama Perguruan Tinggi Al-Jazair.
Hanya
empat tahun ia menduduki jabatan tersebut. Setelah undur diri ia lebih banyak berkonsentrasi
dalam kerja intelektual dan menjadi pembicara dalam berbagai seminar, baik di
dalam maupun luar negeri. Ia telah lakukan sebuah upaya besar berupa jihad intelektual
demi majunya kembali peradaban Islam. Pada 31 Oktober 1973 Malik bin Nabi
kembali ke haribaan Allah SWT untuk selama-lamanya. [republika.co.id]
Tag :
Tokoh
0 Komentar untuk "Meneladani sosok Laksamana Cheng Ho"