Pemerintahan
militeristik, seperti diberlakukan Orde Baru, memiliki kecenderungan untuk
melakukan penyeragaman.
Pemerintah
memang memiliki serangkaian tujuan mulia, namun tujuan dan cara mencapainya dilakukan
secara sepihak. Dalam cara pandang pemerintahan waktu itu, kesuksesan
ditentukan oleh kesatuan dan kepatuhan pada komando yang terpusat. Pada saat
yang sama, pemerintahan yang terpusat tersebut memang telah mengembangkan
sistem perencanaan yang relatif mapan.
Dari
sudut pandang mengendalikan pemerintahan yang terpusat, cara berfikir ini bukan
hanya menjanjikan keberhasilan, namun juga menyediakan kenyamanan tersendiri.
Sepertinya
kita telah hanyut dalam alur berfikir baku, bahwa Indonesia bisa dan perlu diatur
secara seragam. Seolah-olah, keteraturan atau tatanan sistemik mengharuskan
penyeragaman.
Memang,
penyeragaman memudahkan memudahkan komando diberikan dan dipatuhi. Akan tetapi,
negara dan pemerintahan tidak dibuat demi menjamin kemudahan para pejabatnya memegang
jabatan. Keengganan untuk membongkar cara berfikir yang obses dengan keseragaman,
bisa dicurigai sebagai pemelihara naluri otoriter.
Dalam
melakukan penataan pemerintahan, kita berhadapan dengan situasi yang sebaliknya.
Kita terikat dengan ketentuan konstitusi untuk mengelola menjamin
terselenggaranya pemerintahan mengidap situasi paradoksal. Hal ini sebetulnya telah
digariskan oleh the
founding fathers negeri
dalam sesanti: Bhinneka
Tunggal Ika. Dalam
menerapkan sesanti ini, kita diingatkan tidak boleh ada sikap yang mendua, atau
setengahsetengah: tan
hana dharma mangroa.
Untuk itu, dalam penataan pemerintahan di negeri ini kita harus putar otak
keras-keras: thinking
out of the box.
Apakah
situasi paradoksal itu. Di satu sisi, diamanatkan konstitusi agar tata
pemerintahan di negeri ini menjamin kesatuan Indonesia. Hal ini dijabarkan
lebih lanjut dalam doktrin ‘negara
kesatuan’.
7 Di sisi lain, ada keharusan untuk memberlakukan otonomi seluas-luasnya.
Dilepaskan katub otonomi daerah secara besar-besaran melalui UU 22/1999 (yang
kemudian telah beberapa kali direvisi), mau tidak mau membuka katub mobilisasi identitas
lokal. Pemberlakukan otonomi luas telah diikuti dengan menggejalanya lokalisme
yang mengkhawatirkan semangat kesatuan.
Terlepas
dari adanya keinginan untuk mengamputasi ketentuan konstitusi, kita tahu bahwa
ada persoalan mind
set atau cara berfikir yang membelenggu
transformasi bangsa ini menuju tatanan yang diamanatkan konstitusi. Yang
menjadi persoalan sebetulnya bukan keberadaan mind set itu sendiri, melainkan implikasi buruk yang menyertainya.
Kebingungan dan kerancuan
yang
diakibatkan oleh belenggu mind
set ini menjadikan kita (baca: Indonesia)
tidak memiliki infrastruktur pemerintahan yang handal dalam policy-making.
Tag :
Indonesia,
Nasionalis
0 Komentar untuk "Simetrisme: Kemewahan bagi Indonesia"