"Di bulan Januari, anak perempuan saya lahir.
Sebelum Fatmawati mengandung, ia pernah bermimpi diberikan seuntai kembang
sepatu merah oleh ayah saya. ini berarti bahwa dia segera dikarunia seorang
putri. Saya tak pernah melupakan bahwa pada tanggal 23 Januari (1947), istri
saya berada di tempat tidur dan tidak dibawa ke rumah bersalin. Kamar disiapkan
untuk melahirkan putriku. Namun, tiba-tiba lampu padam, gelap gulita, langit
gelap sekali seolah ditelan awan gelap malam. Mega gelap dan berat. Hujan turun
menghantam langit-langit rumah, air hujan masuk melalui atap-atap rumah yang
bocor, deras sekali. Air masuk menggenangi rumah. Dokter dan juru rawat
memindahkan Fatmawati ke kamar tidumya. Dia basah kuyup, seperti juga perkakas
dokter, kain sprei, pendeknya semua. Dalam kegelapan malam itu, cuma ada
penerangan dari sebatang lilin. Putri kami lahir. Kami menamakannya Megawati.
Mega berarti awan. "
Kalimat-kalimat itu
bisa ditemukan dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams.
Kalimat yang dituturkan Sukarno saat mengenang kelahiran putrinya, Dyah Permata
Megawati Setyawati Soekarnoputri. Mega lahir di Istana Negara Yogyakarta, yang
sekarang bernama Gedung Agung. Menurut orang Jawa, seseorang yang lahir dalam
kondisi seperti itu akan mengalami perjalanan hidup yang tidak gampang.
Ternyata, kehidupan Megawati memang tidak mudah.
Masa kecilnya
dihabiskan dalam persembunyian dan pelarian karena situasi revolusioner. Baru
setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar, 27
Desember 1949, Cadis atau Adis, panggilan akrab Mega, bisa memulai kehidupan baru.
Ia dan saudara-saudaranya dapat menikmati kemerdekaan di istana. Mega pun bisa
menyelesaikan pendidikannya. SD, SMP, SMA ia lalui di Perguruan Cikini Jakarta
Pusat. Mega sempat kuIiah FakuItas Pertanian di Universitas Padjajaran, namun
dengan adanya peristiwa C 30 5, ia memilih keluar supaya bisa mendampingi
ayahnya. Setelah
keadaan mulai membaik,
Mega kembali kuliah ke Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) pada 1970.
Tapi, akhirnya harus keluar pada 1972. Saat itu suaminya, Surindro Supjarso,
letnan satu penerbang TNI AU, hilang dalam sebuah kecelakaan pesawat di Biak,
Papua, pada 1970.
Hingga akhirnya
Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) PDI, Desember 1993, di Jakarta, mengubah
total hidupnya. Ia tampil menjadi ketua umum PDI. Jabatan ketua ini tak begitu
saja ia dapatkan. Dalam Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya secara defacto, Mega
terpilih menjadi ketua umum PDI.
Tapi, pemerintah baru
mengakui posisi Mega setelah Munaslub di Jakarta.
Tapi cerita belum selesai.
setahun menjelang pemilu, tepatnya Juni 1999, Megawati mulai
"digarap" lagi. Maka, digelarlah Kongres PDI di Medan untuk menggusur
Mega. Dalam perhelatan yang tidak dihadiri Megawati dan pendukungnya, soerjadi,
mantan ketua umum PDI, tampil lagi memimpin barisan banteng. Para pendukung
Mega pun gusar. Mereka lalu menduduki kantor PPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta,
sambil mengadakan mimbar bebas. Hujatan dan cacian kepada Soerjadi maupun
pemerintah pun terlontar dalam aksi mereka.
Bentrokan terjadi
ketika massa yang mengaku pendukung soerjadi ingin mengambil alih kantor itu. Maka,
lahirlah Peristiwa 27 Juli 1996. Sekitar pukul 06.30, ratusan orang menyerbu kantor
DPP PDI.
Terpaksa massa Mega
berhamburan keluar mencari selamat. Yang mengherankan, insiden itu akhirnya membesar
menjadi kerusuhan yang merembet ke kawasan-kawasan sekitarnya. Puluhan mobil
dan belasan gedung dibakar, ratusan orang luka-luka, dan beberapa orang tewas.
Walaupun kelompok
Mega terus menggugat keabsahan PDI pimpinan soerjadi, bahkan lewat jalur hukum,
keadaan tak berubah sehingga PDI Soerjadilah yang ikut Pemilu 1997. PDI
"boneka" pemerintah ini akhirnya cuma mendapat 11 kursi DPR.
Tahun 1998 ternyata
juga belum menjadi milik Mega. la cenderung memilih diam dan tidak tampil ke
muka. Menjelang Pemilu 1999, barulah ia berbenah untuk tampil.
Awal 1999, PDI
mengubah nama menjadi PDI Perjuangan (PDIP). Dalam pemilu yang demokratis pada
pertengahan 1999, PDIP tak terbendung. Partai itu memenangi pemilu dengan
meraup 154 kursi di DPR. Histeria pendukung Mega semakin dahsyat.
Mereka menganggap
kursi presiden sudah di depan mata. Sayangnya menjelang Sidang Umum MPR tahun 1999,
Megawati enggan melakukan lobi untuk menggalang dukungan. Yang saat itu sangat
aktif dalam lobbying justru Gus Dur dan Amien Rais. Miskinnya manuver PDIP itu
berakibat fatal. Megawati gagal menjadi presiden. Ia harus puas menjadi wakil presiden
mendampingi Gus Dur.
Megawati akhirnya
menuai keberuntungan. Setelah Gus Dur diguncang kasus Buloggate, Sidang
Istimewa MPR pada tanggal 23 Juli 2001 mencopot Gus Dur dari kursi presiden dan
kemudian menobatkan Mega menjadi presiden RI periode 2001-2004.
Selama masa kepemimpinannya,
ia memang belum bisa berbuat banyak mengubah birokrasi yang korup dan tata
kelola pemerintahan yang tidak efisien.
Walaupun prestasinya
dalam pemerintahan tidak menonjol, nama Megawati tetap dikenang sebagai simbol
people power menghadapi rezim yang otoriter.
0 Komentar untuk "Megawati Soekarnoputri Mantan Presiden RI"