Asimetri
desentralisasi terasa urgensinya untuk dikembangkan manakala kita berani untuk
memahami dan mengembangkan sistem pemerintahan secara kontekstual. Kalangan
kontekstualist meyakini, context does matter ! Kebijakan publik dapat
berjalan dengan baik kalau konteksnya difahami dan dijadikan basis. Di satu
sisi harus berfikir realistis-kontekstual, di sisi lain ada keperluan untuk melakukan
refleksi secara mendalam, agar tidak terperangkap oleh situasi paradoksal ini.
Hanya saja, tanpa sadar kita lebih subuk dengan aspek ke-ika-an dari pada
kebhinnekaan. Kalaulah di sini istilah asimetri dipakai, penggunaannya adalah
untuk menemukan keterkaitan antara keduanya, bukan sekedar menggeser obsesi
seragam menjadi obsesi beragam.
Untuk
itu digulirkan jargon: ‘NKRI harga mati’. Dibalik jargon itu ada upaya mobilisasi
kesepakatan untuk tidak mengembangkan federalisme. pengelolaan proses
kebijakan. Sebagai contoh, kita tahu bahwa Indonesia adalah negara maritim.
Apakah konteks kemaritiman mendasari imajinasi tentang pemerintahan daerah yang
Berjaya dengan kekuatan maritimnya ? Mari kita cermati apa yang telah terjadi.
Sebagian
besar wilayah Indonesia adalah laut. Klaim sebagai pemilik wilayah laut inipun
didapatkan setelah perjuangan panjang dalam merumuskan UNCLOS (United Nation
Convention of Law of Sea). Repotnya, konteks kemaritiman ini tidak
mewarnai agenda pembangunan negeri ini karena penataan pemerintahan tidak
dipandu oleh konteks maritim ini. Sadar akan pentingnya memahami dan
mengembangkan Indonesia dalam konteks kemaritiman ini, sejumlah pemerintah
daerah yang wilayahnya bersifat kepulauan bekerja sama untuk mengusuljkan
Undangundang
daerah
kepulauan. Ironisnya, ketika mengetahui bersatunya daerah-daerah berkonteks
maritim ini, pemerintah nasional lebih menaruh curigai daripada
mengapresiasinya.
Perdebatan
tentang konteks kemaritiman menjadi tidak konstruktif ketika ujung-ujungnya
yang dibicarakan lebih pada persoalan alokasi fiskal.
Apa
pelajaran dari contoh di atas ? Desentralisasi didudukkan sebagai persoalan
pelimpahan kewenangan, dan kalaulah hal itu dilakukan, tidak disertai dengan
kejelasan arah penggunaan kewenangan itu sendiri. Kekuatan daerah untuk
pengembangan potensi maritim belum dibahas dalam proses desentralisasi, dan kesulitan-kesulitan
mendasar yang dihadapi daerah untuk itupun belum dibahas. Pada akhirnya,
konteks maritim lebih hadir sebagai beban, bukan sebagai basis kemajuan bangsa
ini.
Argumentasi
pemikiran kontekstualist tersebut di atas berseberangan dengan yang diyakini
kalangan textualist yang meyakini bahwa keberhasilan kebijakan publik
ditentukan oleh akurasi rumusan. Setelah kewenangan dibagi-bagi, lalu akan terjadi
perumusan kebijakan. Di asumsikan, ada proses saling mengisi diantara pemangku
kewenangan yang satu dengan pemangku kewenangan yang lain. Yang jelas terjadi
adalah fragmentasi agenda dan arah kebijakan. Dalam buruknya sinkronisasi
kebijakan, yang lebih sering terhadi adalah konflik dan overlap kebijakan.
1.Respon tuntuan daerah untuk memisahkan diri.
2.Apresisai terhadap budaya, termasuk budaya kalangan minoritas.
3.Kesulitan teknokratis suatu (sejumlah) pemerintah daerah.
4.Pengembangan daya saing bangsa.
5.Meminimalisasi resiko, misalnya untuk mengotimalkan pengelolaan
kawasan perbatasan.
Pelajaran
yang kita bisa petik dari identifikasi tersebut di atas adalah bahwa
desentralisasi dilakukan dengan adanya kesadaran akan masalah yang hendak
diatasi, bukan sekedar sebagai persoalan bagi-bagi kewenangan. Desentralisasi
adalah transformasi tata pemerintahan sedemikian sehingga masalah kunci yang
mengganjal, dapat optimal teratasi. Desentralisasi
tidak
dilakukan demi pemerintah, baik pemerintah nasional maupun pemerintah lokal.
Yang jelas, alasan-alasan pemberlakukan asimetri desentralisasi tersebut di
atas ada dan cukup pelik. Sungguhpun demikian, pemikiran desentralisasi di negeri
ini biasanya tidak terlalu terkait upaya untuk mengatasi persoalan-persoalan
spesifik.
Kebiasaan
untuk memikirkan desentralisasi sebagai persoalan bagi-bagi kewenangan memiliki
akibat fatal. Ada asumsi bahwa pembagi-bagian kewenangan akan menjadikan
masalah negeri ini teratasi. Sebagai contoh, peningkatan pendidikan disepakai sebagai
agenda yang luar biasa penting, sampai-sampai Undang-undang Dasar negeri ini
mengharuskan alokasi anggaran sebesar 20% untuk itu. Di sini terjadi situasi
aneh. Karena alokasi anggaran dirumuskan dalam APBN, maka yang berperan penting
adalah pemerintah nasional, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sementara itu, yang kewenangan mengurusi pendidikan bagi sebagian besar anak
didik adalah Dinas Pendidikan, yang notabene bawahan Bupati/Walikota.
Dalam setting seperti ini banyak terjadi mismatch anggaran.
Kabupaten/Walikota
menghadapi anggaran, ditandai dengan banyaknya Sekolah yang bangunannya tidak
kunjung diperbaiki karena keterbatasan anggaran. Yang kita hadapi pada akhirnya
justru dislokasi kewenangan, dan muaranya adalah tidak optimalnya pencapaian
misi.
Sejalan
dengan contoh di atas, kita terbiasa berasumsi bahwa desentralisasi akan
mempercepat kesenjangan antar daerah, ataupun mempercepat pembangunan daerah
tidak selalu terbukti.
Contoh
berikut ini penting untuk dicermati.
Sejalan
dengan desentralisasi dalam skala besar-besaran yang dilangsungkan sejak tahun
2000, transfer fiskal ke daerah telah berlipat ganda. Asumsinya, transfer ini
akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di berbagai pelosok tanah air,
ditandai dengan pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah yang berotonomi luas.
Dalam kenyataannya, pertumbuhan ekonomi hanya berlangsung di daerah-daerah yang
memiliki infrastruktur untuk memproses transfer fiskal menjadi pertumbuhan
ekonomi lokal.
Contoh
ini membukakan mata kita bahwa selama ini proses desentralisasi telah diusung
diatas asumsi yang tidak akurat, dibangun diatas asumsi telah tersediaya
infrastruktur untuk menopang pembangunan ekonomi. Jika asumsi ini benar adanya,
maka masuk akallah kalau dibayangkan bahwa pemindahan lokus policy-making yang
disertai dengan transfer fiskal akan menotori pertumbuhan ekonomi. Ada bias
serius, yakni infrastruktur yang ada di mana-mana ternyata hanya ada di
ibukota, atau di kotakota besar. Padahal kita tahu bahwa pertumbuhan ekonomi mempersyaratkan
ketersediaan infra-struktur. Manakala variasi kesenjangan ketersediaan infrastruktur
tidak difikirkan sejak awal, maka tuntutan transfer fiskal akan bermuara sama pertumbuhan
ekononi hanya berlaku di sebagian daerah. Daera-hdaerah yang infrastrukturnya
tertinggal terus mengalami stagnasi, dan pada saat yang sama tetap menuntut
tambahan transfer fiskan. Dalam kealphaan memetakan variasi ketersediaan infrastruktur
ini, lalu bergulirlah stigmatisasi otonomi daerah.
Desentralisasi
dinilai melahirkan aktualisasi otonomi daerah secara memadai, lalu divonis
gagal menghasilan kemajuan ekonomi lokal.
Kecerobohan
dalam contoh di atas terlihat dari insensitifitas pada variasi penyediaan
(ketersediaan) infrastruktur untuk memfasilitasi pembangunan ekonomi. Hal ini
terjadi karena, dalam standar berfikir baku, desentralisasi adalah persoalan transfer
kewenangan. Solusi dari segala diyakini bermula dari transfer kewenangan, dan
persoalan instrastruktur dibicarakan setelah ada kepastian kewenangan
masing-masing, dan kewenangan tersebut dijabarkan dalam disain kelembagaan dan proses
perencanaan. Atas dasar itulah dilakukan transfer keuangan. Akibatnya,
desentralisasi atau penyelenggaraan otonomi justru terjebak dalam fragmentasi
penyedia dan penyediaan infrastruktur pembangunan ekonomi.
Kalaulah
transfer kewenangan dianggap penting, yang paling penting sebetulnya bukan
kepastian rumusan kewenangan melainkan keseriusan dan kepiawaian dalam
menggunakannya.
Kita
tahu bahwa betapapun seriusnya ditentukan batas kewenangan antar sektor,
sektoralise tidak kunjung teratasi.
Betatapun
seriusnya kita bongkar pasang pembagian atau pemilahan kewenangan pemerintah
nasional, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota,
kebijakan-kebijakan berikut penjabarannya ke dalam berbagai program pembangunan
tetap saja tidak terintegrasi. Tidak ada komunikasi kebijakan antar level pemerintahan,
sehingga kalaulah sama-sama berniat mengatasi kemiskinan, sambungan satu
kebijakan dengan kebijakan lain tidak pernah terangkai.
Ketika
pemerintahan dihayati sebagai penggunaan kewenangan, bukan pencapaian tujuan
tertentu, maka kegagalan mencapai misi bukanlah persoalan serius. Ketika
pemerintahan dihayati sebagai penggunaan kewenangannya sendiri, maka tidak ada
urgensi untuk mengetahui kesenjangan penggunaan kewenangan dari lembaga-lembaga
lain, atau lembaga setara di level yang lain.
Singkat
cerita, kecenderungan-kecenderungan untuk berlindung dibalik kewenangan ini
pada akhirnya bermuara pada insensitivitas pemerintah pada konteks. Yang lebih
menjadi kehirauan adalah dasar hukum (cangkang kewenangan), bukan optimalnya
solusi atau kesesuaian dengan konteks. Oleh karena itu, mind set yang
obsesif dengan penggunaan kewenangan pada akhirnya kontra-produktif dengan
penjaminan otonomi, yang misi utamanya adalah penyelesaian masalah sesuai
konteks.
Bikoratisme,
bertolak belakang dengan penjaminan otonomi seluas-luasnya. Keinginan untuk
menggunakan kewenangan untuk mendektekan apa yang perlu dilakukan, pada
gilirannya justru mematikan otonomi itu sendiri. Otonomi justru harus dilakukan
sedemikian sehingga tidak terkungkung pada keterbatasan imajinasi tentang cara
mengatasi masalah. Sejalan dengan hal itu, otonomi, mau tidak mau melibatkan pendayagunaan
pengetahuan dan kearifan lokal, dan pengetahuan ini biasanya berada dalam
jangkauan mereka yang berada di puncak kewenangan. Penggunaan pengetahuan dan
kearifan ini, dalam banyak kasus, tidak tergantung ataupun terkendala oleh tata
kewenangan yang diberlakukan.
Paparan
di atas diharapkan memberikan cukup alasan untuk mengatakan bahwa pemikiran
tentang desentralisasi selama ini terkungkung oleh cara berfikir administratif.
Dalam kerangka ini, berlakulah definisi standar; bahwa ‘desentralisasi adalah pelimpahan
kewenangan dari pemerintah nasional ke pemerintah lokal’. Kalau kewenangan
sudah dilimpahkan, maka diasumsikan selesailah persoalan. Bahwa: ‘otonomi
daerah adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri’.
Implikasinya,
daerah harus egois, tidak perlu tahu apa yang dilakukan oleh tetangganya, tidak
perlu berfikir apa yang dilakukan oleh pemerintah pada lapis kewenangan di atas
dan dibawahnya. Muara dari cara berfikir ini adalah segmentasi, kalau bukan
fragmentasi institusi pemerintahan.
Tag :
Indonesia
0 Komentar untuk "Asimetrisme: Urgensi Mespon Secara Kontekstual"