Saat Islam jatuh ke jurang
keruntuhan (abad ke-18), kerusakan budi dan moral amat parah. Pendidikan
terhenti, pemerintahan menjadi despotis, kadang terjadi anarki, agama membeku,
ketauhidan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW telah diselubungi khurafat,
mesjid-mesjid ditinggalkan oleh golongan besar yang awam, azimat dan penangkal
penyakit merajalela sebagai “kepercayaan baru” umat, menziarahi kuburan
“orang-orang keramat” mentradisi, pemujaan terhadap “orang-orang suci” yang
dijadikan sebagai “perantara” komunikasi dengan tuhan, menggejala. Minum arak
dan mengisap candu jadi hal biasa, pelacuran merajalela, dan akhlak merosot
serta kehormatan diri rusak.
Dunia Islam diliputi kegelapan. Tapi
tiba-tiba, bergemalah seruan dari padang pasir yang luas – tempat lahir Islam
di tanah Arab – memanggil Umat Islam kembali ke jalan yang benar. Adalah
Muhammad bin Abdul Wahab yang menggemakan seruan itu. Ia menggerakkan Umat
Islam untuk memperbaiki jiwa dan membangkitkan kemegahan dan kebesaran Islam.
Abdul Wahab adalah sosok pembaharu
yang cukup berpengaruh sekaligus berhasil menggedor mata hati umat. Ia
melancarkan gerakan pembaharuannya berdasarkan ide-ide Ibnu Taimiyah.
Gerakannya ini dikenal dengan Wahabiyah atau Wahabisme, suatu gerakan pemurnian
ajaran Islam yang berkembang menjadi gerakan pembaharuan pemikiran umat Islam.
Muhammad bin Abdul Wahab lahir di
desa Ainiyah Nejed pada tahun 1703M/1115H. Ia lahir di tengah lingkungan
masyarakat yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang sederhana dan asli,
sesuai dengan watak Arabnya.
Semenjak kecil Abdul Wahab amat
tertarik mendalami agama. Pada tahap awal, ia belajar agama pada ayahnya
sendiri, yaitu Abdul Wahab, seorang ulama Ahlussunah wal Jama’ah. Pada usia
remaja, seusai menunaikan ibadah haji, untuk kedua kalinya ia pergi ke Makkah
untuk menuntut ilmu dan tinggal di sana. Di Madinah ia berguru pada dua orang
ulama bernama Sulaiman al Kurdi dan Muhammad Hajad al Sindi. Setelah itu, ia
melanjutkan petualangannya ke Irak, tepatnya ke Basrah selama 4 tahun dan
Baghdad 5 tahun.
Di Baghdad ia menikah dengan wanita
kaya raya. Ketika istrinya meninggal, ia merantau lagi ke Kurdistan selama 1
tahun, dan selama beberapa tahun ke Hamadan dan Isfahan (Iran). Ia pun
mendalami ilmu filsafat dan tasawuf selama di Iran. Akhirnya, ia kembali lagi
ke Nejed.
Dalam perantauannya, Abdul Wahab
menyaksikan berbagai bentuk praktek agama yang – menurutnya – jauh menyimpang
dari ajaran Islam yang murni. Ia melihat maraknya pemujaan terhadap wali,
kuburan, dan lain-lain. Salah satu aspek yang cukup mendapat perhatian dari Abdul
Wahab adalah masalah taklid (mengikuti pendapat/paham orang lain secara membabi
buta) yang merupakan sumber kebekuan atau kejumudan pemikiran Umat Islam
sendiri. Padahal untuk memahami ajaran yang terkandung dalam Al Qur’an dan
Hadits, orang harus berijtihad. Karena itu, pintu ijtihad tidak perlu ditutup.
Ketika kembali ke Nejed Abdul Wahab
bertekad untuk menyebarkan reformasi dan pemurnian Islam, menggedor pintu hati
dan pikiran umat. Pada tahun 1714 M, di usia yang masih muda, ia memulai
gerakan pembaharuannya berdasarkan ide-ide pembaharuan Islam Ibnu Taimiyah yang
telah didalaminya melalui kitab-kitabnya.
Lahirnya Wahabisme yang kata Rifyal
Ka’bah dalam Islam dan Fundamentalisme (1984), menyalahkan pemujaan orang-orang
shaleh dan menentang semua khurafat dan bid’ah. Wahabisme telah menjiwai
gerakan untuk kembali pada monoteisme (tauhid) seperti yang ada di masyarakat
Islam pada permulaan sejarah Islam.
Praktek-praktek bid’ah dan syirik
dipandang Abdul Wahab sebagai situasi jahiliyah. Pokok pemikirannya lebih
terarah pada “gerakan pemurnian ajaran tauhid” yang muncul sebagai reaksi atas
paham ajaran tauhid yang berkembang (dan menyimpang).
Gerakan Wahabisme makin berkembang
berkat dukungan seorang penguasa Nejed, yakni Muhammad Ibnu Saud. Lambat laun padang
pasir Arab ditempa oleh “duet” Wahab – Saud dan menjadi kesatuan politik
keagamaan, seperti yang diwujudkan Nabi Muhammad SAW. Muhammad Ibnu Saud memang
menjadi pengikut Wahabisme fanatic pertama dan utama. Keturunannya pun hingga
sekarang, yakni keluarga kerajaan Arab Saudi, menjadi pendukung utama
Wahabisme.
Abdul Wahab wafat tahun 1787M/1206H.
Awal abad XX Wahabisme bangkit kembali di bawah kepemimpinan putera Muhammad
Ibnu Saud, yakni Abdul Aziz Ibnu Saud.
Penguasa Nejed yang baru, berhasil
menaklukan Makkah (1924), Madinah (1925), Jeddah, dan daerah sekitarnya. Pada
tahun 1926 ia mengumumkan dirinya sebagai raja Hijaz. Tahun 1932 ia mendirikan
kerajaan Arab Saudi. Secara turun temurun, keturunannya pun menjadi Raja Saudi,
hingga Raja Fahd saat ini. [Tabloid MQ EDISI 5/TH.II/SEPTEMBER 2001]
Tag :
Tokoh
0 Komentar untuk "Muhammad Bin Abdul Wahab"