HAJI AGUS SALIM, salah seorang penanda
tangan Piagam Jakarta, tanggal 22 Juni 1945 telah menge-mukakan ulasan dan
penafsiran dirinya terhadap Pancasila. Hal itu beliau tulis dalam sebuah karya
tulisnya berjudul “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tulisan beliau itu selengkapnya kami
paparkan di bawah ini.
Republik Indonesia berdasarkan
“Pancasila”, yang terkandung di dalamnya lima pasal, pokokpokok idiologi yang
diberi nilai terpenting dalam pendirian Republik kita, sebagai negara merdeka
dan berdaulat. Merdeka artinya negeri dan rakyat tidak takluk kepada dan tidak
tunduk dibawah kekuasaan asing. Berdaulat, artinya negeri dan rakyat memiliki
kekuasaan penuh untuk mengadakan dan menjalankan hukum atas negeri dan bangsa
sendiri.
Sebagai suatu semboyan politik, maka
ucapan yang mengatakan Republik kita “berdasarkan Pancasila” nyatalah tidak
menegaskan mana tiap-tiap kata yang terpakai di dalamnya dan tidak mengikat
tafsirnya dengan kepastian makna yang mesti dipakai dengan tiada syak atau
raguragu.
Dengan demikian diharapkan, supaya
rata-rata segala golongan yang mengikuti berlain-lain aliran pikiran dalam
berbagai kepartaian, perhimpunan, perserikatan, yang merupakan “lembaga” atau
“badan” atau yang tidak tergabung dengan bentuk yang tertentu, pada umumnya
dapat menyetujui atau sedikitnya, tidak ada keberatan untuk mene-rima semboyan
itu dijadikan “lambang persatuan” yang meliputi segenap bangsa kita. Dan dalam
tiap-tiap pernyataan atau statement yang bersifat nasional, yakni atas nama rakyat
sebangsa sege-napnya, kita gunakan semboyan Pancasila itu, dengan menjaga
betul-betul, jangan sampai kita tegaskan paham kita yang sejelas-jelasnya
tentang tiap-tiap kata itu, oleh keyakinan kita, bahwa dengan menegasnegaskan makna
itu akan kentara-lah pertikaian yang tersimpan di dalam semboyan, yang ke luar merupakan
persatuan itu.
Akan tetapi dengan kehati-hatian
menjaga “persatuan” ke luar itu, kita terus menerus membiarkan tiap-tiap aliran
paham kepartaian, dan lain-lain sebagainya itu, menanamkan, mendidik dan
memasak-masakkan di dalam kalangan masing-masing sendiri, fahamnya sendiri-sendiri
yang menyimpang, bertikaian bahkan barangkali ber-tentangan dengan faham
aliran-aliran yang lain. Sebaliknya kita menjauhi satu-satunya jalan, yang mungkin
sungguh-sungguh menolong menambah luasnya “persatuan faham” yang nyatalah lebih
berharga daripada “paras persatuan” yang di-tujukan ke luar itu.
Inilah bahayanya “persatuan” dan
“kesatuan” yang kita perlukan untuk kita seru-serukan ke luar, yang menyebabkan
kita ngeri menilik kepada retak dan belah, kepada perceraian dan pertentangan
di dalam kalangan ummat kita yang sebangsa dan setanah air.
Pada mulanya “semboyan persatuan” itu
kita harapkan mempengaruhi faham tentang “asas, tujuan dan perjuangan” tiap-tiap
aliran (kepartaian, dan lain-lain sebagainya) kita harapkan bahwa tiap-tiap
aliran itu akan berikhtiar menyesuaikan fahamnya, dan selanjutnya “asas, tujuan
dan perjuangannya” itu dengan semboyan persatuan itu. Tapi oleh karena
tiap-tiap aliran membawa pulang semboyan itu ke dalam kalangan kaum dan pengikut-pengikutnya
sendirisendiri, maka sebaliknya yang sesungguhnya berlaku. Yaitu, tiap-tiap
aliran menafsirkan “Pancasila” kita bersama itu sesuai dengan “keterangan asasnya”,
“acara tujuannya” dan “rencana perjuangannya”. Dan lama kelamaan tiap-tiap aliran
akan membang-gakan bahwa hanya ialah yang berpegang kepada “Pancasila yang
sejati”. Dan masing-masing mendasarkan kesejatian itu atas sifat pahamnya yang
dihiasi dengan tambahan keterangan misalnya “kerakyatan” atau “demokrat”, atau
“progresip”. Dan tiap-tiap aliran menuduh mendakwa aliran yang lain-lain dengan
“khianat” kepada asas Pancasila dan memutar balikkan kenyataan.
Adapun hal yang berbahaya itu
disebabkan oleh karena keadaan aliran-aliran yang masing-masing mewujudkan
bentuk kepartaian dan sebagainya itu dengan cara dan aturan yang mencontoh dari
dunia Barat itu, pada hakikatnya sudah menyalahi Pancasila kita. Pancasila kita
sekali-kali tidak menegaskan adanya aliran-aliran faham yang berlain-lain itu.
Aliran berlain-lain itu mesti ada, oleh karena hidup manusia di tengah alam yang
makhluk di muka bumi kita ini amat banyak macam ragam dan coraknya;
berbagai-bagai hajat keper-luannya, berlapis-lapis, bertingkat-tingkat.
Keka-yaan kehidupan dengan corak dan ragam yang bermacam-macam itu dengan
sendirinya mewajib-kan adanya tujuan bermacam-macam, yang perlu semuanya, tapi
tak mungkin dapat sesuatu pihak melayani semua-semuanya itu dengan berbagai
tugas yang akan sengaja dipentingkan lebih dari pada yang lain-lain. Maka tumbuhlah
berbagai-bagai aliran itu, tiap-tiapnya mementingkan satu bagian dengan memakai
satu haluan yang tententu. Hajat keperluan itu memang diadakan dan diberi
keterangannya di dalam Qur’an (Al-baqarah 148):
“Maka bagi sekalian, masing-masingnya
adalah tujuan dan cara yang diutamakannya; maka berlombalah berbuat kebajikan.
Biar dimanapun kamu ada, niscaya Allah menghimpunkan kamu. Bahwa sesungguhnya
Allah kuasa atas segala sesuatu apa.”
Tapi maksud kita bersama-sama mengakui
Pancasila itu, ialah supaya pokok-pokok Pancasila itu, menjadi tempat pertemuan
kita di mana kita harus berhimpun. Maka biar betapa pun dan bagaimanapun kita
pisah-pisah oleh karena tugas kita berlain-lain, tapi tiap-tiap tugas itu dan cara
bagaimana kita mengusahakannya, harus ter-maktub di dalam salah satu pokok
Pancasila itu, menurut paham yang lebih dulu sudah kita sesuaikan atau sudah
kita mufakati antara kita dengan tidak ada syak dan tidak ragu-ragu. Tapi juga
dengan tidak memaksa keyakinan sesuatu pihak.
Syarat-syarat ini dengan sendirinya
menyebab-kan: pertama bahwa persatuan yang berharga itu tak mungkin dapat
menghimpunkan segala aliran, semua-semuanya dengan tak ada kecuali dan tak ada
sisa, setiap waktu dan dalam segala urusan. Dan kedua, bahwa untuk mendapat
kepastian tentang aliran-aliran manakah yang dapat kita bersatu dengan dia
dalam suatu urusan, haruslah kita senantiasa memeliharakan perhubungan aliran
lain-lain itu dan dapat merundingkan dengan orang-orangnya tentang apakah dan
cara bagai-manakah kita dapat kerja sama menurut pokok-pokok pancasila.
Dengan cara yang demikian itu dapatlah
kita harapkan demokrasi berlaku dengan ikhlas antara berbagai aliran kepartaian
dan sebagainya yang ada dalam bangsa kita. Artinya kerjasama antara yang terbanyak
dalam segala urusan kebajikan dengan ikhlasnya; dan bukan hanya suara bersama
yang terbanyak senantiasa menghalangi berlakunya dan menantang berlangsungnya tiap-tiap
usaha untuk melancarkan pemerintahan, untuk memajukan pekerjaan dan penghasilan
ekonomi, untuk memu-lihkan dan memeliharakan tertib dan keamanan umum dalam
masyarakat kita.
Padahal bencana kenistaan yang
tersebut kemudian itulah, yang terlebih banyak kita alami dalam masa kita
sekarang ini.
Sebagaimana sudah tersebut lebih
dahulu tadi, akibat yang buruk itu disebabkan oleh karena dalam bentuk susunan
dan cara bekerja aliran-aliran dalam kepartaian dan sebagainya itu sudah memang
menyalahi pokok-pokok Pancasila kita.
Jika akan sesuai dengan dasar
Pancasila kita itu, maka bagaimanapun perbedaan haluan yang dipentingkan oleh
berbagai-bagai aliran itu, dan bagaimanapun cara mengusahakan atau “memper-juangkan”
tujuan-tujuannya masing-masing per-tama-tama sekali dan terutama tidaklah boleh
menyalahi pokok dasar yang pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Tegasnya tidak
akan boleh menyimpang daripada hukum agama yang berdasar kepada wahyu daripada Tuhan
Yang Maha Esa sesuai dengan firman Allah di dalam Qur’an tiga kali
berturut-turut yaitu:
QS. Al-Maidah yang menyatakan : “Maka
barangsiapa tidak membuat hukum menurut apa yang diturunkan oleh Allah dalam kitabNya
dan agamaNya yang berturut-turut (yaitu Taurat, Injil dan Qur’an), maka mereka
itu kafir adanya (tegasnya meniadakan Tuhan dan agama) (43) mereka itu zhalim
adanya (tegasnya aniaya menyalahi keadilan; (50) mereka itu fasik adanya
(tegasnya melanggar tertib sopan santun dengan sengaja menyalahi perintah dan
petunjuk Allah)”
Tentang pokok dasar yang pertama ini,
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang memang menjadi pokok yang istimewa dalam
karangan ini, masih akan berikut keterangan yang lebih luas, Insya Allah pada
hakekatnya memanglah pokok yang pertama ini bersifat meliputi, dan telah terkandung
di dalamnya empat pokok dasar yang berikut di dalam Pancasila kita. Bahkan
banyak lagi pokok dasar lain daripada yang empat itu. Dan memang pula masih
banyak perkara dalam urusan negara, tanah air dan masyarakat dan yang boleh
meru-pakan pokok dasar pula.
Sungguhpun begitu baik juga disini
diterang-kan sedikit tentang satu dua pokok dasar yang lainlain.
Berkenaan dengan Kebangsaan, pokok ini
adalah pusaka dari masa penjajahan yang lalu, yang hukumnya melebihi
mengurangkan (discriminatie), atas dasar kebangsaan, antara bangsa Eropa (Belanda).
Bumiputera (Indonesia) dan peranakan bangsa Timur atau Asia (turunan Asing) dan
orang-orang yang disamakan dengan bangsa Eropa atau dengan bangsa “Bumiputera”
Pada hakikatnya dalam negara kita, yang kita tentukan menjadi negara hukum yang
adil tak mungkin kita meng-adakan perbedaan melebih-mengurangkan di dalam hukum
dengan alas an kebangsaan, melain-kan rakyat dan penduduk sekalian disamakan
terhadap kepada hukum.
Hanya dalam beberapa hal yang tertentu
perlu diadakan perbedaan antara penduduk warganegara, yang mengakui kewajiban
setia-bakti (loyality atau loyaliteit) kepada negeri kita yang diakuinya
sebagai tanah airnya (wathan) dan orang bangsa asing, yang wajib setia bakti kepada
tanah airnya masing-masing diluar negeri kita ini.
Dalam hal ini perlu sekali ditegaskan,
bahwa asal usul turunan “kebangsaan” berkenan dengan peranakan tidak boleh
menjadi dasar untuk membeda-bedakan di dalam hukum. Oleh karena itu perlu
sekali rasanya, kita tegaskan, bahwa, pokok dasar “kebangsaan” itu harus
dimaknakan dengan “kenegaraan” (Statsangchorigkeit). Dengan makna ini nyatalah
“bangsa” (nationality) seseorang ditentukan oleh negara yang ia mengakui wajib
setia bakti (loyality) kepadanya. Semangat sikap yang dikehendaki disini ialah
cinta tanah air (hub-al-wathan; patriotisme);
berbeda dengan cinta kebangsaan
(nationalisme) yang mungkin tetap terikat kepada tanah air asal atau tanah
leluhur di luar negara kita ini.
Berkenaan dengan kerakyatan yang
dimaknakan dengan demokrasi, baik kita tegaskan bahwa yang menjadi pokok yang
menentukan dalam hal ini ialah rakyat sekalian dalam seluruh negara.
Menurut pokok dasar ini kita sekalian
mengakui kewajiban kita sekalian tunduk kepada keputusan yang diterima oleh
jumlah yang terlebih banyak daripada rakyat itu, sebagaimana ditetapkan dengan
suara yang terbanyak oleh badan per-wakilan rakyat yang anggota-anggotanya dipilih
oleh rakyat menurut aturan yang tertentu dengan suara yang terbanyak pula.
Berhubung dengan pokok dasar ini
tidaklah dibenarkan sesuatu golongan daripada rakyat memisah menyendiri atas
dasar lapisannya dalam masyarakat (buruh, tani, pedagang, tentara, kaum agama,
suku bangsa dan sebagainya), menentang, melawan atau melanggar sesuatu hokum atau
aturan yang ditetapkan dengan sah oleh suara terbanyak daripada rakyat itu
(ijma’ alummah) dengan menggunakan kekuatan perkosaan memak-sa yang mengancam
tertib negeri dan keamanan umum dengan bencana dan kerusakan.
Tiap-tiap perbuatan yang demikian itu
yang menggunakan intimidasi (menakut-nakuti), terror (aniaya kezaliman yang
mendahsyatkan, sabot (merusak) abstruksi (menghalang-halangi) nyatalah termasuk
kepada fitnah (khianat) mungkar (keja-hatan, kelicikan) dan bagha (durhaka).
Maka haruslah ditentang dengan segenap
tenaga masya-rakat sepenuh-penuhnya, biar dari pihak manapun terbitnya; oleh
karena itu jika dibiarkan saja, tak dapat tidak kenistaan semacam itu membencanai,
bahkan membinasakan masyarakat. Berkenaan dengan hal yang semacam ini baiklah
kita peringati firman Allah di dalam Qur’an. (QS. Anfal 25):
“Jagalah dirimu baik-baik supaya
terpelihara daripada perdayaan, kekacauan dan huru-hara yang pasti menimpa
bukanlah hanya mereka yang berbuat aniaya saja diantara kamu dan ketahuilah, ingatlah,
sadarlah bahwa sesung-guhnya Allah teramat sangat hukumanNya yang menjadi
akibat daripada bencana semacam itu”.
Dalam ayat-ayat yang dahulu daripada
yang tersebut itu tadi telah terkandung keteranganketerangan yang menunjukkan
bahwa bencana yang semacam itu terbitnya daripada pihak yang membuta-tuli, tak
mau mendengarkan petunjuk-petunjuk daripada Allah, sehingga jika pun mereka
diberi mendengar, mereka akan tetap menentang dan berbalik membelakang.
Baiklah kita cukupkan dulu keterangan
tentang dua pokok dasar dalam Pancasila kita ini yang sudah terdahulu itu dan
menegaskan bahwa dengan dua lagi yang berikut, segala pokok-pokok itu
men-camkan kesatuan kita sekalian yang bersama-sama mengakui Pancasila kita
itu; kesatuan ibarat suatu tembok batu, yang segala bagiannya sendi-menyendi,
sokong-menyokong antara satu sama lain.
Dengan mengingat sifat-sifat ini
dapatlah kita mengenal tiap-tiap golongan, rombongan atau gerombolan dengan
bentuk kepartaian atau badan atau lembaga apapun juga, yang dengan sikapnya dan
tingkah lakunya terbukti mengasingkan diri daripada ummat se bangsa, se tanah
air kita, sekalipun mulutnya mengakui ikut. Mereka itu dengan berbagai corak
dan ragamnya yang agak berlain-lain, tak orang semuanya dapat dikenali dengan
tanda-tanda seperti di dalam ayat Qur’an (S. Al Anfal 2123):
Janganlah kami menjadi sebagai mereka
yang (dengan mulutnya) berkata: “Kami mendengar padahal mereka tidak mendengar.
Bahwa sejahat-jahat binatang yang melata di muka bumi dalam pandangan Allah
ialah yang ibarat tuli dan bisu tak ada ia mengerti. Jika mereka ada baiknya
pada pengetahuan Allah, niscaya diberi oleh Tuhan mendengar, tapi sekalipun
diberi mendengar,mereka hanya akan berbalik belakang juga sedang mereka
membantah dan menentang”.
Sampai disini baiklah kita kembali
kepada pokok dasar yang pertama daripada Pancasila kita, yaitu yang menyatakan
bahwa negara kita didasar-kan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai salah seorang yang turut serta
membuat rencana pernyataan Kemerdekaan sebagai pendahuluan (preambule) rencana
Undang-undang Dasar kita yang pertama di dalam Majlis Penyelidikan Kemerdekaan
Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyosakai) di masa akhir-akhir kekuasaan Jepang,
saya ingat betul-betul bahwa di masa itu tidak ada di antara kita seorang pun
yang raguragu, bahwa dengan pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu kita
maksudkan aqidah, kepercayaan agama dengan kekuatan keyakinan, bahwa kemerdekaan
bangsa dan tanah air itu suatu hak yang diperoleh daripada rahmat karunia Tuhan
Yang Maha Esa dengan ketentuanNya yang dilaksanakanNya dengan semata-mata
kekuasaanNya pada ketika masanya menurut kehendakNya.
Dan kemudian, setelah tercapai Kemerdekaan
yang menjadi idam-idaman dan cita-cita, yang tak pernah padam dalam bangsa
kita, istimewa ummat Islam, dalam selama masa kita di takluk tundukkan oleh
kekuasaan asing, yakin pula kita, bahwa segenap bangsa kita yang beragama menyambut
nikmat karunia itu dengan bersyukur kepada Allah. Tuhan Yang Maha Esa. Maka pastilah
bahwa pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu menjadi pokok yang terutama mengepalai
Pancasila kita sebagai pernyataan aqidah tersebut diatas tadi. Maka dapatlah berhimpun
dibawah pokok dasar itu segala umat, yang menjadi pengikut sesuatu agama, yang didasarkan
atas kitab, diturunkan pada mulanya kepada Nabi-nabi yang menjadi pesuruhNya,
di masa berlain-lain dalam negeri di muka bumi.
Dalam masa berlama-lama kitab-kitab
itu yang dahulu daripada Qur’an, di masa yang kepandaian baca tulis terbatas di
dalam kalangan satu-satu golongan (padri-pendeta) yang sedikit sekali
bilangannya, telah banyak yang bertukar-tukar di dalam kitab-kitab itu. Ada
tambahan yang termasuk atau diselakan (Addities dan inter-pelaties), ada yang
diobah, di pindahpindahkan maknanya (alteraties), ada yang nyata-nyata dipalsukan
(falaificates). Maka dalam sebagian agama, istime-wa yang terlebih tua itu
Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi terdesak dari tempatnya di dalam ajaran-ajaran
agama, oleh ramainya hikayat-hikayat Dewata dan manusia-manusia pilihan,
Nabi-nabi dan Wali-wali yang beroleh Keramat kesaktian, yang menjadi ajaran dan
agama.
Segala itu pada mulanya bermaksud
hendak mendekatkan Ketuhanan Yang Maha Esa kepada pengertian manusia umumnya.
Memang di masa purba itu, masa muda ummat manusia, amatlah cepatnya pengertian
mereka tentang alam tempat mereka hidup, dan tentang pelik dan ajaib hikmah
bentuk buatan diri mereka sendiri yang dijadikan Allah dengan kesempurnaan
bentuk bangunnya dan dikaruniaNya dengan Roh dari padaNya, mengataskan dia
manusia itu, daripada segala makhluk yang lain-lain. Sehingga amat jauhlah pengertian
tentang Allah Yang Maha Luhur. Maha Meninggi itu, daripada capaian akal manusia
itu, yang belum dapat mengenal hikmah yang terkan-dung di dalam dirinya sendiri
pun juga.
Tapi usaha manusia itu, yang hendak
pandai-pandai menyimpang daripada ajaran dan petunjuk Tuhan Yang Maha Esa itu,
bukanlah tercapai maksud yang bermula, melainkan sebaliknya menyebabkan dalam
sebagian agama itu, Tuhan Yang Maha Esa semata-mata bertukar dengan manusia,
yang mula-mula membawa berita dari-pada Tuhan itu. Dan ada pula daripada agama-agama
itu yang hendak memanjatkan pengertian manusia sampai kepada mengenal akan Tuhan
Yang Maha Esa itu dengan berjenjang naik, dari paderi-pendeta kepada Nabi dan
segala Malaikat, yang akhirnya menyelubungi Tuhan Yang Maha Esa itu dengan
jumlah yang tak terbilang daripada manusia-manusia yang sakti dan keramat dan
dari pada Malaikat-malaikat hamba Tuhan Yang Maha Esa itu, sehingga hilang
lenyap semat-mata Tuhan itu di balik selubung “Dewata Mulya Raya” yang tidak
terbilang banyaknya itu.
Demikianlah keadaan sampai kedatangan
agama Islam sebagai yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi penutup -
pengunci pengiriman Nabi-nabi dan Rasul pesuruh Allah yang pengha-bisan dengan
kitab Qur’an.
Dengan kitab wasiat Allah SWT yang
peng-habisan itu diwajibkan membaca kepada segala manusia dan diperintahkan
menambatkan ilmu pengetahuan dengan tulisan, sebagaimana disampaikan perintah
itu oleh Nabi Muhammad Rasulullah saw Maka dengan karena itu tiap-tiap ayat
Qur’an yang diturunkan oleh Allah Ta’ala dengan wahyu kepada Nabi saw itu
dituliskan dengan segera dari bermula dan disaksikan, dipelajari bacaannya atau
dihafalkan lafaznya oleh sebanyak-banyaknya orang yang masuk ke dalam
lingkungan pengikut Rasulullah saw itu.
Penyiaran baca tulis yang dengan
demikian tersiar bersama dengan berkembangnya agama Islam dari pada Qur’an itu,
membukakan pula pintu masa kemajuan ilmu pengetahuan yang pertama kali,
membukakan perbendaharaan ilmu pengeta-huan yang menjadi peninggalan masa lalu
di Timur dan Barat dan mengerahkan usaha menyambung perkembangan itu dan
menyalakan cahaya pene-rangan pada akal dan budi pikiran manusia.
Semenjak itu mulailah Qur’an
menyerukan firman Allah ke Timur dan Barat untuk melaksanakan tugasnya yang
tersebut di dalam Qur’an S. Al-Maidah 49:
“……. Membenarkan apa-apa yang telah
ada didapatinya daripada kitab (yang telah diturunkan terlebih dahulu), dan
mejadi ujian (tentang) bagian-bagian yang benar dan yang salah (atasnya)”.
Dan dari sedikit ke sedikit,
bertambah-tambah tersiar seruan Qur’an mengajak kepada aqidah Ketuhanan Yang
Maha Esa yang setegas-tegasnya. Dengan jelas dan tegas, dengan “tak boleh tawar”
ajaran Qur’an membantah dan menampik paham “Amphitheismus” yang mengadakan tanding
kepada Tuhan dalam pertentangan berebut kekua-saan atas ummat manusia. Ajaran Qur’an
mem-bantah dan menampik ajaran “Triplotheismus” yang mengadakan banding atau
tara dari Tuhan Yang Maha Esa yang menyekutuiNya dan berbagai kekuasaan dengan
Dia, Subhanahu wa Ta’ala; ataupun banding atau tara yang berbagai tugas dengan
Dia. Ajaran Qur’an membantah dan me-nampik ajaran “Polytheismus” yang membanyak-kan
Tuhan atau dewata seperti yang sudah tersebut tadi itu.
Seruan Qur’an dengan tolongan
perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan lama-kelamaan telah bertambah-tambah
berhasil. Dan pada masa kita sekarang ini bolehlah kita katakan, bahwa ahliahli
ilmu pengetahuan dan ahli akal dan pikiran dalam segala agama dunia yang
mendasarkan ajaran-ajarannya atau kitab-kitab asli daripada pesuruh-pesuruh Allah,
rata-rata telah mengakui Mono-theismus Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tiap-tiap
agama dunia itu mencarikan tafsir sedapat-dapatnya untuk menyesuaikan pengakuan
itu dengan ajaran agamanya yang seolah-olah berlawanan dengan pengetahuan itu.
Syahdan atas Umat Islam yang menurut
agama Allah di dalam Qur’an sebagai yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad saw
tergantung kewajiban akan tetap meneruskan seruan Ketuhanan Yang Maha Esa itu
dengan kebijaksanaan dengan peringatan yang lemah lembut tapi tegas; supaya mudah-mudahan
dapatlah disusun dan diatur kerja ummat agama untuk mencapai keselamatan ummat
manusia. Selamat daripada “fitnah”, kekacauan, huru-hara, “mungkar”, “Bagha”
pendurhakaan. Segala-gala itu membawa
kerusakan, yang tidak hanya akan orang-orang yang jahat saja melainkan meratai
masyarakat kita segenapnya.
Berhadapan dengan mereka, yang
sekalipun dengan mulutnya mengakui pokok Ketuhanan Yang Maha Esa itu, tapi
terang dengan fi’il-tingkah laku dan perbuatannya mengajak dan menghasut hasut
kita untuk membesar-besarkan hawa nafsu keduniaan dan loba-temaah kepada
kebendaan, biar dengan apapun semboyannya hendaklah kita memohon kepada Tuhan
Yang Maha Esa hidayat petunjuk dan bimbingan taufikNya, menyesuaikan hati kita
supaya dapat kita berlaku menurut firmanNya. (S. Al-Syura 15):
“Maka oleh karena itu meminta do’alah
engkau dan luruskanlah pendirianmu sebagaimana engkau telah diperintah; dan
janganlah engkau peturutkan hawa mereka, melainkan katakanlah aku percaya akan
apa yang diturunkan Allah di dalam kitab dan aku telah di-perintahkan aku mengadili
antara kamu, Allah itu Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi tanggungan kami amal perbuatan
kami dan amal perbuatanmu bagi tang-gunganmu; tak ada janji bagi tuduh menuduh antara
kami dengan kamu dan menjatuhkan hukumannya dan kepadaNyalah kesudahan sampainya
kita”.
Tag :
Nasionalis
0 Komentar untuk "Tafsir pancasila Versi Agus Salim"