Malik bin Nabi (Jihat Intelektual)


Aktivis Indonesia - Banyak pemikir Islam yang menuangkan buah pemikirannya demi kejayaan kembali peradaban Islam. Apalagi banyak negeri-negeri yang berpenduduk mayoritas Islam mengalami penjajahan sehingga dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat Islam di negeri tersebut.

Pasalnya, para bangsa penjajah itu secara sistematik merombak semua peradaban yang ada. Mereka telah memiliki nilai sendiri dan berusaha menanamkannya pada masyarakat Islam yang mereka jajah. Tak heran jika peradaban para imperialis tertinggal dan menjadi pijakan masyarakat meski bertentangan arus dengan peradaban agamanya.
Salah satu pemikir Islam yang hidup dan mengamati kondisi keterpurukan dan ketimpangan sebagai akibat imperialisme adalah Malik bin Nabi. Ia begitu gigih memberikan gagasan membangun kembali peradaban Islam yang tak jarang terurai akibat imperialisme yang mendera negeri-negeri Muslim tersebut. Malik memiliki nama lengkap Malik bin el-Haj Umar binel-Hadlari bin Mustofa bin Nabi. Ia dilahirkan pada 2 Januari 1905, di Kota Konstantin, Aljazair. Hingga sekolah menengah ia tetap berada di kota kelahirannya dan mulai tertarik mengamati segala peristiwa yang ada di sekitarnya.
Setelah menamatkan sekolah menengah, ia kemudian melanjutkan studinya di Paris, Prancis. Di negeri ini, ia berhasil meraih gelar insinyur di bidang elektro pada 1935. Usai menamatkan pendidikannya itu rupanya ia tak langsung kembali ke negeri asalnya, namun berkeliling ke negara-negara Islam.
Beragam kejadian ia saksikan, misalnya ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang terjadi dalam tatanan kehidupan masyarakat di negara yang ia singgahi karena adanya penjajahan atau imperialisme. Sementara di negeranya sendiri, Aljazair, juga serupa juga sempat terjadi.
Pada masa imperialisme, dunia Islam mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Malik bin Nabi menggambarkan penderitaan ini sebagai penyakit kronik yang tak bisa disembuhkan lagi. Namun sayangnya, umat Islam seringkali tak sadar akan penyakit yang dideritanya itu.
Melalui pengalaman inilah kemudian ia menganggap fenomena kehidupan adalah sebagai proses untuk memahami peradaban. Pengamatannya yang tersimpan dalam benaknya selama ini kemudian mendorongnya untuk menggagas metodologi peradaban.
Buah pikirannya kemudian ia tuangkan dalam bukunya di bawah seri 'Musykilay Al- Hadharat' atau Problem Peradaban. Dalam karyanya itu, ia menyatakan bahwa peradaban berjalan layakknya matahari. Ia mengitari bumi di atas cakrawala setiap bangsa Timur dan Barat.
Siapa yang mampu menangkap momentum dan menggunakan kesempatan, merekalah yang akan mewarnai peradaban. Ia bahkan menyanggah kalangan seiman yang meyakini bahwa kemajuan dan kemunduran adalah sebuah takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan.
Dalam bukunya, Membangun Dunia Baru Islam, terbitan Mizan, tahun 1994, pemikir yang seringkali disebut sebagai pewaris pemikiran sejarawan besar Ibn Khaldun ini, memaparkan bahwa untuk membangun kebangkitan umat dari keterbelakangan, hal yang perlu diperhatikan adalah faktor manusia, tanah (materi) dan waktu melalui pendekatan analisis budaya yang diuraikan secara filosofis.
Berpijak pada pemikirannya ini kemudian Muslim dapat menyimak bagaimana sebaiknya umat Islam membangun peradaban barunya. Setelah umat mengalami masa-masa keterbelakangan akibat penjajahan. Dengan bekal ilmu eksakta yang dimiliki, tak heran jika analisis Malik bin Nabi terhadap sejarah dan masa depan umat menjadi unik.
Pasalnya, teori yang ia kembangkan banyak yang berpijak pada rumus-rumus matematika dan fisika. Ia menyatakan pula, dalam pandangam Islam lahirnya peradaban digerakkan oleh turunnya wahyu dari Tuhan. Wahyu itulah yang menjadi pedoman bagi manusia untuk menempuh jalan terbaik. Dari sinilah kemudian akan muncul sebuah peradaban umat yang baik dan paripurna.
Sejarah memperlihatkan, sebelum datangnya Islam bangsa Arab merupakan bangsa yang buta akan makna hidup serta tak mampu menggunakan potensi kemanusiaanya secara baik. Demikian pula dengan alam serta waktu yang mereka miliki, tak dapat menciptakan sebuah peradaban.
Islam kemudian datang, lalu ketiga unsur itu berkembang dalam sanubari mereka dan akhirnya mampu membentuk peradaban baru. Perintah membaca (iqra) mampu membangkitkan kesadaran mereka untuk hidup menjadi manusia sejati. Mereka juga kemudian menyadari akan alamnya, karena dalam kitab sucinya memberikan arahan untuk memikirkan alam di sekitarnya.
Kegigihan Malik bin Nabi membangun peradaban umat telah menciptakan analisa yang lengkap tentang jatuh bangunnya peradaban. Ia mengungkapkan bahwa peradaban tak terikat dengan takdir, tetapi tergantung pada sikap manusia sendiri.
Di sisi lain, kebudayaan manusia harusnya dapat bersumbangsih bagi peradaban manusia secara keseluruhan. Di mana sandaran utamanya adalah terciptanya trans peradaban antarbangsa yang sempat terputus. Guna membangunnya kembali perlu dibentuk proyek Islamic Commonwealth atau Persemakmuran Islam.
Malik membagi persemakmuran itu menjadi dunia Islam Afrika, Arab, Iran (Paris, Pakistan dan Afghanistan) dan dunia Islam Malaysia (Indonesia, dan Melayu. Dunia Islam Cina dan dunia Islam Eropa-Amerika.
Dalam sejarah pemikiran Islam kontemporer, Malik bin Nabi dikenal memiliki alur pemikiran yang sama dengan Jamaluddin Al-Afghani, Muhamad Abduh, Rosyid Ridha, maupu Thantawi Jauhari, yang bisa mengaitkan antara Islam realitas dan Islam tradisional.
Buah pikirnya yang memiliki nuansa politik, budaya, ekonomi maupun sosial menjadi tawaran alternatif dalam memecahkan masalah yang tengah dihadapi oleh dunia Islam. Bahkan negara Barat juga tertarik dengan pemikiran-pemikiran tajamnya.
Pada 1956, Malik bin Nabi singgah di Mesir. Departemen Penerangan Mesir kala itu memberikan kesempatan kepada Malik bin Nabi untuk menerjemahkan buku karyanya yang sebagian besar masih tertulis dalam bahasa Prancis ke dalam bahasa Arab. Tujuh tahun kemudian, 1963, ia kembali ke kampung halamannya dan dipercaya menjadi Direktur Utama Perguruan Tinggi Al-Jazair.
Hanya empat tahun ia menduduki jabatan tersebut. Setelah undur diri ia lebih banyak berkonsentrasi dalam kerja intelektual dan menjadi pembicara dalam berbagai seminar, baik di dalam maupun luar negeri. Ia telah lakukan sebuah upaya besar berupa jihad intelektual demi majunya kembali peradaban Islam. Pada 31 Oktober 1973 Malik bin Nabi kembali ke haribaan Allah SWT untuk selama-lamanya. [republika.co.id]
Tag : Gerakan, Tokoh
0 Komentar untuk "Malik bin Nabi (Jihat Intelektual)"

Back To Top