Puisi berjudul Aku
milik Chairil Anwar menjadi sajak ekspresif yang mendobrak tata krama berpuisi.
Puisi itu mencerminkan
tipikal Chairil yang penuh energi dan radikal untuk masanya. Penyair berdarah Medan
yang lahir 22 Juli 1922 ini memang fenomenal dan kontroversial. Saat pengaruh
Angkatan Poedjangga Baroe belum surut, sejak 1942 Chairil Anwar sudah menarik
perhatian dengan puisi-puisinya.
Berbekal kemampuan
bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman yang dipelajarinya secara otodidak, ia mampu
memahami karya-karya para pujangga besar dunia. Dari karya-karya asing itu,
Chairil lalu menerjemahkan, menyadur, bahkan membuat karya baru.
Chairil yang tidak
tamat MULO (SMP) ini selalu rnengedit ulang karyanya. Puisi Aku pun sebelumnya telah
beredar dengan judul Semangat. Entah karena ia memang tergolong orang yang
tidak mudah puas atau tidak percaya diri. Hanya dia yang tahu.
Tetapi yang jelas, lewat
puisi-puisinya orang seakan bisa langsung mengenal identitas dirinya.
Sosoknya adalah gambaran
dari jiwa patriotiknya, religiusnya, serta sikap masa bodohnya. Antara Kerawang
dan Bekasi, Diponegoro, juga 1945 adalah wujud dari watak nasionalisnya. Doa
untuk Isa adalah persembahan untuk imannya. Sedangkan Aku mencerminkan sikap
tidak pedulinya. Chairil memang sosok yang kompleks.
Chairil meninggal
dalam usia yang terbilang muda, yaitu 27 tahun, pada 1949. Setelah itu barulah terbit
kumpulan sajaknya: Kerikil Tajam dan Yang Terempas, Deru Campur Debu, dan Tiga
Menguak Takdir.
Meski sempat mendapat
simpati plus kontra dari komunitas penyair pada jamannya, kepeloporannya diteguhkan
oleh HB. Jassin pada 1956 dalam buku berjudul Chairil Anwar Pelopor Angkatan
'45.
0 Komentar untuk "Chairil Anwar Penyair, Pelopor Sastrawan Angkatan 45"