Pada masa mudanya,
Agus Salim adalah sosok "pemuda pemberang" yang selalu gelisah. Dia
sempat berpindah-pindah profesi dari penerjemah sampai notaris. Pengembaraannya
ke luar negeri membawa Agus Salim pada sejumlah pemimpin organisasi Islam intemasional,
seperti Muhammad Abduh dan Jamaludin Al Afgani. Persinggahan terakhimya adalah
mendedikasikan diri bagi bangsa dan negaranya.
Tercatat Agus Salim
menjadi Duta Besar Republik Indonesia pertama dan Menteri Luar Negeri dalam Kabinet
Sjahrir dan Hatta (1947-1949).
Agus Salim lahir
dengan nama Masyudul Haq (berarti pembela kebenaran) di Kota Gadang,
Bukittinggi, pada bulan Oktober 1884. Dia termasuk segelintir anak bumi putera
yang bisa menikmati pendidikan Belanda. Anak bekas jaksa dari Sumatera Barat itu
adalah lulusan terbaik sekolah menengah Belanda (Hogere Burger School - HBS).
Bakatnya luar biasa dalam menguasai bahasa asing. Ia mampu berbicara dalam
sembilan bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Turki, Jepang, dan tentu
saja bahasa Indonesia dan Minang.
Setamat HBS, sebenarnya
Agus Salim ingin menjadi dokter. Tapi akhirnya dia harus mengurungkan cita-citanya
karena tidak ada biaya untuk kuliah di Belanda. Konon sebenarnya ia bisa saja
belajar ke Belanda berkat bantuan dari RA. Kartini. Sa at itu Kartini baru saja
memperoleh beasiswa untuk belajar di Belanda, tetapi tidak bisa digunakan
karena ia harus menikah. Kartini meminta pemerintah Belanda agar memberikan beasiswa
itu kepada pemuda Agus Salim.
Entah kenapa, Agus
Salim tidak mcmanfaatkan beasiswa itu. Yang jelas, setamat BBS, Agus Salim bekerja
pada pemerintah Belanda dan ditempatkan di Jeddah sebagai penerjemah. Sembari
bekerja, Agus Salim memperdalam ilmu agama Islam kepada pamannya sendiri, Syech
Ahmad Khatib, Imam masjid Haram.
Sepulang dari Jeddah,
Agus Salim tidak lagi betah bekerja untuk Belanda. Ia kemudian mendirikan
sekolah HIS (Hollandsche In.lan.dsche School) sebelum kemudian masuk dunia
pergerakan nasional lewat Sarekat Islam, Jong Islamieten Bond, dan Gerakan
Penjadar.
Ia mulai
malang-melintang dalam politik praktis untuk membangkitkan semangat menuju
kemerdekaan.
Sebagai pemimpin
pergerakan nasional, Agus Salim menyadari pentingnya menyebarkan pemikirannya kepada
khayalak. Karena itu, Agus juga tekun menjalankan profesinya sebagai wartawan.
Di SI karir organisasi
Agus Salim berkembang. la langsung menjadi anggota pengurus pusat SI.
Pada 1919 Agus Salim dan
Semaun mendirikan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh yang menuntut Belanda segera
mendirikan dewan perwakilan rakyat yang sebenarnya. Agus sempat pula
mengorganisasi pemogokan buruh untuk menuntut kenaikan gaji di Surabaya,
Cirebon, dan Semarang. Demi memperjuangkan kepentingan rakyat, Agus Salim
bersedia duduk di Volksraad (Dewan Rakyat bentukan Belanda) dari 1921-1924. Sejak
itu Volksraad semakin tidak kooperatif dengan pernerintah Hindia Belanda.
Sikap membangkang
yang ditunjukkan Agus Salim kepada pemerintahan kolonial juga tampak dalam
goresan penanya sebagai wartawan. la kerap memaparkan praktik penindasan
Belanda terhadap rakyat kecil, terutama di daerah perkebunan di Indonesia.
Tak sebatas
bersembunyi di belakang pena, kata-katanya juga terkenal vokal. Pidato-pidato
yang ia lontarkan saat menjadi anggota Volksraad sungguh membangkitkan kesadaran.
Agus Salim mengecam keras ketidakpedulian Belanda terhadap rakyat jajahannya.
Ucapan yang tidak kalah tajamnya juga kerap ia sampaikan di depan anggota Jong
Islamieten Bond yang ia dirikan.
Meskipun dekat dengan
buruh dan rakyat, Agus Salim tidak bergeser dari ajaran Islam di sepanjang perjuangannya.
Tidak mengherankan tatkala unsur-unsur komunis mulai masuk ke dalam SI (ketika
itu sudah menjadi partai) pada era 1920-an, ia bereaksi keras. Pada Konggres SI
tahun 1921, Agus Salim mengusulkan agar anggota yang sudah menganut komunisme
agar meninggalkan SI demi disiplin partai.
Di masa awal
kemerdekaan, Agus Salim ikut merancang UUD 1945 bersama 18 orang lainnya
dipimpin Soekarno. Namun, jasa Agus Salim yang paling penting adalah misi
diplomatiknya memperkenalkan negara baru ini ke dunia luar. Pangkal kemenangan diplomasi
Indonesia adalah perjanjian persahabatan dengan Mesir pada 1947. Kepiawaian
Agus Salim berdiplomasi ini pun terus ia lakukan saat ia menjadi menteri luar negeri
di masa Kabinet Sjahrir, Kabinet Amir Sjarifuddin, dan kabinet Hatta. Walau badannya
kecil, di kalangan diplomatik ia dikenal dengan julukan The Grand Old Man -
sebuah bentuk pengakuan atas prestasinya di bidang diplomasi. Meski terkenal
bermulut pedas, anehnya, tak pernah sekalipun Agus Salim ditangkap Belanda.
Padahal, rekan-rekan seperjuangannya di Serikat Islam (SI), seperti H.OS.
Tjokroaminoto, pendiri SI, kerap
masuk bui. Akibatnya
muncul isu tidak sedap yang mengatakan kalau Agus Salim sebenarnya adalah antek
Belanda. Sebab, sebelum dia benar-benar terjun sebagai wartawan dan aktif dalam
gerakan kemerdekaan, ia adalah pegawai pemerintah Belanda.
Bahkan semasa di Riau,
Agus Salim sempat diangkat anak keluarga Belanda. Belakangan isu tak terbukti kebenarannya.
Hanya sekadar gosip murahan yang sengaja ditiupkan pemerintah Belanda dengan
maksud mengadu domba para pemimpin bangsa. Agus Salim adalah nasionalis tulen
yang memiliki cita-cita melihat negara Indonesia bebas dari kungkungan penjajah
Belanda.
Sebagai pribadi, Agus
Salim yang wafat tahun 1954 di usia 70 tahun dikenal berjiwa bebas. Ia tidak pernah
mau dikekang oleh batasan-batasan. Ia pun berani mendobrak tradisi Minang yang
kuat. Ia memilih untuk mendidik anak-anaknya sendiri ketimbang menyerahkan
pendidikan mereka ke sekolah formal. Agus Salim sangat peduli pada pembentukan watak
atau karakter, yang menurutnya tidak didapat dari sekolah formal.
0 Komentar untuk "Agus Salim Tokoh Pergerakan Nasional"