Affandi
memang bisa melukis seenaknya dan dengan segala "kebodohannya". Ia
sendiri tidak tahu di mana bagusnya hasil karyanya. Tapi dunia seni rupa
mengakui, dia adalah pelopor ekspresionis baru di Indonesia. Enerjik, polos,
humanis, dan naluriah menjadi ciri yang menonjol dalam setiap goresan
tangannya.
Keberhasilannya
sebagai pelukis memberi inspirasi bagi bangsa ini untuk senantiasa menyalakan api
kreativitas di berbagai bidang kehidupan. Pengaruh Affandi sangat terasa bahkan
di luar lingkup seni rupa itu sendiri.
Lahir
di Cirebon 1907 dari istri kedua R Koesoemah. Ayahnya yang bekerja sebagai juru
peta pabrik gula di Cilenduk ini sangat ingin melihatnya menjadi dokter. Tapi,
jalan Affandi ternyata berbeda. Sejak kecil, ia sudah senang menggambar.
Medianya apa saja. Alatnya juga sekenanya. Menggambar di tanah, tembok dengan
kapur, arang, atau krayon.
Affandi
sangat mengagumi Sukasrana, tokoh wayang berujud raksasa berwajah buruk, namun memiliki
loyalitas penuh terhadap Sumantri, kakaknya.
Dalam
cerita wayang, akhirnya Sukasrana terbunuh oleh sang kakak yang meragukan
loyalitasnya.
Pengkhianatan
Sukasrana tak pernah terbukti, dan rasa sesal tak terhingga menghimpit dada
Sumantri.
Affandi
pernah mengalami wabah penyakit cacar. Bahkan, empat saudaranya meninggal
akibat wabah itu. Bersama enam anak Koesoemah lain, ia dibaringkan di atas daun
pisang supaya panasnya turun. Affandi memang selamat, tapi bekasnya masih terlihat
di wajahnya.
Pendidikan
ia lalui di HIS (SD berbahasa Jawa Belanda untuk anak-anak pribumi) di
Indramayu.
Kemudian
ia ikut dengan kakaknya, Saboer, untuk sekolah di MULO (setingkat SMP). Untuk
memenuhi harapan ayahnya, Affandi masuk ke AMS-B di Batavia.
Tapi,
ia putus di tengah jalan karena memilih untuk menekuni bakatnya sebagai
pelukis.
Meski
begitu tergila-gila pada lukisan, Affandi sempat menjadi guru di HIS dan Taman
Siswa di Jakarta. Kedua sekolah ini memberikan warna baru yang penting dalam
hidupnya. Di HIS, ia bertemu dengan Maryati, murid yang kemudian dinikahinya.
Sedang
di Taman Siswa, Affandi mendapatkan kesempatan untuk belajar melukis di Shanti
Niketan, India.
Di
India ia mendapat kejutan. Bukannya diterirna untuk belajar, ia justru dinilai
lebih pantas menjadi pengajar. Tetapi, ia menolak. Uang beasiswanya digunakan
untuk berkeliling India dan melukis. Selama berkarya di India, subjek gambarnya
merangkum kemiskinan yang ada di negara itu. Beberapa lukisannya kemudian
menjadi koleksi Museum Madras dan Museum Tagore.
India
juga memberikan sesuatu yang baru bagi Affandi. Di negeri ini ia menemukan
teknik "pelototan", yaitu melukis tanpa memakai kuas. Affandi hanya
memelototkan cat dari tube, dan menggunakan tangan serta jarinya untuk melukis.
Teknik baru itu semakin menambah citarasa ekspresionisnya. Pasca tahun 1934 setelah
kelahiran Kartika, anak pertamanya, menjadi masa yang sulit. Sebagai seorang suami
dan ayah, Affandi. harus memberi nafkah keluarganya. Saat itu lukisannya belum
bisa digunakan untuk menopang kebutuhan keluarga. Ia kemudian menjadi tukang
poster di bioskop Elite, Bandung.
Tapi,
Affandi terus melukis. Muncul harapan ketika orang mulai tertarik membeli hasil
karyanya.
Waktu
itu di Kebun Raya Bandung diadakan bazar dan pameran lukisan. Salah satu
lukisan Affandi dibeli oleh Sjafei Soemardja, lulusan Sekolah Tinggi Lukis Amsterdam,
Belanda. Affandi sendiri malah heran mengapa Sjafei mau membeli lukisannya.
Sjafei hanya menjawab, "Di dalamnya saya melihat masa depan. Teruslah
melukis, jangan berhenti, dan jangan berputus asa."
Affandi
terus menuai keberuntungan. Pada zaman pendudukan Jepang, eksistensinya sebagai
pelukis mulai mendapat pengakuan. Affandi mengadakan pameran untuk pertama kali
di Jakarta, di dung Putera. Pameran ini sukses besar dan menjadi momen penting
buatnya saat masyarakat mengakui bahwa telah lahir pelukis besar.
Di
zaman Jepang, Affandi sempat menggunakan lukisannya sebagai media kritik. Tahun
1944, Jepang memesan sebuah poster kepada pendatang baru yang sedang naik daun
ini. Temanya untuk menggiatkan Keberangkatan Romusha. Tetapi, Affandi malah membuat
patung yang menggambarkan penderitaan akibat Romusha dan "Tiga Orang
Pengemis" sebagai gambaran kekejaman Jepang. Ketika Jepang kalah, Affandi
dan keluarganya pindah ke Yogyakarta. Ia mendirikan Seniman Masyarakat. Pada
1946 1ahir lukisan Affandi yang bersejarah dengan judul Merdeka atau Mati
melukiskan Laskar Rakyat yang sedang rapat di malam hari. Pada masa perjuangan
kemerdekaan, Affandi juga pernah berkolaborasi dengan Chairil Anwar (yang
membikin teksnya) dalam poster perjuangan, Boeng, Ajo Boeng. Poster patriotik
ini melukiskan seorang lelaki mengacungkan kedua tangannya ke atas untuk
memutuskan rantai yang membelenggunya.
Latar
belakangnya bendera merah putih. Perjalanannya berkeliling India membuat
namanya melambung di lingkup internasional. Setelah menuntaskan perjalanan
keliling India, ia melanglang buana menebarkan pesonanya yang unik. Saat mengadakan
pameran di Eropa, Sir Herbert Read memujinya sebagai satu-satunya pelukis yang
membawa angin baru setelah usainya Perang Dunia II.
Setahun
tinggal di London, Affandi menuju Brussel, Paris, dan Roma. Di Venesia ia
mendapat penghargaan Bienale sehingga berhak mengadakan pameran di Messina.
Tidak semua pelukis boleh memamerkan karyanya di sini.
Tahun
1954 ia pulang ke Indonesia. Meski sempat ditolak masuk akademi seni rupa,
perjuangannya telah menorehkan namanya dalam komunitas terhormat.
Pemegang
gelar doktor honoris causa dari Universitas Singapura dan anggota seumur hidup Akademi
Jakarta ini, meninggal pada tahun 1989. Affandi telah tiada, namun monumen
abadinya bisa kita lihat di rumah sekaligus museum yang terletak di tepi sungai
Gajah Wong, Yogyakarta. Di atas tanah seluas 3.000 meter persegi, ini karyanya
akan terus menjadi bukti talentanya yang legendaris. Hanya ada satu kamar di
rumah itu. Ruang tidurnya berupa gerobak sapi yang dibangun di samping rumah.
ltulah
Affandi, maestro pelukis yang unik dan bersahaja, yang dalam bayangan kita
selalu lekat dengan kaus oblongnya yang penuh noda cat.
0 Komentar untuk "Affandi Maestro Seni Lukis Indonesia"