Aktivis Indonesia - Nama lengkap Ibnu Qoyyim adalah Muhammad bin Abu Bakar bin
Said bin Hariz Azzar'ie. Ia berasal dari Damsyik. Nama julukannya adalah
syamsuddin. Nama sehariharinya ia dipanggil "Abu Abdullah".
Mengapa ia dipanggil Ibnu Qoyyim? Padahal dilihat dari nama
sebenarnya ia tidak ada kaitan dengan nama Qoyyim. Persoalannya, ayahnya adalah
seorang pendiri dan pengasuh perguruan "Al-Jauziyah"n, daerah pasar
gandum di kota Damsyik. Karena bapaknya adalah pendiri (qoyyim) perguruan
tersebut, maka ia dipanggil dengan "Ibnu Qoyyim Al Jauziyah". Tapi
singkatnya ia dipanggil "Ibnu Qoyyim".
Ibnu Qoyyim dilahirkan di kota Damsyik (sekarang Damaskus)
tahun 691 H (1292 M). Ia dibesarkan dalam keluarga ilmuwan. Kondisi askripsi
ini dilimpahkan pada Ibnu Qoyyim, sehingga ia menjadi terkenal, lantaran situasi
ketika ia dilahirkan dan dibesarkan, kota Damsyik tengah berada dalam keadaan
puncak peradaban ilmu pengetahuan. Dan Islam merupakan bagian yang sangat
internalized dalam setiap individu maupun masyarakatnya.
Ilmu pengetahuan dan peradaban Islam sangat kental di kota
Damsyik. Sehingga lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah bertebaran di
mana-mana. Namun Ibnu Qoyyim menjadikan ayahnya sebagai gurunya langsung. Ia
mendapat bimbingan dpengarahan dari ayahnya sendiri. Luas ilmu yang dimiliki
Ibnu Qoyyim karena sangat dipengaruhi oleh berbagai guru lain yang menjadi ulama
terkenal seperti: Ahmad Ibnu Taimiyah, Ibnu Syirazi, dan lain-lain. Dengan
demikian tidak mengherankan ia menjadi ulama yang kondang di abad ke-8
hijriyah.
Fikiran-fikirannya sangat tajam dan cemerlang. Keistiqomahan
sangat tercermin dalam tulisan-tulisan dan sikapnya terhadap fenomena-fenomena
kemaksiatan yang ada. Ia melontarkan fikiranfiirannya mengenai kemaksiatan dan
dampak-dampaknya pada pribadi dan masyarakat.
Pertama: Karena berbuat maksiat, maka seseorang akan terbiasa
dengan kemaksiatan. Hal ini dapat dipahami dalam masyarakat. Seseorang pada
awalnya merasa aneh dengan kemaksiatan yang ada di lingkungan. Kemudian, ia mencoba
mencicipi buah terlarang (maksiat). Lama-kelamaan akan terdorong untuk
melakukan tindakan maksiat berikutnya.
akhirnya, tindakan coba-coba tersebut berakhir menjadi
kebiasaan. Kemaksiatan (kesenangan semu) ini menjadi kebiasaan karena peranan syetan
yang idak henti-hentinya mengganggumanusia untuk menjadi abdi mereka.
Kedua: Karena melakukan perbuatan maksiat, seseorang
kehilangan rasa malu. ras malu merupakan cerminan pribadi manusia. Bila manusia
sudah kehilangan rasa malu, pandangan, hati dan pendengarannya seakan-akan
tertutup dari kebenaran. Dengan demikian ketiadaan rasa malu pada diri manusia
digambarkan sebagai tanpa rasa. Karsa dan karya yang bersifat kemanusiaan.
Ibnu Qoyyim tidak melepaskan dirinya dari proses belajar dan
mengjar (bima tu'allimu nal kitab wa bima kuntum tadrusun). Ia mengajar di
perguruan Al Jauziyah, milik ayahnya.
Profesi gurunya ia tekuni meskipun ia sudah menjadi ulama
termasyhur dan disegani.
Murid-muridnya banyak sekali. Muridnya yang turut muncul ke
permukaan anatar lain Ibnu Katsir. Keulamaannya sangat tercermin dengan sikap
hidupnya yang bisa menjadi teladan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Begitu
juga di sela-sela waktunya sebagai pendidik dan tokoh refernsi keagamaan masyarakat,
ia tidak melupakan diri untuk mengkonstruksikan fikiran-fikirannya dalam bentuk
buku.
Sejak kecil, Ibnu Qoyyim sudah nampak bakat intelektualitas
dan keulamaannya. Ia giat belajar, terbuka sifat pribadinya, rendah hatinya,
tenang penampilannya, disenangi sikap dan kearifan fikirannya oleh masyarakat,
tegar ucapannya walaupun harus menghadapi resiko. Sifat-sifat tersebut
terkumpul dalam perilaunya dan turut pula menshibghah kebudayaan dan
pengetahuan yang ada.
Kepribadian dan prilakunya yang menarik dan menonjol tersebut
lantaran ia begitu sulit melepaskan diri dari Qurän dan Hadits. Setelah ia menghafal
Al-Qurän secara sempurna, dilanjutkan dengan menhafal Hadits. Ia pun menjadikan
sastra dan bahasa sebagai pusat perhatiannya. Kompleksitas pengetahuan dalam dirinya
didukung oleh manhaj yang tertata dengan baik, tercermin dalam kajian, fikiran
dalam buku-bukunya. ia begitu sabar, sistematik dan teliti uraiannya,
pembahasannya luas dan mendalam. Dengan demikian, tulisannya terasa tersuguhkan
dengan lengkap, serasi dan berkesinambungan.
Karena itu, tidak mengherankan bila seorang doktor dari Al
Azhar yakni Al Ustadz Husaini Ali Ridwan membahas secara khusus mengenai
tulisan Ibnu Qoyyim. [Majalah Sabili No. 33 Tahun II Januari 1991]
Tag :
Tokoh
0 Komentar untuk "Ibnu Qoyyim (Ilmuwan dari keluarga ilmuwan)"