Dosa warisan sejarah yang mesti
dipikul pemerintahan BJ. Habibi, cukup berat. Dalam masa transisi pemerintahan
kabinet reformasi pem-bangunan ini, ia harus menuntaskan tuntutan rakyat,
sebagaimana telah diagendakan pada era reformasi sekarang ini. Yaitu, mengadili
Soeharto dan kroni-kroninya, mengamandemen UUD 1945, menghapuskan Dwifungsi
ABRI dan menciptakan Clean Government (pemerintahan yang bersih dan berwibawa).
Hubungannya dengan masalah Aceh,
Presiden BJ. Habibi telah menjanjikan 10 hal untuk segera dicarikan jalan
penyelesaiannya. Namun hingga sekarang belum satu pun yang dipenuhi.
Di bawah ini kami kutipkan hasil
wawancara wartawan mingguan ABADI dengan Abu Jihad, salah seorang tokoh
perjuangan Aceh dan kader senior Tengku Muhammad Daud Beureueh.
Wawancara dimaksud dimuat dalam
Mingguan Abadi Edisi 37 / tahun 1 (22-28 Juli 1999 / 8-14 Rabi’ul Tsani 1420
H).
Di bawah judul “Darah Akan Terus
Menetes”:
Berbicara masalah Aceh identik
berbicara dengan masalah Islam. Islam datang ke Aceh sekitar 850 M. Yang
memperkenalkan pertama kali saat itu adalah Sayyid Maulana Abdul Azis dengan mem-bawa
satu armada khalifah. Pengaruh Abdul Azis sangat besar. Saat Abdul Azis kawin dengan
raja Perlak, seluruh warga Perlak diIslamkan. Kemu-dian bersambung beliau kawin
ke Pasai, Pasai juga di Islamkan. Akhirnya seterusnya tujuh kerajaan : kerajaan
Perlak, Samudra Pasai, Lamuri dan lain-lain di-Islamkan.
Tahun 916 M, ada kerajaan Aceh Darul
Salam. Dulu disana itu yang namanya hukum undang-undang dasar (qanun mauquta
alam al’asyi), yaitu rumusan alim ulama yang digali dari Qur’an dan Sunnah,
telah dipraktekan. Tahun 960 M kemudian, berlaku hukum Islam di Aceh.
Diproklamirkan pertama kali waktu itu
oleh Sultan Muhayyat Syah. Hukum Islam itu terus bertahan, selama berabad-abad
lamanya.
Kemudian, Sultan Iskandar Muda yang
terkenal, meneruskan penerapan hukum Islam itu.
Simbol dari penerapan hukum Islam itu
terdiri dari hukum undang-undang dasar dan benderanya bergambar pedang dengan
bulan bintang berwarna hijau. Selain itu, seorang raja Aceh, harus menguasai
bahasa Melayu, bahasa Arab dan salah satu bahasa Eropa. Raja Aceh yang diangkat
saat itu juga harus ada garansi. Yaitu berupa emas seberat 50 kg. Emas ini akan
diambil oleh Dewan Pertimbangan Kerajaan.
Pada masa Sultan Iskandar Muda, sudah
dirintis beberapa universitas seperti Darul Siyasah, Darul Adab, Darul Falsafah
dan lain-lain. Ini semua bernafaskan Islam. Banyak ulama, termasuk Ar-Raniry
yang berasal dari India waktu itu datang ke Aceh, untuk mengajar. Demikian juga
Hamzah Fanshuri dan Syech Yackub yang terkenal.
Pada 23 Maret 1823, Belanda datang ke
Aceh. Tiga hari kemudian (26 Maret), Belanda menyerang Aceh. Rakyat Aceh
membalas serangan Belanda ini, dan Belanda kalah. Satu-satunya bangsa Asia yang
pertama mengalahkan Belanda adalah bangsa Aceh. Yang memimpin penyerangan ke
Belanda pada waktu itu adalah Sultan Mahmud. Panglima perangnya adalah Tuanku
Hasyim. Dia merangkap Panglima Angkatan Laut dan Panglima Angkatan Darat.
Perang Aceh dengan Belanda itu terjadi
terus menerus dari 1823 sampai 1942. Belanda pernah masuk ke Aceh tapi secara
de facto dan de jure, Belanda tidak pernah menguasai Aceh. Sehingga hukum-hukum
Islam tetap berjalan di daerah rencong itu. Paling-paling, saat itu orang Aceh diharuskan
bayar pajak pada Belanda. Kemudian Jepang masuk. Jepang masuk bukan menyerang
Aceh, tapi justru dijemput oleh tiga tokoh Aceh untuk membantu mengusir
Belanda.
Ternyata kemudian, kebiadaban Jepang ini
melebihi kebiadaban Belanda. Enam sampai delapan bulan, ulama-ulama di Aceh
nggak tahan, melihat Jepang. Tengku Abdul Jalil saat itu memutuskan wajib
hukumnya perang melawan Jepang. Saat itulah kemudian terjadi perang dengan
Jepang.
Awal kemerdekaan, di Aceh terjadi
‘perpecahan’ pendapat. Waktu itu ada sebagian yang ingin merdeka dan sebagian
besar ingin gabung dengan Indonesia. Yang ingin bergabung, yaitu Panglima
Polim, Tengku Mahmud, teknokrat, ulama ter-masuk Abu Beureueh dan lain-lain, ingin
bergabung dengan Indonesia. Bahkan saat itu, 56 orang tokoh bersumpah kepada
Republik dipimpin Tengku Aru, Presiden pertama di Aceh teungku Aru. Berdirilah
kemudian RI di Aceh.
Setelah meninggal, kemudian
diangkatlah Daud Beureueh sebagai gubernur militer Aceh, Langkat dan Tanah
Karo. Tahun 1947, presiden Soekarno berkunjung ke Aceh. Soekarno berkunjung ke
Aceh dan menemui Abu Beureueh. Terjadi dialog antara Soekarno dengan Abu
Beureueh …….. Saya berikan kepada Kakanda, Aceh ini adalah pelopor perang akbar,
perang jihad antara kita dengan Belanda. Satu-satunya yang sanggup
mempertahankan republik ini adalah Aceh. Kita melihat Tengku Umar, Tengku Cik
Di Tiro, Cut Nyak Dien dll,” kata Soekarno. Saat itu Abu mengatakan : “Tapi
kami mau mati syahid, kalau nggak, ya landasan negaranya Islam. Kalau nggak,
nggak apa-apa, kami bersedia berperang.” Soekarno : “Saya akan pergunakan
kekuasaan saya, sekurang-kurangnya untuk Aceh akan berlaku hukum Islam.
Mendengar jawaban Soekarno itu, Abu
Beureueh langsung menyodorkan secarik kertas (untuk perjanjian) kepada
Soekarno. Seokarno dengan akal bulusnya, mengatakan : “Untuk apa kakanda, saya
ini jadi presiden, kalau kakanda sendiri tidak mempercayai kepada saya. Wallahi
setelah selesai perang dengan Belanda, saya akan berlakukan Aceh hukum Islam.”
Dia sudah menyebut asma Allah, ya sudah kata Abu Beureueh.
Kemudian Soekarno juga meminta bantuan
kepada Abu Beureueh untuk dua pesawat terbang dan untuk biaya diplomasi ke luar
negeri. Abu Beureueh kemudian mengumpulkan dana, terkumpul saat itu sekitar 240
ribu US). Tampaknya yang satu dikorupsi. Saat itu Abu Beureueh juga memberikan
tanda pangkat emas (seperti yang dikenakan pada pakaian Abu) dan seperangkat
alat-alat tulis kepada Soekarno.
Setelah itu Aceh juga berjasa ketika terjadi
agresi Belanda II-waktu itu secara tidak langsung komando angkatan udara, laut
dan darat pindah ke Aceh. Ketika Bukittinggi jatuh (PDRI),malah lima puluh
orang Aceh di tangkap lewat Nasir, tokoh PKI yang ditempatkan Soekarno di Aceh.
Permintaan Aceh untuk penerapan Islam,
jangankan diberikan, orang-orang Aceh malah ditangkap.
Dengan pengkhianatan Soekarno tidak
mem-berlakukan syariat Islam karena Soekarno dekat dengan PKI waktu itu Abu
Beureueh beberapa kali mengirim surat kepada Soekarno dan menegur Soekarno.
“Hai Bung Karno, jangan terlalu dekat dengan PKI, kita mendirikan Republik ini
dengan darah orang Islam,” tulis Abu Beureuh. Tapi nggak pernah digubris oleh Soekarno.
Maka kemudian meledaklah Darul Islam Aceh, 21 September 1952. Perang Darul Islam
itu terjadi 8 tahun 9 bulan dan 27 hari.
Kemudian saat itu seorang kolonel,
yang diperintah oleh AH Nasution, dikirik kepada penguasa perang di Aceh, untuk
berunding. Mohammad Ibrahimi, dari pihak Nasution berun-ding dengan Abu
Beureueh. Kata Abu: “Saya mau berunding, kalau diterapkan syariat Islam di
Aceh.” Itu terjadi sekitar 1962. Kenapa itu kita (Abu) tuntut?: “Karena sudah
ratusan tahun syariat Islam berlaku di Aceh. Sementara hanya beberapa tahun
ber-gabung dengan RI, sirna hukum Islam di Aceh.” Keluar darah orang Aceh ini,
mungkin sebanyak air di Aceh ini. Saya akan pertaruhkan pangkat ini, kata Abu,
demi tegaknya syariat Islam di Aceh.
Akhirnya, keluarlah keputusan Penguasa
Perang (Abu Jihad memperlihatkan fotokopy dokumen resmi kepada Abadi) yaitu
Perda tahun 1962 tertanggal 7 April 1962 tentang kebijaksanaan pelaksanaan
unsur-unsur syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya di Aceh. Yang bertanda tangan
Kolonel M Yasin, Panglima Daerah Tingkat I selaku Penguasa Perang.
Itu berarti pemerintah secara resmi
telah menyatakan berlakunya hukum Islam di Aceh.
Kemudian akhirnya rakyat Aceh
meletakkan senjata untuk berdamai, dengan jaminan berlakunya hukum Islam di
Aceh. Tapi itu ternyata kemudian dibohongi lagi oleh Soekarno. Jadi bukan sekali
Soekarno menipu rakyat Aceh. Setelah Soekarno, Soeharto sama juga.
Jadi solusi tuntunan diberlakukannya
hukum Islam, untuk solusi masalah sekarang ini, bukan bohong-bohongan. Ini
sekarang, tinggal kesadaran pemerintah saja. Dan penerapan hukum Islam di Aceh
itu adalah hal yang wajar, sabagaimana kenyataan sejarah yang terjadi di Aceh.
Sebelum diterapkannya syariat Islam di Aceh , bisa jadi darah rakyat Aceh akan
terus menetes di bumi Aceh.
Prilaku Soekarno dan Soeharto yang
menjadi pelopor pengawal Pancasila memberikan kesan kepada sebagian orang bahwa
mentalitas Pancasila adalah mentalitas munafik dan bermuka ganda. Hal ini
barangkali merupakan bagian dari penerapan kebijakan floating (pengambangan) yang
menjadi asas gerakan Freemasonry yang aktif menyerukan sikap pengambangan
(floating) masyarakat dari segala bentuk keyakinan agama. Hal ini nampak dengan
jelas ditaati oleh Soekarno maupun Soeharto dalam menjalankan kebijakannya
selama menjadi penguasa orde lama dan orde baru. Tentu saja hal ini baru
merupakan pendapat dan penilaian sebagian orang dan bukan merupakan satu hal
yang dapat di pastikan bahwa kedua tokoh pengawal Pancasila tersebut memang
memiliki komitmen yang kuat terhadap idiologi asing yang menjadi obyek kajian
kita dalam buku ini. Sebab dalam buku ini sudah di paparkan bahwa ada
kemungkinan Pancasila adalah suatu faham dan idiologi yang di ilhami oleh
idiologi Zionisme dan Freemasonry.
Tag :
Nasionalis,
Sosial
0 Komentar untuk "Penerapan Pancasila di Aceh pada masa Reformasi"