"Kita
diberi makan bukan hanya karena kita dibutuhkan susunya."
Itulah ekspresi
patriotisme Haji Oemar Said Tjokromaninoto untuk menentang penghisapan dan eksploitasi
oleh pemerintahan kolonial.
HOS Tjokroaminoto
merupakan orang pertama yang meneriakkan Indonesia merdeka. Sosok dan
pengaruhnya begitu ditakuti oleh pemerintah Hindia Belanda. De Ongekroonde van
Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota" adalah julukan pemerintah
colonial Belanda untuknya.
Laki-laki kelahiran Desa
Bakur, Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur pada tahun 1883 ini memang tak memiliki
pendidikan formal. Putera dari Raden Mas Tjokroamiseno ini hanya lulusan
akademi pamong praja Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaren (OSVIA) di
Magelang. Ia adalah otodidak yang merniliki pengaruh kuat di kalangan rakyat
jelata. Bahkan tidak sedikit rakyat yang menganggapnya sebagai Ratu Adil, karena
gagasannya dianggap melebihi zaman serta selalu berpihak kepada rakyat dan
tanah airnya. Tapi, seperti ditulis sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara, dalam
bukunya Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Tjokro justru
menolak sebutan itu. Dia justru mengingatkan bangsa Indonesia untuk bekerja
keras menciptakan Indonesia merdeka.
Karir Tjokro berawal
setelah ia bertemu dengan Haji Samanhudi, pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI),
di Surabaya pada 1912. Saat itu Tjokro mengusulkan agar nama SDI diubah menjadi
Sarekat Islam tanpa meninggalkan misi dagangnya agar lebih luas cakupannya.
Usul itu langsung diterima dan ia diminta menyusun anggaran dasar SI. Tanggal 10
September 1912 SI pun resmi berdiri dengan Samanhudi menjadi ketua dan Tjokro
menjadi komisaris untuk Jawa Timur.
Pada 1915, Tjokro
menjadi ketua Central SI yang merupakan gabungan dari SI di daerah-daerah.
Sejak saat itu ia terus berjuang mengukuhkan eksistensi SI. Dalam naungan
organisasi ini Tjokro berjuang untuk menghapuskan diskriminasi usaha terhadap pedagang
pribumi. Dengan kata lain, SI berupaya menghilangkan dominasi ekonomi penjajah
Belanda dan para pengusaha keturunan Cina. Maret 1916, SI diakui secara nasional
oleh pemerintah Hindia Belanda.
Memang, berbeda
dengan pemuda keturunan bangsawan lainnya, H.o.s. Tjokroaminoto merupakan tokoh
yang berupaya keluar dari belenggu budaya Jawa. Tidak mengherankan kalau ia
tidak memilih organisasi Budi Utomo sebagai wadah perjuangannya.
Padahal Tjokroaminoto
layak bergabung dalam organisasi eksklusif priyayi itu. Ayahnya, RM. Tjokroamiseno
adalah Wedana di Kleco, Madiun, sedangkan kakeknya, RM Tjokronegoro adalah
Bupati Ponorogo.
Selain kemerdekaan
Indonesia, pokok gagasan Tjokro yang terkenal adalah pentingnya kebebasan berpolitik
serta perlunya membangkitkan kesadaran akan hak-hak kaum pribumi. Gagasan
patriotiknya bisa dilihat dalam berbagai ceramah dan tulisan di media massa
seperti Bintang Surabaya, Utusan Hindia, Fajar Asia. Tjokroaminoto juga
melakukan gerakan penyadaran itu terhadap anak-anak muda yang indekos di
rumahnya di Surabaya.
Ia ingin bangsa Indonesia
memiliki pemerintahan sendiri dan terbebas dari belenggu penjajahan.
Paling tidak, untuk
tahap awal, bangsa Indonesia bisa menyalurkan suaranya dalam masalah politik, misalnya,
lewat pembentukan sebuah parlemen sebagai perwujudan prinsip demokrasi. Dengan
begitu, kehidupan bangsa Indonesia diatur oleh perundangan - undangan yang
diputuskan oleh bangsa Indonesia sendiri di lembaga itu. Gagasan Tjokroaminoto itu
dilontarkannya di tengah-tengah Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam
pada tahun 1916. Tentu saja, di masa itu pandangan tersebut dinilai sangat luar
biasa berani dan progresif.
Tak lama setelah ia
mengusulkan pembentukan sebuah parlemen, tepatnya pada 1918, pemerintahan kolonial
Belanda bersedia membentuk Dewan Rakyat (Volksraad). Tjokroaminoto dan tokoh SI
lainnya, yaitu Abdul Muis dan Agus Salim terpilih sebagai anggota dewan itu.
Mereka pun bertekad untuk membentuk parlemen sejati. Ketiganya sempat
mengeluarkan mosi agar anggota parlemen dipilih dari dan oleh rakyat, serta
membentuk pemerintahan yang bertanggung jawab kepada parlemen. Sayang, mosi itu
ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda. Hal itu pulalah yang memaksa SI untuk
mengambil alih sikap nonkooperasi dengan pemerintah.
Pada kongres tahun
1923 yang diadakan di Madiun, SI akhirnya diubah menjadi partai politik, dengan
nama Partai Sarekat Islam (PSI). Partai itu bertekad untuk menentang pemerintah
Belanda yang melindungi kapitalisme.
Sayang, sebelum
cita-citanya terkabul, pada 17 Desember 1934, Tjokro harus menghadap Sang
Khalik.
Tapi, ia meninggalkan
seorang murid yang kelak akan meneruskan harapannya. Soekarno pun mengakuinya. "Tjokroaminoto
adalah salah satu guru saya yang amat saya hormati. Kepribadian dan
Islamismenya sangat menarik hati saya."
0 Komentar untuk "H.O.S. Tjokroaminoto Tokoh Pergerakan Nasional"