Filsafat tak asing di kalangan
sarjana Muslim. Mereka banyak bergelut dengan filsafat dan mengembangkannya
menjadi sebuah aliran filsafat tersendiri. Maka tak heran jika kemudian lahir
filosof Muslim yang memberikan pengaruh besar dalam jagad filsafat.
Sebut saja misalnya, Sadr al-Din
Muhammad ibnu Ibrahim ibn Yahya al-Qawami al- Shirazi, yang dikenal dengan
Mulla Sadra atau Sadr al-Muta'allihin. Para muridnya memanggilnya dengan
sebutan Akhund. Ia dilahirkan di Shiraz, Iran, sekitar 1571, dari keluarga
terpandang, Qawam.
Ayah Mulla Sadra, Ibrahim bin Yahya
Al Qawami Al Shirazi, merupakan orang berilmu dan saleh. Ia pun pernah menjabat
sebagai Gubernur provinsi Fars. Sang ayah memiliki kekuasaan yang istimewa di
kota Shiraz. Tak heran jika Mulla Sadra mendapatkan perhatian dan pendidikan
yang terbaik.
Apalagi berabad sebelumnya, Shiraz
merupakan pusat ilmu, baik filsafat maupun ilmu tradisional lainnya. Kondisi
ini membuatnya cepat menguasai beragam ilmu baik Bahasa Arab maupun Persia,
Alquran dan Hadis serta bidang ilmu lainnya.
Meski demikian, hal itu tak membuat
Mulla Sadra merasa puas. Maka untuk memuaskan rasa dahaganya akan ilmu, ia meninggalkan
kota kelahirannya menuju Isfahan. Di sana ia mendapatkan bimbingan dari dua
orang guru yang mumpuni keilmuannya.
Yaitu Syekh Baha Al-Din Al-Amili,
biasa disebut Syekh Baha'i, yang terkenal sebagai teolog, sufi, ahli hukum,
filosof juga seorang penyair. Ilmu-ilmu keagamaan ia serap dari gurunya itu.
Pada periode yang sama, Mulla Sadra juga mendapatkan bimbingan dari Sayid
Muhammad Baqir Astrabadi, lebih dikenal Mir Damad, terutama ilmu-ilmu
intelektual.
Lalu ia meninggalkan Isfahan untuk
menuju desa Kahak. Ia menjalani kehidupan menyendiri untuk memenuhi dahaga
spiritualnya. Langkah yang ia tempuh juga merupakan upaya untuk menghindari
tekanan yang ia terima dari kalangan intelektual lainnya terhadap doktrin
gnostik dan metafisik yang ia lontarkan.
Tak hanya itu, jalan yang ia tempuh
ternyata bertolak dari kesadaran dalam dirinya. Sebelumnya, ia begitu
mengandalkan kemampuan intelektualnya. Mulla Sadra tersadar, seharusnya
berserah diri kepada Allah dengan jiwa yang suci dan ikhlas merupakan jalan
yang ia tempuh pula.
Laku spiritual yang ia tempuh
ternyata memberikan sebuah pencerahan diri. Ia menyatakan bahwa kebenaran
mistik pada dasarnya adalah kebenaran intelektual.
Pengalaman mistik merupakan
pengalaman kognitif. Pemikirannya itu ia tuangkan dalam sebuah karya Al-Hikmah
Al-Mutaaliyah fi Al-Asfar Al-Aqliyyah al-Arba'ah (Empat Perjalanan
Intelektual).
Empat perjalanan intelektual
tersebut, yang pertama adalah perjalanan penciptaan menuju kepada kebenaran
(al-haqq). Di sini, Mulla Sadra meletakkan dasar ontologinya, dan merupakan
cerminan dari jalan sufi yang melakukan pengendalian hawa nafsu yang rendah.
Pada perjalanan kedua, di dalam
kebenaran dengan kebenaran, merupakan tahap di mana para sufi mulai tertarik
dengan beragam manifestasi. Ia berhubungan dengan substansi yang sederhana,
yaitu intelegensi, jiwa, dan tubuh termasuk bahasannya tentang ilmuilmu alam.
Pada perjalanan ketiga, dari
kebenaran menuju sebuah kreasi bersama kebenaran, yang merupakan pengalaman
sufi annihilation in the Godhead, dalam hal ini, ia berhubungan dengan
theodicy. Sedangkan perjalanan keempat adalah perjalanan bersama kebenaran dalam
kreasi. Di mana ia memaparkan secara lengkap dan sistematik mengenai
perkembangan jiwa manusia.
Melalui karyanya ini, Mulla Sadra
dianggap sebagai filosof yang membangkitkan kembali gairah filsafat kala itu.
Pasalnya, ia memiliki kemampuan mengelaborasikan aliran filsafat Peripatetik
yang diperkenalkan oleh Ibnu Sina yang dikemudian hari diusung pula oleh Nasir
al-Din al Tusi.
Selain itu, Filsafat Iluminasi yang
diperkenalkan Shihab al-Din al-Suhrawardi, Mistitisme dari Sufisme Ibn
al-'Arabi berkembang sampai abad kesepuluh. Sejumlah filosof berupaya
menggabungkan beragam warisan ini dalam karya tulis mereka. Namun, Mulla Sadra
dapat melakukannya secara gemilang. Kemudian ia membentuk pemikirannya sendiri
yang selanjutnya dikenal sebagai mazhab Al-Hikmah Al- Mutaa'liyah atau
Metaphilosophy. Pada karyanya ini tak hanya memuat sintesis dari beragam
pandangan terdahulu mengenai makna dari istilah dan konsep filsafat. Namun, ia
mengemukakan bermacam definisi tentang hikmah atau filasafat.
Misalnya, pada bagian pendahuluan
karyanya, ia menyatakan bahwa hikmah tak hanya menekankan pengetahuan teoritis
akan tetapi termasuk pula pelepasan diri dari hawa nafsu dan penyucian dari
kotoran yang bersifat material. Baginya, filsafat merupakan ilmu pengetahuan
yang tinggi dan memiliki asal-usul ketuhanan karena berasal dari para nabi.
Tak hanya menulis, ia pun
mengajarkan ilmunya. Allahwirdi Khan, Gubernur Shiraz kala itu, membangun
lembaga pendidikan dan mengundangnya untuk mengajar di sana.
Kedalaman ilmunya tak ayal membuatnya
memiliki banyak murid yang datang tak hanya dari Shiraz. Hal inilah yang
kemudian mampu mengembalikan Shiraz sebagai pusat ilmu.
Mulla Sadra telah melahirkan banyak
penerus yang memberikan kontribusi dalam perkembangan filsafat di Persia pada periode
berikutnya. Paling tidak ada dua orang penerusnya yang sangat terkenal, yaitu
Mulla Abd Al Razzak Lahiji dan Mulla Muhsin Faidh Khasyani.
Razzak Lahiji membuat ringkasan
kecenderungan aliran Paripatetik sang guru dalam Bahasa Persia, tak heran jika
ia lebih dikenal di negerinya itu. Sedangkan murid lainnya, Kasyani lebih
menekankan aspek gnostik yang diajarkan oleh Mulla Sadra. Keintiman hubungan
murid guru ini, juga ditunjukkan dengan pernikahan keduanya dengan putriputri
Mulla Sadra.
Kegiatan intelektual Mulla Sadra
yang dipraktikkan dalam aktivitas mengajar dan menulis ia barengi dengan laku
spiritual yang mengagumkan. Salah satu contohnya, ia menunaikan ibadah haji
dengan berjalan kaki selama tujuh kali. Laku spritual yang semakin intens telah
memberinya pencerahan-pencerahan bagi dirinya dalam menekuni dunianya.
Sekembalinya dari tanah suci yang
ketujuh kalinya, ia menderita sakit di Basrah. Mulla Sadra menghembuskan napas
terakhirnya di Basrah pada 1640. Meski demikian, namanya tetap hidup hingga
kini melalui karya tulisnya yang menarik perhatian para cerdik cendekia.
Sebut saja karya monumentalnya,
Al-Hikmah Al-Mutaaliyah fi Al-Asfar Al Aqliyyah Al- Arbaah. Karya lainnya, Al
Syawahid Al Rububiyyah fi Al Manahij Al-Sulukiyyah, dianggap sebagai ringkasan
dari Al-Hikmah Al-Mutaaliyah, ada juga Al-Mabda wa Al Maad salah satu karya
Mulla Sadra yang berhubungan dengan metafisika, kosmogoni, dan eskatologi.
(fer)[republika.co.id]
Tag :
Tokoh
0 Komentar untuk "Mulla Sadra Filosof Muslim"