Asimetrisme: Keberanian Mengakui Keterbatasan



Pemerintahan berotonomi, adalah pemerintahan yang bekerja dengan pengetahuan dan pengalaman para pejabat dan masyarakatnya. Lebih dari itu, eksponen penyelenggara pemerintahan daerah tidak mungkin dilepaskan dari konteks kultural setempat, dari tata nilai dan adat istiadat yang berlangsung. Justru karena adanya hal-hal seperti itulah masuk akal kalau kewenangan pemerintahan dipindahkan ke tingkat lokal. Lebih dari itu, standar yang berlaku di satu daerah tidak selalu cocok untuk diberlakukan di daerah lain.

Mari kita ambil Bali sebagai kasus. Kita tahu, denyut nadi perekonomian Bali adalah pariwisata. Di Bali telah terbentuk sistem kepariwisataan yang mapan, sedemikai sehingga dalam pegelolaan pariwisata pengkotak-kotakan otonomi daerah di tingkat kabupaten kota justru merepotkan. Bali menghendaki titik berat otonomi daerah berada di tingkat propinsi, dan untuk itu Bali menuntut dikecualikan dari ketentuan yang ada. Bali menuntut diberi status sebagai daerah khusus, karena kekhususan kebutuhan dalam mengelola pariwisata. Perlu diingat bahwa ekonomi pariwisata di Bali memiliki dimensi internasional dan wawasan kedaerahan (kabupaten sentris) tentulah tidak memadai.
Yang harus dicatat secara jujur di sini adalah bahwa kemampuan Bali mengembangkan pariwisata bukanlah karena pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Nasional. Sistem dan budaya pariwisata yang ada disana bukanlah bentukan pemerintah nasional. Untuk itu, asimetri dalam desentralisasi juga perlu dimaknai sebagai pengakuan akan keterbatasan sistem nasional untuk mengemban misi internasional: mengelola industry kepariwisataan. Dalam konteks ini, watak internasionalnya pariwisata Bali justru terselenggara dengan baik oleh eksponen lokal yang bersatu dan tersinergi. Atas dasar hal itu, perlulah kiranya kita sadari bahwa pengembangan tata pemerintahan melibatkan proses saling belajar, bukan (sekedar) proses kuasa menguasai atau proses menaklukkan atas dasar tata kewenangan.
Mind set desentralisasi tersebut tidak semestinya mengandaikan kekuasaan pemerintahan berlangsung dalam vacuum. Kekuatan yang berotonomi dengan serta-merta dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya dalam koridor berfikir birokratis.
Tidak terbayangkan sama sekali bahwa wacana desentralisasi akan melibatkan tarik ulur kewenangan. Kalaulah hal itu terpaksanya terjadi, maka hal itu dimaknai sekedar sebagai proses politicking yang perlu diratapi, bukan keniscayaan yang terjadi.
Desentralisasi tidak sejak dari pangkalnya adalah fenomena politik, dan mengedepannya gejala politik dibalik kelangsung proses desentralisasi ataupun pelaksanaan otonomi daerah disikapi sekedar sebagai ekses.
Patut disayangkan bahwa, selama ini tidak cukup tersedia keberanian untuk mengakui bahwa desentralisasi dan otonomi daerah adalah proses politik. Istilah ‘asimetri’, dalam konteks ini, diambil untuk menggambarkan relasi politik yang melibatkan eksponen lokal dengan eksponen nasional. Desentralisasi, dengan demikian bisa dan perlu dibayangkan sebagai pertarungan kepentingan dan agenda politik yang melibatkan setiap daerah. Kalaulah perpolitikan yang berlangsung menjadikan analisis administratif tidak tepat, bukanlah alasan untuk menyalahkan praktek politik yang berlangsung. Hal ini niscaya terjadi kalau diakui bahwa desentralisasi tidak berlangsung dalam vacuum kekuasaan.
Selama ini ada keengganan untuk mengakui dan dengan langkahlangkah antisipatif mengelola desentralisasi sebagai proses politik.
Pada saat yang sama, tidak ada keberanian untuk mengakui kesalahan di masa lalu, ataupun mengakumulasi pengalaman penting pernah dipraktekkan. Tidaklah mengherankan kalau pada akhirnya sejarah perjalan desentralisasi di negeri ini tapak zigzag.
Ada kalanya Indonesia gila-gilaan mengembosi otonomi, dan pada saat berikutnya gila otonomi. Sehubungan dengan keterbatasan cara pandang atau mind set birokratis tersebut di atas, perlu keberanian untuk membayangkan bahwa desentralisasi pemerintahan bukanlah semata-mata persoalan spesifikasi dan penggunaan kewenangan tidaklah memadai.
Keberhasilan melakukan desentralisasi justru sangat ditentukan oleh kesediaan dan kemampuan belajar dari praktek, termasuk praktek perpolitikan yang berlangsung.
Mengingat dahsyatnya keragaman masyarakat dan kondisi lokal di negeri ini, keinginan untuk menyeragamkan pengaturan pastilah terganjal kendala struktural. Hanya saja, kepengelolaan keragaman ini tidak sempat menjadi kehirauan manakala kita telah terbiasa untuk memikirkan pemerintahan dari pucuk piramida kekuasan, dengan mengandaikan setiap lapis pemerintahan yang lebih rendah mematuhi lapis yang lebih tinggi.
Kita telah terbiasa menggunakan satu framework, yakni framework yang bias kepentingan pusat, yang karena dirawat secara gila-gilaan betul watak resminya hingga seakan-akan boleh menutup mata terhadap realita yang tak terbayangkan sebelumnya. Membabi-butanya kita dengan framework ini menjadikan kita tidak sempat melihat kerangka fikir alternatif, yang berangkat dari konteks tertentu, yang “terperangkap” oleh situasi dan kondisi riel yang tak terelakkan.12 Kondisi lokal yang tak terhindrkan ini tidak mudah dimengerti oleh mereka yang tidak pernah merasakan dan menghayati kehidupan nyata di daerah-daerah.
Sebagai sebuah framework, asimetrisme dalam penataan pemerintahan mengedepan ketika kita mengalisis persoalan dan fenomena pemerintahan secara kontekstual. Kalaulah asimetrisme desentralisasi hendak diberlakukan, pegangannya adalah kontekstualisme.14Jalannya pemerintahan tidak hanya didektekan.
Yang menjadi persoalan di sini bukanlah hanya pandangan antara ‘penguasa’ di yang bekerja di dengan lingkup lintas daerah dan merasa superior dari mereka yang bekerja di level lokal yang didudukkan sebagai ‘obyek kekuasaan’. Kenyataan bahwa lingkup kekuasaan mereka lebih sempit dari lingkup kekuasaan mereka yang bekerja lintas-daerah sama sekali bukan menjadi alasan bahwa eksponen lokal tidak mempunyai kemampuan untuk melawan. Hanya karena perlawanan terbuka tidak terungkap, bukan berarti perlawanan tidak berlangsung.
Eksponen lokal memiliki variasi karena harus bergulat dengan konteks local masing-masing. Sebagai contoh, kalaulah sama-sama membicarakan kemiskinan, ada setting mencolok antara kemiskinan di kawasan perkotaan dengan kemiskinan di kawasan pedesaan. Ada perbedaan atara situasi nelayan miskin dengan situasi petani miskin. Ada kesulitan khas pemerintahan di kawasan kepulauan dengan pemerintahan di kawasan pegunungan. Kalulah sama-sama harus berhadapan dengan isolasi, setting yang dihadapi berbeda-beda.
Sebagai contoh, pegawai keuangan yang memeriksa SPJ tidak mudah memahami kenyataan bahwa biaya untuk perjalanan dari Ambon ke Jakarta jauh lebih murah dari pada biaya untuk mencapai kecamatan terjauh dari pemda di Maluku Tenggara.
Contextualism adalah salah satu faham dalam filsafat ilmu yang meyakini bahwa kemampuan manusia untuk mencermati realita itu sangat terbatas. Apa yang diyakini sebagai kebenaran, harus difahami dalam konteks yang menyertainya.
Sebagai contoh, masyarakat di Papua menolak diperlakukan tidak adil, menolak untuk tetap berada dalam keterbelakangan ekonomi atau kemiskinan. Mereka menggunakan istilah ‘merdeka’ sebagai kondisi ideal. Mereka tahu bahwa istilah mereka atau pro-merdeka menjadi stigma politik pemerintah. Dalam konteks ini, mereka membuat ungkapan yang terasa aneh kalau dilepaskan dari konteksnya: ‘medeka dalam NKRI’.
Contoh lain; Sultan Hamengku Buwono IX mewarini tatanan pemerintahan monarkhi namun pada saat yang sama sangat bersimpati dengan gagasan demokrasi. oleh peraturan perundang-undangan yang diberlakukan secara nasional (terpusat) melainkan juga ditentukan oleh institusi lokal, baik institusi resmi maupun tidak resmi. Singkat cerita, konteks ikut menentukan proses. Formalisme dalam pemikiran dan praktek pemerintahan inilah yang menjadikan konteks lokal tidak dihiraukan, dan pada saat yang sama diabaikan kemampuannya membajak agenda dan istilah resmi yang diberlakukan.
Keengganan untuk mengakui keberadaan dan daya bajaknya ini pada gilirannya justru membuat kepura-puraan (urgensi untuk konsisten secara formal) semakin menjadi-jadi.
Tag : Indonesia
0 Komentar untuk "Asimetrisme: Keberanian Mengakui Keterbatasan"

Back To Top