Nama
tokoh ini bagi kebanyakan Muslim tak asing lagi. Apalagi di dunia sufisme dan tarekat,
dia dinilai sebagai salah seorang pengembang aliran tarekat Islam, yakni
tarekat Qadiriyah, yang kini banyak diikuti Muslim di berbagai belahan dunia,
tak terkecuali Indonesia. Dia adalah Syeikh Abdul Qadir Jaelani. Beberapa
kalangan kerap kali juga menyebut pendiri tarekat Qadiriyah ini sebagai tokoh
spiritual yang mencapai derajat wali sehingga banyak cerita atau hikayat yang
menempatkan dirinya dalam posisi amat istimewa, luar biasa dan penuh
kekeramatan.
Dilahirkan
di Gilan atau Jailan di selatan Laut Kaspia, Persia (kini Iran) pada 1 Ramadhan
470 H (1077 M), ia bernama lengkap Sayyid Abu Muhammad Abdul Qadir.
Kata
"Jailani" di belakang nama Syeikh Qadir tampaknya merujuk pada kampong
kelahirannya. Ayahnya bernama Abu Shaleh, seorang yang taat kepada Allah dan memiliki
hubungan keturunan dengan Imam Hasan, putra sulung Sayyidina Imam Ali ra (saudara
sepupu Nabi SAW) dengan Fatimah, anak perempuan Rasulullah.
Sedangkan
ibunya adalah putri Abdullah, Shaumayya, wanita yang begitu taat menjalankan
agama, merupakan keturunan Imam Husain, anak Imam Ali dengan Fatimah. Dengan
demikian, Syeikh Abdul Qadir, yang di kalangan Muslim Indonesia dikenal dengan
sebutan Syeikh Dul Kadir ini adalah anak keturunan Hasan dan Husain, yang
secara tak langsung masih memiliki keturunan nasab dengan Rasulullah SAW.
Sejak
kecil, Syeikh Dul Kadir dikenal sebagai anak yang pendiam, mempunyai etika dan sopan
santun yang tinggi. Di usia dini itu, ia kerap kali termenung dan sangat
cenderung kepada dunia mistik (pengalaman keruhanian). Menginjak usia 18 tahun,
terlihat betapa Syeikh Dul Kadir sangat tamak terhadap ilmu dan ingin selalu
bersama-sama dengan orang-orang shaleh. Kondisi inilah yang mendorong dirinya
di usia muda untuk berkelana ke negeri pusat ilmu kala itu, yakni Baghdad
(Irak).
Tokoh
ini kehilangan ayahnya pada usia muda. Ia kemudian dipelihara dan dididik kakeknya
hingga usia 17 tahun. Pada usia itu, ia dikirim ke Baghdad untuk menimba ilmu yang
lebih tinggi. Di Baghdad, Syeikh Dul Kadir menjadi murid kesayangan Abu Zakaria
Tabrezi, rektor Jamiat Nizhamiah, salah satu perguruan tinggi Islam terkemuka
saat itu.
Delapan
tahun menuntut ilmu di perguruan itu, Syeikh Dul Kadir berhasil menguasai berbagai
ilmu pengetahuan yang diajarkan.
Otaknya
yang cerdas dan ingatan yang kuat membuat ia jadi salah satu lulusan terbaik sekolah
tersebut. Setelah menguasai perbendaharaan ilmu, Syeikh Dul Kadir tertarik melakukan
pelatihan ruhani. Ia pun menjadi murid Syeikh Abu Said Mukhzumi, orang shaleh
termasyhur pada masa itu. Tampaknya perpaduan dua perguruan, pemikiran dan ruhani
tersebut, membuat Syeikh Dul Kadir mampu menjadi salah seorang ulama yang disegani
di Baghdad.
Dalam
buku Menyingkap Rahasia Keghaiban Hati disebutkan, sebagian kalangan Muslim saat
itu menjuluki dirinya dengan sebutan Ghautsul A'zham (wali Allah yang paling agung).
Menurut pemahaman para sufi, "Ghauts" berada di bawah peringkat para
nabi dalam derajat keruhanian dan dalam menyampaikan rahmat Allah kepada
manusia.
Padahal
tokoh ini sebenarnya lebih dari itu. Ia merupakan tokoh yang mampu memadukan
syariat (ajaran agama) dan tarekat (spiritualisme) dalam kehidupan seharihari.
Menengok
kehidupannya di abad 11 Masehi yang penuh dengan pertentangan antara spiritualisme
ekstrim Mansur Hallaj dan rasionalisme Muktazilah, maka keberhasilannya memadukan
keduanya dalam praktik kehidupan merupakan prestasi puncak yang berhasil diraih
seorang ulama. Kala itu, dunia Islam penuh dengan kekacauan dan pergolakan.
Umat
dan para pemimpinnya jatuh dalam dekadensi politik dan moralitas. Zaman emas khalifah
Abbasiyah telah lampau. Kekhalifahan Islam jatuh ke tangan khalifah yang lemah,
tenggelam dalam kehidupan mewah dan suka berfoya-foya.
Kefasihan
Syeikh Dul Kadir dalam bertutur dan kekayaan batin yang dimiliki membuat setiap
ceramah yang dilakukannya mampu menarik massa demikian besar. Tak kurang dari
70-80 ribu massa hadir setiap kali Syeikh Dul Kadir mengadakan pengajian. Tak hanya
khayalak ramai hadir dalam setiap pengajiannya, namun juga pembesar bahkan khalifah
Abbasiyah sendiri datang hanya untuk mendengarkan setiap ulasan ajaran Islam yang
dibawakannya.
Hampir
selama 40 tahun lamanya, Syeikh Dul Kadir membimbing masyarakat ramai lewat
pengajian dan madrasah yang didirikannya. Pada usia 91 tahun, ia pun berpulang ke
Rahmatullah dengan meninggalkan warisan tak ternilai. Dan putra-putrinya yang berjumlah
banyak (20 putra dan 29 putri, menurut Ensiklopedi Indonesia, Red)
meneruskan
ajaran dan pelatihan ruhani yang pernah diajarkan Syeikh Dul Kadir. Putra-putranya
itulah bersama para muridnya yang akhirnya membentuk tarekat-tarekat dengan
sebutan Qadiriyah, menisbatkan pada nama guru dan ayah mereka. Awalnya, tarekat
ini berkembang pertama kali di Irak, Syria, Mesir, dan Yaman. Pada tahap berikutnya,
tarekat ini menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, termasuk Indonesia.
Selain
tertua, sampai sekarang tarekat ini dianggap paling banyak mendapat pengikut dibanding
tarekat-tarekat lainnya.
Perjalanan
panjang Syeikh Dul Kadir baru berakhir ketika atas kehendak Yang Mahakuasa,
pendiri tarekat shufiyyah Al Qadiriyah ini dipanggil menghadap Sang Ilahi Rabbi
pada 11 Rabiul Awwal 561 H (1166 M). Oleh para pengikutnya, tanggal wafatnya ini
selalu dikenang dan mempunyai arti tersendiri. Bahkan di India dan Pakistan,
hingga kini, tanggal tersebut dinamai dengan "Jiarwin Sharif."
[republika.co.id]
Tag :
Tokoh
0 Komentar untuk "Syeikh Abdul Qadir Jaelani"