"Aku
mengabdi kepada Tuhan tidak untuk mendapatkan pahala apa pun. Jangan takut pada
neraka, jangan pula mendambakan surga. Aku akan menjadi abdi yang tidak baik jika
pengabdianku untuk mendapatkan keuntungan materi. Aku berkewajiban mengabdi-Nya
hanya untuk kasih sayang-Nya saja.
Ya
Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalamnya.
Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya. Tetapi
jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan
keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku."
Ratusan
tahun lalu sufi besar, Rabiah Al Adawiyah, mengungkapkan kalimat bijak yang kemudian
dikenal sebagai konsep 'Mahabbah'-nya itu. Bukan apa-apa, memang. Bagi Rabiah,
ibadah dilakoninya semata kasih sayang Tuhan kepada dirinya. Kasih sayang itu, kata
Rabiah, mutiara paling berharga bagi manusia, jika saja manusia itu mengetahui rahasia
di baliknya.
Dilahirkan
di Basrah, Irak, pada tahun 713 M, Rabiah Basri, atau lebih dikenal dengan nama
Rabiah Al Adawiyah, berasal dari keluarga yang hina dina. Kedua orang tuanya meninggal
ketika ia masih kecil. Begitu pula ketiga kakaknya, meninggal ketika wabah kelaparan
melanda kota Basrah. Dalam kesendirian itu, akhirnya Rabiah jatuh ke tangan orang
yang kejam, yang lalu menjualnya sebagai budak belian dengan harga tak
seberapa.
Majikan
barunya pun tak kalah bengisnya. Setelah bebas, Rabiah pergi ke tempat-tempat
sunyi untuk menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia di
sebuah gubuk dekat Basrah. Di sini ia hidup bertapa. Sebuah tikar butut, sebuah
kendil dari tanah, dan sebuah batu bata, adalah harta yang ia punyai dan teman
dalam menjalani hidup kepertapaan.
Praktis
sejak itu, seluruh hidupnya hanya ia abdikan pada Allah SWT. Berdoa dan berdzikir
adalah hiasan hidupnya. Saking sibuknya mengurus 'akhirat', ia lalai dengan urusan
duniawi, termasuk membangun rumah tangga. Meski banyak pinangan datang, termasuk
dari gubernur Basrah dan seorang suci-mistis terkenal, Hasan Basri, Rabiah tetap
tak tertarik menyudahi masa lajangnya. Hal ini ia jalani hingga akhir hayatnya,
pada tahun 801 M, dalam usia 88 tahun.
Dalam
perjalanan kesufiannya, kesendirian, kesunyian, kesakitan, hingga penderitaan tampak
lumer jadi satu; ritme heroik menuju cinta kepada Sang Ada (The Ultimate Being).
Tak
heran jika ia 'merendahkan manusia' dan mengabdi pada dorongan untuk meraih kesempurnaan
tertinggi. Ia jelajahi ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dari agama, hingga
mendapatkan eloknya cinta yang tidak dialami oleh kaum Muslim formal.
Menjadi
sufi dalam perjalanan Rabiah adalah ''berlalu dari sekadar Ada menjadi
Benarbenar Ada''. Dan Sufisme Rabiah merupakan pilihan dari jebakan-jebakan
ciptaan yang tak berguna.
Karena
cintanya kepada Allah, Rabiah sampai tidak menyisakan sejengkal pun rasa cintanya
untuk manusia. Sufyan Tsauri, seorang sufi yang hidup semasa dengannya, sempat
terheran-heran dengan sikap Rabiah. Pasalnya, Sufyan pernah melihat bagaimana Rabiah
menolak cinta seorang pangeran yang kaya raya demi cintanya kepada Allah. Dia tidak
tergoda dengan kenikmatan duniawi, apalagi harta.
Itu
sebabnya, Rabiah dipandang sebagai pelopor model tasawuf mahabbah (cinta
mistik), yaitu penyerahan diri total kepada "Kekasih" (Allah).
Hakikat tasawufnya adalah habbul illah (mencintai tuhan Allah SWT). Bagi
Rabiah, mahabbah tak lain sebagai martabat untuk mencapai tingkat makrifat
(ilmu yang dalam untuk mencari dan mencapai kebenaran dan hakikat) diperolehnya
setelah melalui martabat-martabat kesufian, dari tingkat ibadah dan zuhud
(tapa) ke tingkat ridha (rahmat) dan ihsan (kebajikan), sehingga cintanya
betul-betul hanya untuk Allah SWT.
Di
mata Rabiah, dorongan mahabbah kepada Allah SWT berasal dari dirinya, juga lantaran
hak Allah untuk dipuja dan dicinta. Puncak pertemuan mahabbah antara hamba dan
cinta kasih Allah-lah yang menjadi akhir keinginannya. Lantaran ini pula,
puisi-puisi mahabbah kepada Allah yang banyak diciptakan sufi-sufi masyhur,
seringkali dinisbahkan kepadanya.
Dengan
pengembaraannya yang bagai tak bertepi dalam mengarungi dunia mistik itu, oleh
banyak kalangan pengamal tarekat dan tasawuf Rabiah digolongkan sosok sufi yang
fenomenal. Letak fenomenal seorang Rabiah, selain pada keyakinannya bahwa
segala cinta hanya milik Allah, juga lantaran kerendah-hatian dirinya.
Soal
kasih sayang Allah tadi misalnya, membuat dirinya tidak membenci setan.
"Tidak! Kasih sayang Tuhan tidak mengenal kebencian terhadap setan,"
jawab Rabiah ketika suatu kali ia ditanya apakah dirinya benci kepada setan.
Bukti
cinta Rabiah yang begitu besar melampaui batas-batas segalanya, di antaranya terlihat
dalam syairnya yang masyhur berikut :
Aku
mencintai-Mu dengan dua cinta; cinta karena diriku, dan cinta karena diri-Mu.
Cinta
karena diriku adalah keadaanku yang senantiasa mengingat-Mu.
Cinta
karena diri-Mu adalah keadaan-Mu yang mengungkapkan tabir, sehingga Engkau
kulihat.
Baik untuk ini, maupun untuk itu, pujianku bukanlah bagiku; bagi-Mu lah pujian
untuk
semuanya. Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi; beri ampunlah pembuat
dosa
yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaanku, dan
kesenanganku;
hatiku enggan mencintai selain Engkau.
Suatu
hari, Sufyan Tsauri datang kepada Rabiah. Di depan dirinya, Sufyan mengangkat kedua
tangannya, dan berdoa, "Tuhan Yang Mahakuasa, saya memohon harta duniawi dari-Mu."
Mendengar doa itu, Rabiah kontak menangis. Ditanya mengapa dirinya menangis,
Rabiah menjawab, "Harta yang sesungguhnya itu hanya didapat setelah menanggalkan
segala yang bersifat duniawi ini, dan aku melihat Anda hanya mencarinya di
dunia saja."
Sementara
itu, di saat lain, terbetik kabar seseorang mengirim uang 40 dinar kepada Rabiah.
Ia menangis dan menengadahkan tangannya ke atas, "Engkau tahu, Ya Allah,
aku tak pernah meminta harta dunia dari-Mu, sekalipun Kau-lah pencipta dunia
ini. Lantas bagaimana aku menerima uang dari seseorang, sedangkan uang itu
sesungguhnya bukan kepunyaannya?"
Tak
hanya bagaimana kerendahan dan ketakberdayaan seorang hamba ia tunjukkan di hadapan
Tuhannya, Rabiah juga senantiasa mengajarkan sifat dan sikap kerendah-hatian dan
tawadhu kepada murid-muridnya.
Ia
juga melarang para muridnya itu menunjukkan perbuatan baik mereka kepada siapa pun.
Bahkan, Rabiah meminta murid-muridnya itu untuk menyembunyikan perbuatan baik
mereka, sebagaimana menutupi-nutupi perbuatan jahat mereka.
Bagi
Rabiah, segala penyakit dilihatnya sebagai cobaan yang datang dari Allah.
Terhadap masalah ini, Rabiah selalu memikul setiap cobaan yang datang itu
dengan penuh tabah dan kesabaran. Rasa sakit yang dahsyat sekalipun, tidak
pernah mengganggunya dari perhatian dan pengabdiannya kepada Tuhannya. Bahkan,
sering ia tidak menyadari ada bagian tubuhnya terluka sampai ia diberitahu
orang lain.
Suatu
saat misalnya, kepalanya terbentur batang pohon hingga berdarah. Seseorang yang
melihat darah bercucuran itu, dengan hati-hati bertanya, "Apakah Anda
tidak merasa sakit?"
"Aku
dengan segala ragaku mengabdi kepada Allah SWT. Aku berhubungan erat dengan Nya,
aku disibukkan-Nya dengan hal-hal lain daripada hal-hal yang pada umumnya kalian
rasakan," jawab Rabiah.
Sekalipun
penuh liku, banyak kalangan mengakui kehidupan Rabiah tak sedikit menyisakan
keajaiban, yakni keajaiban milik orang-orang suci. Rabiah misalnya, mendapatkan
makanan dari tamu-tamunya dengan cara yang aneh-aneh. Disebutkan, ketika Rabiah
menghadapi maut, ia minta kepada teman-temannya untuk meninggalkannya.
Rabiah
lalu menyilakan para utusan Tuhan lewat. Ketika teman-teman Rabiah keluar itu, mereka
mendengar Rabiah mengucapkan syahadat, lantas terdengar suara menjawab, "Sukma,
tenanglah, kembalilah kepada Tuhanmu, legakan hatimu pada-Nya. Ini akan memberikan
kepuasan kepada-Nya."
Dalam
batas yang ada, Rabiah adalah 'hidup' dan senantiasa akan terus 'hidup' melalui
pekerti ilmunya.
Tag :
Tokoh
0 Komentar untuk "Rabiah Al Adawiyah"