Aktivis Indonesia - Akhir
abad 18 atau awal abad 19. Dunia Islam tercabik-cabik oleh penjajah. Mesir, Sudan,
Pakistan dan Bangladesh (India), Malaysia, serta Brunei diduduki Inggris. Aljazair,
Tunisia, dan Maroko dijajah Perancis. Italia mendapat bagian Libia. Sedangkan Indonesia
jadi jajahan Belanda.
Sementara
itu, pada waktu yang sama, Kekhalifahan Turki Usmani yang menjadi symbol 'kebesaran'
Islam sudah seperti orang sakit. Daerah kekuasaannya dikapling-kapling oleh bangsa-bangsa
Eropa. Untuk menyelamatkan Turki, Mustafa Kamal Attaturk pada 1923 mengubah
sistem pemerintahan kesultanan menjadi republik yang sekuler. Sejak itu, sistem
kekhalifahan di dunia Islam pun berakhir.
Pada
masa-masa itu, bisa dikatakan merupakan kemunduran dunia Islam. Kemunduran yang
sebenarnya sudah dimulai sekitar enam abad sebelumnya. Yaitu sejak jatuhnya pemerintahan
Islam di Andalusia dan kemudian Kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad oleh
tentara Mongol. Selama itu pula pemikiran Islam juga mengalami kemandegan.
Baru
pada abad ke-19, kondisi itu mencair dengan munculnya para pemikir dan tokoh Islam
yang coba mengelaborasi kembali pemahaman keagamaan yang disesuaikan dengan
perkembangan masyarakat. Nama-nama seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad bin
Abdul Wahab, Sheikh Muhammad Rasyid Ridha, dan Sheikh Muhammad Abduh, menjadi
pelopor kebekuan pemikiran keislaman tersebut.
Sejarah
mencatat, kiprah Muhammad Abduh secara khusus dinilai tidak saja telah membangkitkan
gerakan revolusioner melalui pemikiran-pemikirannya, tapi sekaligus menjadi
cikal bakal dari munculnya faham 'Kiri Islam' dan 'Kanan Islam' melalui
murid-muridnya. Gerakan revolusionernya itu telah membuat takut pemerintah
kolonial.
Munculnya
gerakan perlawanan umat Islam terhadap penjajah Eropa antara lain juga dipengaruhi
oleh pemikiran Abduh.
Abduh,
bernama lengkap Muhammad Abduh bin Hassan Khair Allah, lahir di Desa Mahallat
Nashr, Provinsi Gharbiyah, Mesir, pada 1265 H atau 1849 M. Ia mengenal agama
pertama kali dari dari orangtuanya. Dalam usia belasan tahun, ia sudah hafal
Al- Qur'an dan menguasai seluruh isi kitab suci itu dengan baik. Abduh kemudian
melanjutkan pendidikan formalnya di Thanta, di sebuah lembaga pendidikan Masjid
Al- Ahmad, milik Al-Azhar.
Seorang
gurunya, Sheikh Darwisy, dengan tekun membimbing dan mengajari ilmu dan mengarahkannya
pada kehidupan sufi. Tahun 1871 Abduh bertemu dengan Sayyid Jamaluddin
Al-Afghani. Pertemuan ini mempunyai arti penting bagi perjalanan hidup Abduh
selanjutnya. Pada Jamaluddin ia belajar filsafat, ilmu kalam, ilmu pasti dan
ilmu pengetahuan lain yang juga diperoleh di Al-Azhar.
Metode
diskusi yang diterapkan Jamaluddin menarik minat Abduh. Sementara itu, dalam karirnya,
Abduh pernah menjadi dosen di Al-Azhar, Darul Ulum (kini Universitas Kairo) dan
perguruan bahasa Khedevi. Selain itu, ia juga pernah menjadi Mufti Mesir dan menjabat
sebagai hakim agung. Di bidang jurnalistik, Abduh menjadi salah satu penulis produktif
dan pernah menjadi pemimpin redaksi koran Waqa'i Al Mishriyyah, harian milik pemerintah
yang mengupas persoalan-persoalan sosial, politik, agama, dan negara.
Kiprah
panjangnya baru berakhir pada 1905, ketika Sang Khalik memanggilnya untuk selamanya.
Tag :
Tokoh
0 Komentar untuk "Muhammad Abduh sang pelopor melawan penjajah"