Lelaki
renta itu melangkah menuju tiang gantungan. Kedua tangannya terbelenggu namun
matanya masih tetap berbinar. Raut mukanya tak menampakkan rasa takut sedikit pun.
Ia begitu gagah walaupun maut tengah merambat mendekatinya.
Suasana
sendu justru menyergap orang-orang di sekelilingnya. Mereka menatap lelaki berusia
80 tahun itu, dengan wajah muram. Air mata tak dapat mereka bendung pula. Bahkan
beberapa saat kemudian, jerit tangis bersahutan.
Tatkala
mereka melihat lingkaran tali tiang gantungan, menjerat leher pahlawan mereka, Omar
Al-Mokhtar. Singa Padang Pasir itu, berpulang ke Rahmatullah, pada 16 September
1931 di Kota Solouq. Usai sudah perjuangannya melawan penjajahan Italia.
Omar
Al-Mokhtar memang dipandang sebagai simbol perlawanan terhadap penjajahan Italia
bagi rakyat Libya. Sejak Italia mulai menancapkan cengkeramannya di negeri tersebut
pada Oktober 1911. Ia telah menjadi pionir untuk menyalakan bara perjuangan rakyat
Libya.
Gelora
perjuangannya juga merambat kepada rakyat Libya lainnya, dan melahirkan para mujahid
seperti Ramadan As-Swaihli, Mohammad Farhat Az-Zawi, Al-Fadeel Bo-Omar, Solaiman
Al-Barouni dan Silima An-Nailiah.
Usaha
Italia menguasai Libya, dilakukan dengan menyerang dan menguasai kota-kota pantai
seperti Tripoli, Benghazi, Misrata dan Derna secara beruntun. Meski demikian, Omar
kerap menjadi batu sandungan mereka. Ia mampu membangkitkan semangat perjuangan
rakyat Libya.
Perlawanan
mereka telah menciptakan sejumlah pertempuran hebat. Misalnya pertempuran yang
terjadi di Al-Hani dekat Tripoli pada 23 Oktober 1911, Ar-Rmaila dekat Misrata,
Al-Fwaihat dekat Benghazi pada Maret 1912 dan Wadi Ash-Shwaer dekat Derna.
Bahkan
tak jarang perjuangan rakyat Libya menuai hasil gemilang. Kala itu, mereka terlibat
dalam pertempuran besar di Al-Gherthabiya, dekat Sirt pada April 1915. Italia kehilangan
ribuan serdadu. Pertempuran semacam ini sering terjadi, membuat Italia harus melalui
tahun demi tahun untuk menguasai negeri ini.
Meski
pada akhirnya, wilayah-wilayah yang dipertahankan oleh para mujahidin jatuh pula
ke tangan penjajah. Jatuhnya wilayah demi wilayah membuat para pejuang meninggalkan
rumahnya dan menuju ke pegunungan. Mereka tak berdiam diri, namun merencanakan
beragam serangan lanjutan.
Pada
1922 Omar mengorganisir para mujahidin dan mengobarkan kembali perlawanan terhadap
pendudukan Italia atas negerinya. Ia mengumpulkan kembali mujahidin di The Green
Mountain (Aj-Jabal Al-Akdar), bagian Tenggara Libya. Hal itu terjadi setelah Perang
Dunia I ketika Italia berpikir telah mampu meredam sepenuhnya perlawanan rakyat
Libya.
Perlawanan
yang kembali mencuat membuat otoritas Italia merasakan bahaya yang mengancam.
Mereka tak mau membiarkan perlawanan semakin merajalela. Lalu pemerintah pusat
Italia Badolio yang terkenal haus darah untuk meredam bara perlawanan tersebut.
Ia
tak hanya mendapatkan tugas memimpin pertempuran untuk menumpas Omar Al- Mokhtar
dan pasukannya. Bahkan ia pun diizinkan untuk membunuh rakyat jelata yang hidup
tenang baik di desa maupun pegunungan hanya karena di anggap membantu para mujahidin.
Beberapa
saat kemudian, sang diktator, Musolini, juga mengirimkan komandan yang berperilaku
seperti Badolio. Ia mengemban tugas yang sama untuk mengenyahkan nyawa-nyawa orang
yang tak berdosa dan tak lupa menumpas gerakan mujahidin.
Dan
Musolini berpikir bahwa untuk menyelesaikan masalah Libya secara tuntas adalah Rodolfo
Grasiani. Bahkan kepada kabinetnya Musolini menyatakan kedatangan Grasiani kelak
membuat suasana di Libya dapat terkontrol sepenuhnya.
Kala
itu, Grasiani setuju pergi ke Libya dengan catatan tak ada aturan yang dapat membelenggunya
dalam melakukan berbagai tindakan di Libya. Bahkan peraturan internasional
sekalipun. Sebelum ditugaskan ke Libya, ia pergi ke Morj, Switzerland untuk
merencanakan serangan terhadap Libya.
Rancangan
Grasiani tentu saja disetujui sepenunya oleh Musolini. Pasalnya, ia berpegang pada
prinsip ''jika tak bersamaku maka kalian adalah lawanku''. Dengan demikian
untuk menguasai Libya segala cara harus dihalalkan tak peduli akan mengorbankan
banyak jiwa yang tak berdosa.
Rencana
pertama Grasiani adalah mengisolir Libya serta mencegah adanya kontak baik langsung
maupun tak langsung dengan mujahidin dan negara tetangganya yang memasok senjata
dan informasi kepada para pejuang Libya. Ia membangun kawat berduri sepanjang
300 km, tinggi 2 meter dan lebar 3 meter dari pelabuhan Bardiyat Slaiman Libya
Utara sampai Al-Jagboub Libya Tenggara.
Rencana
lainnya adalah membangun kamp konsentrasi di mana ribuan warga Libya harus hidup
dalam pengawasan angkatan perang Italia. Ia membangun kamp konsentrasi di Al- Aghaila,
Al-Maghroun, Solouq, dan Al-Abiyar.
Pada
akhir November 1929 semua warga Libya yang hidup di tenda di Al-Jabal Al- Akdar,
Mortaf-Aat Al-Thahir dari Beneena Utara sampai Ash-Shlaithemiya Selatan, dari Tawkera
ke bagian selatan padang pasir Balt Abdel-Hafeeth, digiring untuk hidup di kamp-kamp
konsentrasi.
Kehidupan
rakyat Libya di kamp sangat mengerikan. Bahkan ribuan warga Libya mati kelaparan.
Tak jarang pula mereka mati karena ditembak atau digantung sebab diyakini membantu
perjuangan para mujahidin.
Pada
1933, Ketua Departemen Kesehatan Angkatan Darat Italia, Dr Todesky menuliskan dalam
bukunya bertajuk Cerinaica Today. Dalam bukunya itu ia menyebutkan bahwa dari Mei
sampai September 1930, lebih dari 80 ribu warga Libya dipaksa meninggalkan
tanah kelahirannya dan hidup di kamp konsentrasi.
Iring-iringan
warga Libya yang berjumlah 300 orang sekali jalan, mendapat kawalah ketat dari
militer Italia. Todesky melanjutkan bahwa pada akhir 1930 semua warga Libya yang
hidup di tenda-tenda dipaksa untuk hidup di kamp konsentrasi. Sebanyak 55
persen dari 80 ribu warga Libya meninggal di kamp konsentrasi tersebut.
Seorang
sejarawan Libya, Mahmoud Ali At-Taeb menyatakan bahwa pada November 1930 paling
tidak terdapat 17 pemakaman dalam sehari terjadi di kamp konsetrasi akibat kelaparan,
penyakit, dan depresi.
Di
luar kamp konsentrasi, mujahidin yang bertahan di daerah pegunungan terus
berjuang melawan penjajahan Italia. Namun pada 1931 mujahidin kehabisan bahan
pangan dan amunisi. Pimpinan mujahidin, Omar Al-Mokhtar, sakit-sakitan dan
banyak mujadihin memintanya untuk berhenti dan meninggalkan negeri tersebut.
Namun ia menolak tawaran tersebut dan tetap mengobarkan perjuangan.
Atas
kegigihannya melawan penjajahan Italia tak heran jika ia dijuluki sebagai
'Singa Padang Pasir'. Meski akhirnya, usia senja tak mampu membuatnya bertahan
untuk memanggul senjata. Ia ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Eksekusi
tetap dilakukan tanpa mempertimbangkan kerentaan Omar Al-Mokhtar dan hokum internasional.
Semakin
redupnya bara perlawanan, membuat Italia akhirnya dapat menguasai Libya setelah
melakukan pertempuran selama 20 tahun. Meski Italia hanya mampu berkuasa di sana
hingga 1943 akibat kekalahannya di Perang Dunia II. Libya kemudian berada di bawah
kekuasaan pasukan sekutu hingga 24 Desember 1951. [republika.co.id]
0 Komentar untuk "Omar Al-Mokhtar simbol perlawanan terhadap penjajahan Italia"