Khazanah intelektual Islam era kekhalifahan Abbasiyah pernah
mengukir sejarah emas dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan pemikiran keagamaan.
Salah satu tokoh terkemuka sekaligus pemikir dan peletak dasar keilmuan politik
Islam penyangga kemajuan Abbasiyah itu adalah Al Mawardi. Tokoh yang pernah
menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah ini, menjadi penyelamat
berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). "Al Khatib of
Baghdad," tulis seorang orientalis.
Ulama penganut mazhab Syafi'i ini bernama lengkap Abu al
Hasan Ali bin Habib al Mawardi. Lahir di kota pusat peradaban Islam klasik, Basrah
(Baghdad) pada 386 H/975 M, Al Mawardi menerima pendidikan pertamanya di kota
kelahirannya. Ia belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as Saimari, seorang
ahli hukum mazhab Syafi'I yang terkenal.
Kemudian, pindah ke Baghdad melanjutkan pelajaran hukum,
tata bahasa, dan kesusastraan dari Abdullah al Bafi dan Syaikh Abdul Hamid al
Isfraini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik ilmu-ilmu agama,
seperti hadis dan fiqh, juga politik, filsafat, etika dan sastra.
Sebagai seorang penasihat politik, Al Mawardi menempati
kedudukan yang penting di antara sarjana-sarjana Muslim. Dia diakui secara
universal sebagai salah seorang ahli hukum terbesar pada zamannya. Al Mawardi
mengemukakan fiqh madzhab Syafi'i dalam karya besarnya Al Hawi, yang dipakai
sebagai buku rujukan tentang hukum mazhab Syafi'i oleh ahli-ahli hukum di
kemudian hari, termasuk Al Isnavi yang sangat memuji buku ini. Buku ini terdiri
8.000 halaman, diringkas oleh Al Mawardi dalam 40 halaman
berjudul Al Iqra.
Menelaah pemikiran Al Mawardi, bisa dikatakan cukup dengan
membaca karyanya, Al Ahkaam Al Shultoniyah (Hukum-hukum Kekuasaan), yang
menjadi master piece-nya.
Meskipun ia juga menulis beberapa buku lainnya, namun dalam
buku //Al Ahkaam Al Shultoniyah// inilah pokok pemikiran dan gagasannya
menyatu.
Dalam magnum opusnya ini, termuat prinsip-prinsip politik
kontemporer dan kekuasaan, yang pada masanya dapat dikatakan sebagai pemikiran
maju, bahkan sampai kini sekalipun. Misalnya, dalam buku itu dibahas masalah
pengangkatan imamah (kepala negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur,
panglima perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, jabatan wali pidana.
Selain itu, juga dibahas masalah imam shalat, zakat, fa'i dan ghanimah (harta
peninggalan dan pampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan
daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas
umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat, masalah dokumen negara
dan lain sebagainya.
Baginya, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja,
presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya sangat
penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam
akan timbul suasana chaos.
Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa
menjadi tidak berharga. Lantas bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap
legal? Dalam hal ini, Al Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan)
dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen
(ahlul halli wal aqdi). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan
mengurai, atau juga disebut model Al Ikhtiar. Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya.
Model pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe
kedua, Al Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan khalifah
Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar Ash Shiddiq.
Dalam masalah pemecatan seorang khalifah, Al Mawardi
menyebutkan dua hal yang mengubah kondite dirinya, dan karenanya ia harus mundur
dari jabatannya itu. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat
syahwat, atau akibat syubhat. Kedua, cacat tubuh.
Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat
yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan
secara permanen, hilang penglihatan). Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat
tindakan. Sedangkan cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam,
seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat
perasa, seperti membedakan rasa makanan.
Berkaitan dengan masalah jihad, Al Mawardi menegaskan,
selain perintah jihad kepada orang kafir, jihad dibagi menjadi tiga bagian :
jihad untuk memerangi orang murtad, jihad melawan para pemberontak (dikenal
juga sebagai bughat), dan jihad melawan para pengacau keamanan. Bila kita
cermati, pembagian versi Al Mawardi ini selalu tersangkut-paut dengan politik
kekuasaan, alias mengalami reduksi dari maknanya yang luas.
Dalam hubungannya jihad terhadap mereka yang murtad, Al
Mawardi membagi dua kondisi. Pertama, mereka berdomisili di negara Islam dan
tidak memiliki wilayah otonom. Dalam kondisi seperti ini, mereka tidak berhak
diperangi, melainkan perlu diteliti latar belakang keputusannya untuk kemudian
diupayakan bertobat. Kedua, mereka memiliki wilayah otonom di luar wilayah
Islam. Mereka wajib diperangi.
Soal jihad melawan pemberontak, ia menulis, "Jika salah
satu kelompok dari kaum Muslimin memberontak, menentang pendapat (kebijakan)
jamaah kaum Muslimin lainnya, dan menganut pendapat yang mereka ciptakan sendiri;
jika dengan pendapatnya itu mereka masih taat kepada sang imam, tidak memiliki
daerah otonom di mana mereka berdomisili di dalamnya, mereka terpencar yang
memungkinkan untuk ditangkap, berada dalam jangkauan negara Islam, maka mereka
dibiarkan, tidak diperangi, kewajiban dan hak mereka sama dengan kaum Muslimin
lainnya.
Dalam banyak hal, khususnya dalam konteks demokrasi dan
politik modern, sulit rasanya menerapkan konsep dan pemikiran Al Mawardi secara
penuh. Barangkali, hanya beberapa bagian, semisal dalam masalah kualifikasi dan
pengangkatan seorang imam, juga masalah pembagian kekuasaan di bawahnya. Namun
demikian, wacana Al Mawardi ini sangat berbobot ketika diletakkan sebagai
antitesis dari kegagalan teori demokrasi, dan sumbangan khazanah berharga bagi
perkembangan politik Islam modern.
Bahkan, harus diakui pula bahwa pemikiran dan gagasannya
memiliki pengaruh besar atas penulis-penulis generasi selanjutnya, terutama di
negeri-negeri Islam. Pengaruhnya ini misalnya, terlihat pada karya Nizamul Mulk
Tusi, yakni Siyasat Nama, dan Prolegomena karya Ibn Khaldun. Khaldun, yang
diakui sebagai peletak dasar sosiologi, dan pengarang terkemuka mengenai
ekonomi politik tak ragu lagi telah melebihi Al Mawardi dalam banyak hal.
Setelah seluruh hayatnya diabdikan untuk dunia ilmu dan
kemaslahatan umat, Sang Khaliq akhirnya memanggil Al Mawardi pada 1058 M, dalam
usia 83 tahun.
Pada tahun 1037 M, khalifah Al Qadir, mengundang empat orang
ahli hukum mewakili keempat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali).
Mereka diminta menulis sebuah buku fikih. Al Mawardi terpilih untuk menulis
buku fikih mazhab Syafi'i.
Setelah selesai, hanya dua orang yang memenuhi permintaan
khalifah sesuai yang diharapkan, yakni Al Quduri dengan bukunya Al Mukhtashor
(Ringkasan), dan Al Mawardi dengan kitabnya Kitab Al Iqna'.
Khalifah memuji karya Al Mawardi sebagai yang terbaik, dan
menyuruh para penulis kerajaan untuk menyalinnya, lalu menyebarluaskannya ke
seluruh perpustakaan Islam di wilayah kekuasaannya.
Selain kedua karyanya, yakni Kitab Al Iqna', dan Al Ahkaam
al Shultoniyah, Mawardi yang sejak kecil bercita-cita menjadi pegawai negeri
ini juga menulis buku Adab al Wazir (Etika Menteri), Siyasat al Malik (Politik
Raja), Tahsil un Nasr wat Ta'jit uz Zafar (Memudahkan Penaklukan dan
Mempercepat Kemenangan). Al Ahkam al Shultoniyah telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris, Prancis, Italia, Indonesia, dan Urdu.
Al Mawardi juga menulis buku tentang 'perumpamaan' dalam
Alquran, yang menurut pendapat As Suyuthi, merupakan buku pertama dalam soal
ini. Menekankan pentingnya buku ini, Al Mawardi menulis, "Salah satu dari
ilmu Quran yang pokok adalah ilmu 'ibarat' atau 'umpama”.
Tag :
Tokoh
0 Komentar untuk "Al Mawardi Ahli Hukum Abad IX"