Syekh Ahmad Khatib


Syekh Ahmad Khatib adalah seorang ulama besar di Indonesia. Walaupun namanya kurang begitu familiar di telinga kita, peranan beliau cukup sentral dalam perjalanan sejarah perjuangan umat Islam Indonesia, terutama pada dua dasawarsa terakhir abad ke- 19 dan 10-15 tahun pertama abad ke-20.

Beliau dilahirkan di Ranah Minang, tepatnya di Bukit Tinggi, pada tahun 1855 dari keluarga yang berlatar belakang agama dan adat yang kuat. Ayahnya seorang hakim dari golongan Padri yang sangat menentang keberadaan Belanda di Minangkabau.
Masa kecil Ahmad Khatib dihabiskan untuk belajar dan menuntut ilmu. Pada usia 10 tahun, ia masuk sekolah rendah milik Belanda. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan ke sekolah guru atau kweekschool di Bukit Tinggi. Seperti layaknya anak-anak dari golongan Padri, selain belajar di sekolah formal, ia juga belajar ilmu agama pada pada orang tuanya dan guru mengaji di meunasah (madrasah).
Pada usia 21 tahun, Ahmad Khatib pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama. Di sana ia mendapatkan wawasan baru, tidak hanya ilmu agama, tetapi juga wawasan tentang kondisi dunia Islam yang sedang terpuruk.
Melalui pertemuan dengan jama’ah haji dari seluruh dunia, ataupun melalui dialog dan tukar pikiran dengan guru-guru dan rekan-rekannya, Ahmad Khatib mendapatkan suatu kesadaran akan pentingnya persatuan dan reformasi kesadaran umat dalam mengubah keadaan. Di Mekah, beliau berhasil meraih "puncak karier" sebagai ulama, ia diangkat sebagai imam Madzhab Syafi’i di Masjidil Haram –yang merupakan kedudukan tertinggi dalam otoritas mengajarkan agama- dan berhak menyandang gelar syekh.
Menurut catatan sejarah, Syekh Ahmad Khatib merupakan salah seorang tokoh penting yang memelopori gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, khususnya daerah Minangkabau. Meskipun sampai akhir hayatnya ia tak pernah kembali ke tanah kelahirannya, ia tetap menjalin hubungan yang intens dengan Nusantara melalui orangorang Indonesia yang menunaikan ibadah haji atau pun mereka yang sengaja memperdalam ilmu agama di Mekah.
Banyak murid Syekh Ahmad Khatib yang kemudian menjadi ulama besar Indonesia yang memelopori gerakan pembaharuan agama dan sebagai tokoh perlawanan terhadap Belanda. Mereka menjadi pembaharu-pembaharu pertama di daerahnya, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka), dan Haji Abdulllah Ahmad, serta Kiai Ahmad Dahlan. Sebagian dari murid-muridnya tetap merupakan pemimpin dalam lingkungan tradisi, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli dari Cakung Bukittingi, K.H. Hasjim Asj’ari, Kiai Wahab Hasballah , dan Kiai Bisri Syamsuri, misalnya.
Pada dasarnya ada beberapa faktor yang melatarbelakangi corak pemikiran Syekh ahmad Khatib. Pertama, ia berada di tengah-tengah meningkatnya Islamic Revivalism yang berpusat di Mekah. Kedua, pada masa itu tengah berkembang perasaan anti-kolonialisme di dunia Islam. Posisinya sebagai Imam Madzhab Syafi’i di Masjidil Haram telah memungkinkan ia mentransmisikan pemikiran-pemikiran reformasi Islam kepada muridmuridnya, di samping tentunya pengajaran ilmu-ilmu agama.
Setidaknya ada dua bidang yang menjadi sasaran dari pemikirannnya, yaitu bidang pendidikan/akidah dan bidang politik. Dalam bidang akidah, Syekh Ahmad Khatib banyak menentang praktek-praktek adat dan tingkah laku yang bertentangan dengan ajaran Islam, terutama di daerah Minangkabau sebagai tanah kelahirannya. Hal ini dapat dilihat dari publikasi tulisan-tulisannya, di antaranya tentang salah satu tarekat (Tarekat Naqsabandiyah) di Minangkabau yang banyak bertentangan dengan syari’at Islam, selain itu tentang penolakan terhadap sistem waris adat Minangkabau.
Publikasi tulisan-tulisan tersebut telah membangkitkan semangat dan cita-cita pembaharuan Islam di Minangkabau, yang kemudian merembet ke daerah-daerah lainnya, terutama ke Pulau Jawa.
Di bidang politik, pemikiran Syekh Khatib juga cukup berpengaruh. Menurut Haji Agus Salim, dalam suatu seminar di Cornel University (4 Maret 1953), Syekh Ahmad Khatib adalah seseorang yang anti Belanda. Perasaan itu selalu ia gelorakan kepada muridmuridnya di Mekah. Prinsipnya, "Berperang melawan penjajah adalah jihad di Jalan Allah."
Kebenciannya terhadap Belanda dapat dilihat pada hubungannya yang kurang baik dengan Snouck Hurgronje, ketika ilmuwan dan orientalis Belanda tersebut sedang berada di Mekah pada tahun 1885.
Melihat fakta-fakta tersebut, nyatalah bahwa peranan Syekh Ahmad Khatib tidak bisa dianggap kecil. Meskipun tidak terlibat langsung dalam perlawanan melawan colonial Belanda, pemikiran dan publikasi tulisan-tulisannya telah menjadi "katalisator" bagi gerakan umat Islam dalam menemukan jati dirinya kembali. Pada tahun 1916, beliau wafat di Mekah dalam usia 61 tahun. [Majalah Percikan Iman No. 5 Tahun I November 2000]
Tag : agama, Tokoh
0 Komentar untuk "Syekh Ahmad Khatib"

Back To Top