Aktivis Indonesia - Sejarah mencatat lima fase perkembangan dalam rentang perjalanan filsafat muslim.
Tahap
pertama adalah ketika fondasi filsafat muslim diletakkan (berlangsung dari abad
1 H/7 M hingga jatuhnya Baghdad pusat ilmu dan studi Islam pada pertengahan
abad 7 H/14 M ke tangan Hulagu Khan dari Mongol). Setengah abad berikutnya
terbentang tahap kedua yang merupakan masa menjamurnya fanatisme. Hingga awal
abad ke-12 H/28 M, dunia filsafat muslim mulai terengah dalam keterpakuan
tekstual pada fase ketiganya, yang disusul kemudian dengan setengah abad zaman
kegelapan Islam –atau tepatnya masa kematian kreatifitas muslim-- pada tahap
keempat. Pada pertengahan abad ke-13 H/19 M, filsafat muslim memasuki fase
kelima yang merupakan periode renaissance modern. Pada fase ini filsafat muslim
menunjukkan tanda-tanda kebangkitan.
Periode
renaissance modern dalam Islam ditandai dengan munculnya model perjuangan politis
untuk melepaskan diri dari dominasi bangsa asing dan konformitas kehidupan dan pemikiran.
Pada masa ini, Islam tidak saja melahirkan generasi filsuf biasa, namun para filsuf
yang juga handal memimpin gerakan politik dan pembaharu sosial, serta eksekutif
yang sarat ilmu. Mereka menumpahkan kreativitas pemikiran mereka dalam
karya-karya monumental yang menjadi kebanggaan dan pengakuan dunia. Di samping
itu, investasi tersebut telah menjadi sumber rujukan pengembangan studi untuk
para generasi pelanjut sampai saat ini.
Akan
sangat menarik bila kita mengikuti perjalanan filsuf muslim yang mampu bertahan
menancapkan akar pemikirannya di tengah belenggu abad pertengahan. Ia adalah
Ibnu Sina, yang di Eropa lebih dikenal dengan nama Avicenna. Filsuf yang
memiliki nama lengkap Abu Ali Al Hosain Ibn Abdullah Ibn Sina, dilahirkan pada
tahun 340 H/980 M di Afsyana, suatu tempat di daerah Bukhara. Di tempat itulah
ia menghafal Al-Qur’an dan mempelajari ilmu-ilmu agama serta astronomi sampai
memasuki tahun kesepuluh dari kehidupannya. Ilmu kedokteran ia kuasai sebelum
usianya mencapai 16 tahun. Sebelum mempelajari ilmu kedokteran, ia pun
mempelajari matematika, fisika, logika, dan ilmu metafisika.
Menginjak
usia 17 tahun, Ibnu Sina berhasil menangani penyakit Khalifah Nuh bin Manshur.
Karenanya, ia mendapatkan izin untuk belajar di perpustakaan pribadi khalifah.
Di
perpustakaan tersebut, ia mendapatkan keleluasaan untuk mendalami ilmunya.
Koleksi
buku-buku yang sukar didapat itu dipelajarinya dengan penuh suka cita.
Semenjak
kematian ayahnya, saat usianya 22 tahun, Ibnu Sina meninggalkan Bukhara menjuju
Jurjan dan kemudian ke Khawarazm sampai akhirnya ke Mamadzan. Berbagai keunikan
pemikiran filsafatnya telah memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga
masa modern. Ia berhasil membangun filsafat sebagai sitim yang lengkap dan terperinci.
Meskipun
Al Ghazali dan Fakhr Al Din Al Razi pernah menyerang pemikirannya, namun dunia
tidak dapat menolak semangat keaslian dari sistim filsafat yang dibangunnya. Ia
menunjukkan jiwa jenius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang menopang
perumusan kembali pemikiran rasional murni dan teradisi intelektual Hellenisme
yang diwarisinya. Kreativitasnya semakin unik dengan kombinasi pemikiran Islam
yang kental.
Karakteristik
yang paling mendasar dari pemikiran Ibnu Sina adalah pencapaian definisi dengan
metode pemisahan dan pembedaan konsep secara tegas dan keras sehingga mampu
mengusik temperamen modern. Ia mengemukakan secara berulang-ulang pada setiap
kesempatan tentang pembuktian pemikirannya dalam hal dualisme tubuh dan akal, doktrin
universal, serta teori tentang esensi dan eksistensi. Keaslian pemikiran Ibnu
Sina rupanya bukan saja menghadirkan keunikan sekaligus kekaguman dunia Islam
abad pertengahan. Orde dominikian, bahkan masa Teolog Barat memperoleh pengaruh
kuat dari pemikirannya. Perumusan kembali Teologi Katolik Roma yang digagas
Albert Yang Agung dan terutama oleh Thomas Aquinas secara mendasar dipengaruhi
oleh pemikiran Ibnu Sina. Selain itu, penerjemah De Anima, Gundisalvus menulis
De Anima yang sebagian besar isinya merupakan pengambilan besar-besaran doktrin-doktrin
Ibnu Sina. Demikian juga para filsuf dan ilmuwan abad pertengahan seperti
Robert Grosseteste dan Roger Bacon yang menginternalisasi sebagaian besar
pemikiran Ibnu Sina.
Untuk
memahami teologi dan metafisika Aquinas, setiap orang pasti harus merujuk kepada
pemahaman jasa pemikiran yang diterimanya dari Ibnu Sina. Semua orang dapat melihat
pengaruh filsuf besar muslim ini dalam karya Aquinas, Summa Theologica dan Summa
Contra Gentiles yang merupakan karya terbersarnya.
Kesibukan
Ibnu Sina sebagai filsuf, dokter, sekaligus menteri pada pemerintahan Syamsuddaulah
di Hamadzan tidak menghalanginya untuk menghadirkan karya-karya monumentalnya.
Asy-Syifa adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina. Di
dalamnya diulas secara mendalam tentang logika, fisika, matematika, dan metafisika
ketuhanan. Naskah-naskahnya telah tersebar di perpustakaan Barat dan Timur.
An-Najat
adalah nama yang ia berikan untuk buku yang meringkas kajian-kajian yang dipaparkan
Asy-Syifa. Buku diterbitkan di Roma pada tahun 1593 serta di Mesir tahun 1331.
Bagian
metafisika dan fisika pernah dicetak dengan cetakan batu di Taheran. Pada tahun
1951 pemerintah Mesir dan Arab membentuk panitia penyunting ensiklopedi
Asy-Syifa di Kairo yang sebagian besar telah diterbitkan. Pasal keenam dari
bagian fisika yang merupakan landasan pembentukan psikologi modern diterbitkan
lembaga keilmuan Cekoslovakia di Praha yang juga telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Perancis. Bagian logika telah diterbitkan Kairo pada tahun 1954 dengan
nama Al Burhan.
Di
bidang kedokteran, ia melahirkan kitab Al Qonun yang disebut orang-orang Barat sebagai
Canon of Medicine. Al Qonun sempat menjadi referensi utama di
universitasuniversitas Eropa sampai abad ke-17. Al Qonun juga pernah
diterbitkan di Roma tahun 1593 M dan di India pada tahun 1323 M.
Buku
terakhir yang paling baik menurut para filsuf dunia adalah Al Isyarat
wat-Tanbihat yang pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892. Terakhir, buku
ini diterbitkan di Kairo pada tahun 1947.
Di
tengah kesungguhan meramu pemikiran filsafat Islam yang unik di antara berbagai
kesibukannya, Ibnu Sina jatuh sakit, dan pada akhirnya di usia yang ke-57
beliau wafat di Hamadzan pada tahun 428 H/1037 M. Ia meninggalkan dunia Islam
dengan warisan karya-karyanya yang senantiasa dijadikan acuan dan rujukan umat.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah, mampukah dunia Islam melahirkan kembali
Ibnu Sina-Ibnu Sina lainnya? Wallahu A’lam. Semoga…. [Majalah Percikan Iman No.
4 Tahun II April 2001]
Tag :
Tokoh
0 Komentar untuk "Perjalanan Ibnu Sina"